Wednesday, December 7, 2016

Islam Boleh Ibadah di Tempat Umum, Kristen Tidak

DUNIA HAWA - Masih hangat di dalam ingatan kita tentang gerakan bela Islam yang digelar di sepanjang jalan dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara, dan—yang paling hangat—adalah di Monas dan sekitarnya. Yang kedua, jelas sangat dibangga-banggakan oleh para pendukung gerakan tersebut. Banyak yang menyebutkan bahwa gerakan 212 adalah ‘tawaf’, dan jika tidak juga Pak Ahok ditindak ‘tegas’—tentunya tegas dari pandangan mereka—akan ada ‘lempar jumroh’.


Tentunya tak kalah hangat peristiwa pembubaran kebaktian Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga Bandung oleh Pembela Ahlus Sunnah (PAS) dengan dalih bahwa umat Kristiani seharusnya beribadah di tempat yang telah disediakan, yaitu Gereja. Dan meski menurut pengakuan Kang Emil di akun Instagram-nya, bahwa acara KKR mengalami kesalahan dalam koordinasi waktu, haruskan dibubarkan dengan cara seperti itu?

Ketika melihat video pembubaran tersebut, air mata saya langsung saja menetes. Saya membayangkan, betapa menakutkannya, betapa menyeramkannya ketika saya sedang beribadah, lalu digusur, lalu diminta untuk selesai di tengah jalan. Padahal kami sedang khidmat beribadah kepada-Nya.

Saya juga ingat sering kali menemukan opini masyarakat soal betapa sulitnya di masa pemerintahan Pak Joko dan Pak Ahok untuk membangun Masjid. Ya ... namanya juga opini, ya sah-sah saja. Tapi saran saya, tolong hindari balapan antara mulut dan otak, nanti malu sendiri.

Karena kenyataan justru menyatakan bahwa Masjid kian banyak. Bahkan kini Balai Kota memiliki Masjid-nya sendiri. Alasan Pak Joko dan Pak Ahok membangun Masjid di Balai Kota, agar umat Islam yang bekerja di Balai Kota, ydapat dengan mudah beribadah, dan tidak perlu mencari Masjid di luar area bekerja.

Sekali waktu seorang Pendeta meminta agar Pak Ahok jangan mempersulit pembangunan Gereja. Pak Ahok lalu meminta agar Pak Pendeta jangan memprovokasi, karena banyak pertimbangan mengapa Gereja tak mudah mendapatkan izinnya untuk berdiri. Salah satunya adalah: Ada berapa banyak jemaatnya?

Nah, untuk Kawan-kawan yang sempat merasa pembangunan Masjid ini kian sulit, saya tanya ... mau berapa banyak Masjid yang dibangun? Mau setiap rumah punya Masjid sendiri? Coba diingat, di zaman Nabi Muhammad, ada berapa banyak Masjid? Jika Masjid banyak, akan bagaimana disejahterakannya?

Lagipula, bukannya pahala kita kian banyak jika Masjid semakin jauh dari rumah?

Sudah dimanjakan saja, masih memperlakukan umat lain dengan sebegitu menyeramkannya. Tidak terbayang jika pembangunan Masjid betul-betul dipersulit, jika ibadah salat Idul Fitri dan Idul Adha dibubarkan dengan dalih gunakan tempat yang sudah disediakan. Pasti sudah akan ch​aos tanah ini.

Terkait kasus pembubaran kebaktian, seorang sahabat bercerita sekilas tentang kehidupannya sebagai minoritas di Bali. Ia seorang Muslim, dan harus menempuh pendidikan di Tanah Dewata tersebut. Perasaan menyesakkan tak bisa dihindarkan. Ia merasa bahwa menjadi minoritas memang tidak enak. Dari sana, ia pun belajar untuk tidak semena-mena terhadap minoritas lainnya di Jakarta.

Kawan-kawan ... kalian pasti kesal kalau umat Islam dipersulit dalam beribadah. Lantas mengapa melakukan itu kepada umat lain? Kalian takut kalau doa mereka bisa menghancurkan diri kalian? Kalian takut kalau Tuhan mereka lebih kuat daripada Tuhan kalian? Apa yang kalian takutkan, Saudaraku?

Belum lagi beberapa kejadian terkait gerakan 212. Ada beberapa masyarakat perempuan yang bercerita bahwa mereka digoda oleh beberapa peserta gerakan.

Peserta-peserta tersebut mengenakan atribut sorban dan pakaian putih-putih. Dan kemudian justru perempuan-perempuan inilah yang disalahkan karena mereka mengenakan pakai terlalu terbuka—padahal salah satunya mengenakan pakaian tertutup, barangkali perempuan tersebut hanya cantik saja. Mereka salah juga kalau mereka cantik?

Hal tersebut mirip dengan kasus-kasus pemerkosaan, di mana kebanyakan masyarakat menyalahkan korban karena berpakaian terlalu seksi. Sudah jadi korban, disalahkan pula. Manusia bukan sih?

Ditambah ‘skandal’ roti yang bikin saya semakin gagal paham. Saya tidak tahu ilmu mana yang mereka pelajari ketika mereka membuang sebungkus roti yang masih ada beberapa helai isinya, hanya karena perushaan tersebut menyatakan bahwa roti gratis bukanlah ‘pekerjaan’ mereka, melainkan ‘pekerjaan’ seorang dermawan. Mengapa tidak berterima kasih saja kepada dermawan tersebut?

Mengapa sibuk merutuki titik hitam pada selembar kertas putih, Saudaraku?

Untuk Kawan-kawan yang sudah berniat menasihati saya dengan dalil-dalil Al-Qur’an tentang apalah apalah yang tidak akan saya pahami itu, sebaiknya urungkan niat kalian. Karena saya tidak ada masalah dengan Al-Qur’an atau kitab suci mana pun, saya tidak ada masalah dengan Tuhan. Yang saya permasalahkan adalah bagaimana manusia berlaku merusak, menyerang, menindas, dengan menggunakan firman-Nya sebagai senjata.

Jika ingin berlaku buruk, silakan saja. Tapi jangan jadikan Ia dan firman-firman-Nya sebagai alat, sebagai tameng, sebagai sebab. Rasanya tidak ada artinya bela agama, jika menistakan sesama manusia. Menistakan sesama manusia, sekaligus menistakan agamanya sendiri. Kok bisa? Mikir coba. Itu juga kalau bisa.

Serius, kali ini saya kesal, marah, tidak suka. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya seorang perempuan keturunan Jawa tulen, dan Muslim sejak lahir. Lalu saya tinggal di Indonesia. Di Jakarta.

Tapi satu hal yang saya tahu, bahwa ditindas itu tidak enak, menyakitkan, menyeramkan.

Jadi, bagaimana, Kawan-kawan ... masak umat Islam boleh beribadah di jalanan, di lapangan, di ruang kelas, di mana pun yang bukan Masjid, bukan Musala, bukan Surau, masak umat lain tidak boleh? Bahkan mereka memilih beribadah di tempat tertutup. Manusia bukan sih?

Lalu, bagaimana, Kawan-kawan ... jika kalian tak bisa menahan napsu, mengapa menyalahkan mereka yang mengumbar aurat? Menistakan agama tidak boleh, melecehkan manusia boleh? Duh, maaf saya sampai ucapkan dua kali. Saya geram.

Seperti yang saya katakan di awal, tidak ada hidup yang mudah. Saya tahu. Tapi tidak lantas jadi harus mempermudahnya dengan mempersulit hidup orang lain, kan? Sebagai umat, kita tak boleh lupa bagaimana caranya menjadi hamba. Dan semoga kita juga tak lupa bahwa menjadi hamba, sekaligus menjadi manusia bagi manusia lain.

@annisa fitrianda putri


Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment