Friday, December 2, 2016

Keluguan Rakyat, Kelicikan Elit

DUNIA HAWA - Saya ingin berbagi pengalaman tentang “demo massa” karena saya cukup lama menekuni “profesi” sebagai demonstran dan aktivis. Memahami “demo komunal” akan lebih baik jika menggunakan “teori piramid” karena “demo massa” itu selalu “by design”, tidak ada yang bersifat “alami”. Bisa juga menggunakan “teori panggung” karena demo massa sejatinya adalah sebuah panggung pertunjukan dimana di dalamnya ada banyak aktor atau pemain dengan berbagai peran plus sutradara dan penulis skenario.  


Ada tiga komponen atau bagian dasar dalam sebuah piramid: atas, tengah, dan bawah. Lapisan atas piramid ini adalah simbol “kelompok elit” yang jumlahnya sedikit tapi mempunyai peran yang sangat besar dan sentral karena mereka mempunyai “power” dan “otoritas”. Merekalah yang memegang “tombol” sebuah pertunjukan atau drama bernama demo. Dalam sistem politik-pemerintahan feodal, kelompok elit ini diperankan oleh raja dan kroninya. Tetapi dalam sistem politik-pemerintahan non-feodal, kaum elit ini diperankan oleh gabungan dari sejumlah kelompok kepentingan (kepentingan politik, ekonomi, ideologi, dlsb): bisa (oknum) elit militer/polisi atau pensiunan elit militer/polisi, elit parpol, konglomerat / pengusaha, birokrat, cendekiawan, dlsb. Peran mereka kurang tampak di publik tapi jelas dan nyata sekali. Mereka hanya hadir (baik fisik maupun virtual, itupun kalau mau) di pertemuan-pertemuan terbatas untuk koordinasi sekedarnya. Kalau tidak sempat, ya cukup lewat telpon. Tetapi mereka paham apa yang harus dilakukan. Mereka berbagi peran: siapa melakukan apa. Mereka juga mengatur strategi dan taktik demo, menyiapkan Plan A, Plan B, Plan C, dan seterusnya. 

Bagian tengah piramid adalah “kelompok menengah” yang melakukan peran sebagai “penghubung” atau “broker” antara elit dan massa. Peran kelompok ini juga sangat penting karena merekalah yang mempunyai akses langsung dengan massa atau publik (masyarakat/rakyat). Kelompok elit hanya punya uang dan kekuasaan tetapi mereka tidak punya massa. Karena mempunyai massa, mereka inilah yang berperan sebagai operator demo, komandan lapangan, pengumpul massa, dlsb. Dalam dunia kemiliteran, mereka ini mungkin seperti “kolonel” yang memegang pasukan. Kelompok menengah ini bisa diperankan oleh para pemimpin ormas, dai/mubalig, “intelektual tukang”, guru, ketua lembaga, aktivis kampus, komandan laskar, bos preman, dlsb. Mereka juga yang “menjabarkan di lapangan” segala arahan, petunjuk, dan strategi yang dirumuskan oleh kaum elit tadi. Mereka pula yang menerima “logistik” demo dari kelompok elit tadi untuk “disalurkan” ke massa (baik disalurkan sebagian kecil atau sebagian besar, semua tergantung dari “kebaikan hati” masing-masing). Mereka pula yang bertugas untuk berkoar-koar dan memimpin yel-yel di setiap aksi demo. Saya dulu berperan sebagai “kelompok menengah” ini. 

Bagian bawah piramid melambangkan rakyat, masyarakat, atau massa. “Kelompok bawah” inilah yang jumlahnya paling banyak dan paling gendut dalam struktur piramid. Mereka ini bisa mahasiswa, santri, murid, buruh, petani, nelayan, pengikut omas, jamaah pengajian, anggota laskar, atau masyarakat kebanyakan. Meskipun jumlahnya paling banyak tetapi mereka adalah kelompok lemah, tidak berdaya, dan “serba minim” yang disebabkan oleh banyak faktor: bisa karena masalah ekonomi-finansial, pendidikan, akses kekuasaan, intelektualitas, wawasan, dlsb. Karena lemah dan “serba minim”, maka mereka ini gampang sekali dipengaruhi atau bahkan “dibohongi” dan dimanipulasi oleh kelompok menengah tadi dengan isu ini-itu. Tubuh mereka mungkin ada yang bongsor-bongsor tapi “otaknya dikit” jadi gampang ditaklukkan. Dengan kata lain, oleh kelompok menengah dan elit, mereka ini hanya dijadikan sebagai “kayu bakar” saja atau sebagai alas untuk “diinjak” saja. 

Ketika, misalnya, demo kolosal itu sukses, kelompok bawah yang mayoritas ini tidak akan mendapatkan apa-apa karena “kue” kekuasaan baru akan dinikmati oleh kelompok elit dan kroninya, sisanya mungkin “dilempar” ke kelompok menengah. Sementara kelompok bawah, mereka tetap seperti sedia kala: lapar, dahaga, dan miskin-njekin sepanjang masa. Sadarkah Anda dengan “drama” ini?

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment