DUNIA HAWA - Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (MK KIP) memutuskan bahwa hasil Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir harus dibuka kepada publik. Sidang yang dipimpin Evy Trisulo beranggotakan Yhannu Setyawan dan Dyah Aryani dengan mediator John Fresly bersama Panitera Pengganti Afrial Sibarani itu membacakan putusan sengketa informasi dengan register 025/IV/KIP-PS/2016 antara Pemohon KontraS dengan Termohon Kemensesneg.
Ada beberapa alasan MK KIP memutuskan agar hasil TPF itu disebarkan kepada publik. Pertama, pemerintah segara mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan TPF kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat. Dengan demikian, permohonan informasi dilakukan KontraS terhadap Kemensesneg adalah terbuka.
Kedua, alasan Pemerintah Republik Indonesia belum mengumumkan hasil penyelidikan TPF kasus kematian Munir sebagaimana tercantum dalam penetapan Kesembilan Keppres No. 111 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir adalah informasi wajib diumumkan untuk publik.
MK KIP dalam keputusannya juga memerintahkan Kemensesneg mengumumkan informasi berupa pernyataan, sebagaimana tertuang dalam Tanggapan Atas Keberatan Permohonan Informasi Publik, melalui media elektronik dan non elektronik. Selanjutnya, memerintahkan Kemensesneg untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan UU KIP sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap.
Koordinator Kontras, Haris Azhar Haris, menyatakan tidak kaget dengan putusan MK KIP. "Sudah selayaknya putusan KIP seperti itu karena sudah ada Keppres 111," kata Hariz, Senin (10/10) lalu.
Lebih lanjut dia mengatakan memang sudah ada terdakwa Polycarpus dalam pembunuhan Munir tapi yakin bukan dia seorang terdakwanya. "Ada banyak bukti-bukti pelanggaran tapi kenapa hanya Poli yang terdakwa bukan atasannya?," tanya Haris.
Menurutnya laporan TPF jadi sangat penting, namun baru satu tahap saja terlewati dengan menjadikan Poly sebagai tersangka, masih ada sejumlah tahapan yang harus diselesaikan. "Jika tidak diumumkan maka pemerintah bisa dianggap suportif terhadap kematian munir," tegasnya.
Haris juga mengatakan memegang dokumen TPF. Tetapi, perlu disampaikan ke publik lewat lembaga resmi pemerintah karena tidak ada alasan lagi tutup kasus Munir.
Untuk itu, dia mengatakan jika akhirnya ada banding terhadap putusan MK KIP ini maka diminta semua pihak melakukan membaca bersama hasil TPF karena laporan itu sudah beredar luas. Di hasil TPF itu ada kesalahan pidana dan administrasi. Banyak pihak terlibat, mulai dari perusahaan penerbangan Garuda, bandara, dan beberapa level pejabat di BIN.
Sedangkan istri almarhum Munir, Suciwati, meminta Jokowi harus inisiatif umumkan agar pemerintah tidak jadi tumpukan kasus. "Dorong dan kawal tidak hanya diumumkan namun segera ditindaklanjuti, harus ada pengadilan lagi kasus munir," terang Suci.
Namun ternyata dokumen hasil TPF itu tidak ada di Kemensesneg. Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Alex Lay menegaskan, Kemensesneg tidak bisa mengumumkan isi dokumen hasil investigasi TFP kasus Munir.
"Fakta persidangan dengan pembuktian dari Kemensesneg bahwa memang di 2005 Kemensesneg tidak pernah menerima laporan TPF. Dibuktikan juga dalam daftar surat masuk di 2005, enggak ada dokumen laporan TPF," ungkap Alex di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Rabu (12/10).
Alex menjelaskan, berdasarkan keterangan dari mantan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dokumen investigasi TPF sudah diserahkan kepada Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak tahun 2005. Namun, hingga saat ini, dokumen tersebut tidak sampai ke Kemensesneg.
"Yang menerima Pak SBY, sejumlah eksemplar dan sesneg-seskab tidak memegang arsipnya. Itu yang terungkap baik di persidangan maupun publik," terangnya.
Alex juga mengungkapkan, pihaknya telah melakukan pengecekan dokumen investigasi TPF Munir berulang-ulang, namun dokumen tersebut tidak juga ditemukan di kantor Kemensesneg.
"Kita cek di dokumen enggak nemu, tanya pegawai yang kurang lebih bekerja di masa itu mereka mengatakan kita tidak mengadministrasi penerbitan keppres tersebut, tidak juga mengurus administrasi, termasuk tidak day to day dengan TPF," papar Alex.
Dengan demikian, menurut Alex, Kemensesneg tidak berhak menyampaikan isi dokumen investigasi TPF sebagaimana dalam berita yang beredar bahwa Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) memerintahkan Kemensesneg untuk mengumumkan Laporan TPF kasus Munir.
"Kan enggak mungkin satu lembaga mengumumkan dokumen yang bukan berasal dari arsipnya dia. Bukannya Kemensesneg ini menutupi dari pihak dan sebagainya," tuntasnya.
Sebelumnya, dalam sidang sengketa informasi terkait dengan belum dibukanya hasil investigasi pembunuhan aktivis Munir, saksi pertama, Hendardi mengatakan TPF sudah memberikan laporan hasil investigasi kepada SBY selaku Presiden periode 2004-2009. Namun sejak laporan tersebut diserahkan, SBY belum pernah secara terbuka mengungkapkan hasil investigasi TPF.
"Saya memberikan kesaksian bahwa laporan TPF itu diberikan kepada Presiden melalui ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi," ujar Hendardi di Gedung PPI, Jakarta, Selasa (2/8/2016) lalu.
Menurutnya, Presiden seharusnya memberitahukan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh TPF. Dia menuturkan TPF saat itu meminta maaf karena tak bisa mengungkapkan seluruh hasil investigasi. Munir dibunuh saat melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda, pada September 2004, melalui racun arsenik.
Saksi kedua yang dihadirkan dalam persidangan adalah Usman Hamid. Usman Hamid menyatakan TPF sudah melakukan pertemuan lima kali dengan Presiden SBY. Pada pertemuan pertama yakni pada 3 Maret 2005, dihadiri oleh Ketua Komnas Perempuan Kumala Chandra, Retno Marsudi yang saat ini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Ketua dan Wakil Ketua TPF.
"Semua laporan kami berikan pada SBY, namun kewenangan untuk mempublikasikan tetap berdasarkan dari SBY," kata Usman.
Menurut dia, setiap nama yang diduga terlibat dalam rencana pembunuhan Munir sudah masuk dalam dokumen yang diserahkan kepada SBY itu. Namun, publikasi terhadap masyarakat tetap berada di SBY yang saat itu menjabat sebagai presiden.
Lalu benarkah SBY masih menyimpan dokumen hasil TPF tersebut? Dan mengapa SBY enggan membuka kepada publik?
Ingin Kasus Munir Dituntaskan, Jokowi Perintahkan Jaksa Agung Cari Dokumen TPF
Presiden Jokowi ingin agar kasus pembunuhan Munir Thalib dibuka kembali. Langkah pertama yang diambil, Jokowi meminta Jaksa Agung Prasetyo untuk mencari dokumen Tim Pencari Fakta (TPF).
"Presiden mendengar mengenai apa yang menjadi pembicaraan di publik termasuk berkaitan dengan dokumen hasil dari TPF. Presiden menyampaikan telah memerintahkan Jaksa Agung, yang pertama untuk menelusuri keberadaan TPF itu," ujar Jubir Presiden Johan Budi SP di Jakarta, Kamis (13/10/2016).
Dokumen yang dimaksud adalah dokumen hasil kerja TPF yang telah melakukan investigasi soal pembunuhan Munir. Menurut para anggota TPF, dokumen ini telah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan 2005. Namun pihak Setneg maupun Setkab menyatakan tidak memegang dokumen ini.
"Sehingga bisa ditelurusi lebih lanjut apakah ada novum baru yang kemudian bisa ditindaklanjuti," ujar Johan.
Johan mengatakan perintah Jokowi ini terkait dengan Paket Kebijakan Hukum yang dicanangkan oleh sang kepala negara. Di sisi lain, Komisi Informasi Publik (KIP) juga telah memerintahkan pemerintah untuk membuka dokumen hasil TPF tersebut.
Sementara itu, Mantan Anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir, Usman Hamid, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mencari dokumen hasil kerja TPF.
Dokumen tersebut kini tidak ada di Kementerian Sekretaris Negara meskipun TPF sudah menyerahkan ke Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat Presiden pada 2005 lalu.
Padahal, Komisi Informasi Publik sudah memenangkan gugatan Kontras dan meminta pemerintah segera mengumumkan isi dokumen tersebut.
"Sikap Presiden memerintahkan Jaksa Agung mencari dokumen tersebut memperkuat arti penting pernyataan Presiden dua pekan lalu, yang menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan kasus Munir," kata Usman Hamid.
[merdeka/beritateratas]
No comments:
Post a Comment