Saturday, November 19, 2016

Menistakan Ahok Melejitkan Simpati

DUNIA HAWA - Demo besar-besaran tanggal 4 November 2016 yang dimobilisasi oleh FPI ini menuntut Basuki Tjahaya Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok untuk dipenjarakan. Dan beberapa hari ini media ramai membicarakan tentang calon gubernur Ahok yang telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus penodaan agama.

Saya amati di media sosial, sejak penentapan Ahok menjadi tersangka justru meningkatkan empati warga media sosial. Banyak sekali meme atau postingan dukungan yang ditujukan untuk Ahok. Para silent user Facebook yang biasanya tidak pernah posting atau komen tiba-tiba share dukungan di media sosial.


Bila demo 411 dan pelaporan ke kepolisian itu adalah agenda politik untuk menjegal Ahok tentu ini strategi yang perlu dikaji ulang. Sebab seperti kita tahu meskipun Ahok sudah ditetapkan menjadi tersangka, agenda kampanye ataupun pilkada tetap akan berjalan terus dan tidak bisa menghentikan pencalonannya oleh hukum.

Justru ramai-ramai kasus penistaan ini meningatkan brand equity dan juga brand awareness Ahok sebagai calon gubernur DKI. Ahok tidak perlu bersusah payah membangun awareness akan dirinya di pikiran masyarakat DKI. Kalau kita ingin melihat awareness masyarakat Jakarta tentang Ahok.

Kita bisa tes dengan cara menanyai warga Jakarta yang ada di pinggiran atau kampung-kampung, siapa saja calon gubernur DKI? Pasti pertama yang disebut adalah nama Ahok bukan calon lainnya. Memang ini juga tidak bisa menjamin mereka akan memilih Ahok.

Saya tidak tahu apakah demo 411 dan pelaporan Ahok itu sebagai bagian agenda politik atau bukan. Bila itu memang benar, ini seperti blessing in disguise bagi kubu Ahok dan Djarot. Kenapa saya mengatakan seperti itu? apa yang terjadi seperti meningkatkan marketing dalam politik untuk Ahok.

Menurut Gunter Schweiger and Michaela Adami tujuan marketing dalam politik adalah; (1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas; (2) Memperluas pembagian pemilih; (3) Meraih kelompok sasaran baru; (4) Memperluas tingkat pengetahuan publik; (5) Memperluas preferensi program partai atau kandidat; (6) Memperluas kemauan dan maksud untuk memilih.

Banyak orang yang mendukung demo 411 karena menganggap mereka harus membela agama karena penistaan. Tetapi ketika para pendukung ini menyadari bahwa ada agenda politik untuk menjegal Ahok dan buka untuk membela Agama, mereka menjadi kecewa dan merasa tertipu.

Bahkan ada yang merasa simpati dengan Ahok dan menganggap sebagai korban. Ini seperti marketing politik buat Ahok, meningkatkan pengetahuan publik tentang calon gubernur. Meraih silent voters dan juga kelompok sasaran baru. Orang selama ini cuek dan males ikut pemilu, kini malah ingin ikut memilih Ahok.

Berita mengenai Ahok yang hampir setiap hari, baik di media sosial, media cetak ataupun TV justru seperti iklan gratis. Bila kita menggunakan teori memori, ini seperti pengulangan informasi dalam otak, yang berperan penting dalam penyimpanan memori atau daya ingat jangka panjang manusia. Daya ingat akan calon gubernur diperlukan ketika para pemilih memasuki kotak suara.

Dalam marketing mix salah satu perilaku seseorang memutuskan untuk membeli adalah faktor psikologi dan faktor pengaruh sosial. Ini juga bisa disamakan dengan proses seseorang memutuskan memilih calon gubernur pilihannya. Proses memutuskan bisa meliputi problem recognition, information search, alternative evaluation dan purchase decision. Para calon gubernur harusnya juga memikirkan ini semua.

Bila menganggap demo 411 sebagai parameter akan terpilihnya calon tertentu dan menurunya popularitas Ahok, mungkin perlu dikaji ulang atau dievaluasi. Seberapa banyak dari para pendemo itu yang memiliki hak pilih untuk Jakarta?

Seberapa banyak yang loyal dan bukan hanya orang bayaran atau penumpang pencari makan? Jangan-jangan mereka hanya di-php oleh ormas tersebut dengan mengatakan semua adalah pendukung. Bagaimana kalau orang malah menjadi simpati dengan Ahok? Dan jadi mendukung Ahok?

Philip Kotler dan Neil Kotler (1999) menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat perlu memahami market atau pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.

Apakah dengan menjual isyu agama dan isyu ras akan memengaruhi pemilih dalam memilih? Mungkin saja, tetapi dalam kasus Ahok kita juga perlu mengingat keberhasilannya dalam beberapa tahun memimpin Jakarta. Apakah semua itu bisa terlupakan atau terhapus begitu saja? Apakah mobilisasi massa akan mengubah persepsi para pemilih terhadap calon gubernur?

Jangan-jangan menistakan Ahok justru meningkatkan calon pemilih Ahok. Siapa yang tahu? Kita tunggu saja hasilnya.

@Poedjiati Tan

Master psikologi, pengajar di Universitas Ciputra, penulis untuk penelitian psikologi, prilaku manusia, dan juga penulis entrepreneur dan bisnis. Desainer buku Aktif di beberapa organisasi masyarakat dan perempuan

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment