Tuesday, November 29, 2016

Qatar, “Negara Muslim” Tanpa “Lembaga Ulama”

DUNIA HAWA - Jika Libanon adalah negara mayoritas Muslim dengan struktur pemerintahan yang unik karena mengikuti “sistem konfesionalisme” untuk bagi-bagi kekuasaan antara Sunni, Shiah, Kristen, dan berbagai kelompok agama lain dalam struktur pemerintahan, maka Qatar memiliki keunikan sendiri, yakni negara ini tidak memiliki “lembaga ulama kolektif” (semacam MUI di Indonesia) maupun “Grand Mufti” (seperti di Saudi atau Yarusalem). 


Sepertinya Qatar (Daulat Qatar), yang berbatasan dengan Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Iran ini, tidak begitu menganggap penting dengan lembaga ulama. Meskipun Qatar yang dipimpin oleh “Dinasti Al Thani” (anak-cucu Shaikh Jassim bin Muhammad Al Thani) “formalnya” mengikuti “Wahabisme” tetapi prakteknya cukup “liberal-sekuler”. Dengan kata lain, “de jure” agamis (misalnya, Hukum Islam dijadikan sebagai salah satu basis sistem perundang-undangan, selain “hukum sipil”), de facto “sekuler.” Karakter masyarakatnya agak mirip-mirip dengan Turki. 

Perempuan sangat maju disini dan menjadi tokoh di berbagai bidang. Perempuan juga boleh menyetir mobil dan pergi sendiri tanpa harus ditemani muhrim. Perempuan di Qatar mengenakan abaya dan hijab tetapi abaya dan hijab yang sangat modis dan modern. Mereka juga tidak mengenakan cadar (burqa, niqab, atau himar). Pemerintah juga membolehkan warga non-Muslim untuk mengonsumsi alkohol (beer, wine, tequila, dlsb) dan daging babi. Berbagai pertunjukan dan gedung seni serta museum seni kelas dunia bertaburan di Qatar. 

Menarik untuk dicermati bahwa Kementerian Islam dan Wakaf baru dibikin 22 tahun setelah Qatar merdeka pada 1971. Sementara fakultas-fakultas syariah yang jumlahnya tidak seberapa di Qatar, mahasiswanya didominasi oleh kaum perempuan yang kelak menjadi guru atau pegawai pemerintahan ketimbang menjadi “ulama” (clergymen/clergywomen) atau sarjana agama. Para “sarjana agama” kebanyakan menempuh karir sebagai hakim agama (qadi) di berbagai lembaga peradilan agama. 
Karena minimnya “kampus agama” di Qatar, maka para calon “sarjana agama” yang akan menjadi calon hakim agama itu pada umumnya belajar Islam di Mesir (Universitas Al-Azhar), bukan di Saudi (seperti Universitas Islam Madinah atau Imam Muhammad bin Saudi Islamic University). Kampus-kampus di Qatar kebanyakan adalah “kampus-kampus sekuler” yang mengfokuskan pada bidang-bidang keilmuan non-agama (sciences, engineering, komputer, bisnis, dlsb). Qatar juga menjadi rumah bagi kamapus-kampus Barat. Banyak universitas-universitas di Barat yang membuka cabang disini (Goergetown, Texas A&M University, Northwestern University, Carnegie Mellon University, dlsb.)  

Sementara itu, sekolah-sekolah agama di Qatar berada di bawah Kementerian Pendidikan, bukan Kementerian Islam dan Wakaf. Menariknya lagi, para staf dan pengajar sekolah-sekolah agama ini juga bukan warga Arab-Qatar. Begitu pula para ulama atau sarjana agama tadi juga umumnya dari India, Pakistan, atau Arab non-Qatar. Warga Arab-Qatar sendiri kurang tertarik menekuni profesi “ahli surga” ini. Qatar memang salah satu negara dengan populasi migran terbesar di kawasan Arab dan Timur Tengah jadi wajar kalau banyak kaum migran yang dipekerjakan di berbagai sektor. Para elit Qatar hanya mengontrol politik-pemerintahan.  

Karakter Qatar yang “agamis tapi sekuler” ini tersyirat dari pernyataan salah satu ulama Qatar, Shaikh Abdul Hamid Al Ansari: “Saya menganggap diriku sebagai Wahabi tetapi ‘Wahabi modern’ yang memahami Islam dengan cara terbuka atau ‘open-minded’ karena dengan mentalitas keterbukaan inilah umat Islam akan bisa menghadapi dunia yang terus berkembang.”

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment