Saturday, November 19, 2016

Jatuh Bangun Relasi Ulama dengan Pemerintah

DUNIA HAWA - Dalam sejarah Islam, hubungan antara ulama dan pemerintah itu naik-turun. Kadang ulama berada diluar pemerintah, kadang di dalamnya. Lain waktu sebagai pengkritik pemerintah, lain waktu lagi sebagai penyokong pemerintah. Kadang ulama dikotrol pemerintah, kadang malah pemerintah yang dikontrol oleh ulama. Kadang mereka rukun bekerja sama, kadang mereka saling bermusuhan. 


Para ulama pernah menggalang perlawanan melawan "rezim pemerintah" seperti terjadi di Libya, Iran, Lebanon, Afganistan, atau Indonesia di masa Hindia Belanda. Sebaliknya, rezim politik-pemerintah juga pernah menumpas atau mengebiri para ulama sejak zaman kekhalifahan dulu sampai di era paska-kolonial. Fenomena "jatuh-bangunnya" ulama ini bukan hanya terjadi di Sunni saja tapi juga di komunitas Syiah, Ibadiyah, Mu'tazilah, dlsb. 

Jika dulu pada era pra-Turki Usmani (Ottoman), para ulama masih sebagai "sarjana individu" diluar gerbong pemerintah (kecuali para ulama-hakim atau qadi yang memang ditutunjuk oleh negara untuk menangani hal-ikhwal yang berkaitan dengan hukum Islam), maka sejak masa Turki Usmani, khususnya pada abad ke-14, ulama mulai "dilembagakan". 

Turki Usmani-lah yang menggagas pembentukan Shaikul Islam atau "Mufti Besar" yang bertugas mengeluarkan atau memproduksi fatwa. Shaikul Islam ini merupakan jabatan bergengsi karena bisa memberi legitimasi keagamaan kepada khalifah/sultan meskipun ia yang menunjuk sang Shaikhul Islam itu. Karena itu ulama yang duduk sebagai "Shaikhul Islam" ini bukan "orang sembarangan", bukan seperti "ustad unyu-unyu" di negeriku tercinta. Ia betul-betul harus menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu keislaman. Karena dulu masih sedikit sekali lembaga-lembaga pendidikan, maka kader-kader ulama dan "calon" Shaikhul Islam ini ditraining di Iran, Mesir, atau Irak, yang dulu menjadi pusat pengetahuan Islam.  

Abad ke-19 dan 20 adalah masa-masa buram bagi ulama. Sejak negara-negara Arab dan mayoritas Muslim lain seperti Turki, Mesir, Irak, Iran, Aljazair, dlsb, dipimpin oleh para politisi nasionalis dan birokrat sekuler, para ulama dilucuti perannya sehingga tidak memiliki otoritas dan pengaruh ke masyarakat. Para mahasiswa yang belajar ilmu-ilmu keislaman melorot tajam. Lembaga-lembaga keagamaan "dinasionaisasi" sementara sistem wakaf yang dulu dipakai untuk menggaji ulama dihapus.

Di Mesir, Presiden Gamal Abdel Nasser menggembosi dan mengontrol peran "ulama Azharis". Rezim Baath di Irak mengobrak-abrik para ulama dan sekolah-sekolah calon ulama. Presiden Ahmed bin Bella di Aljazair juga melakukan hal serupa: membonsai peran ulama. Rezim Turki lebih ganas lagi: mereka munutup sekolah-sekolah Islam, madrasah, dan "tekke dervish" (semacam "pesantren sufi") dan memberangus peran ulama. Iran, pada masa rezim Shah Pahlevi juga menguliti peran ulama. Pak Harto dulu juga membonsai peran para ulama, kecuali mereka yang mau mendukung Golkar. 

Kebangkitan ulama di jagat Islam Timur Tengah baru terjadi sejak Imam Khomeini dan para ulama Syiah berhasil menumbangkan "rezim sekuler" Pahlevi pada 1979. Sejak itu, para ulama, Sunni maupun Shiah, mulai menggeliat dan berani berpolitik seperti yang dilakukan oleh Mullah Mohammed Omar, pendiri Taliban di Afganistan, yang sudah mati terkapar pada 2013. 

Sejarah pasti akan terulang lagi: jika para ulama berisik, tentara nanti yang akan membungkam mereka. Lihat saja...

Jabal Dhahran, Arabia

@Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA

Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment