Tuesday, May 3, 2016

Umar Patek dan Pembebasan Sandera Abu Sayyaf


Dunia Hawa - Lima tahun lebih sejak penangkapannya oleh aparat keamanan Pakistan di kota Abbottabad, Hisyam bin Ali Zein atau yang dikenal dengan nama Umar Patek telah banyak berubah.

Umar ditangkap 25 Januari 2011 atau empat bulan sebelum pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden, terbunuh dalam operasi penyerbuan pasukan elite Amerika Serikat, Navy SEALs, di kota yang sama.

Umar menjalani pidana 20 tahun penjara karena terlibat peristiwa bom Bali I tahun 2002. Kini, dia menjadi salah satu narapidana terorisme yang dapat dideradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.


Momen saat Umar menjadi pengibar bendera Merah Putih dalam upacara hari Kebangkitan Nasional 20 Mei tahun lalu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Porong, Sidoarjo Jawa Timur, ramai diberitakan.


Setelah peristiwa bom Bali I, Umar langsung pergi ke Filipina Selatan bergabung dengan Kelompok Abu Sayyaf.

Dia di Filipina hingga tahun 2009 sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada awal tahun 2010 dan kemudian ditangkap di Pakistan setahun kemudian.


Kabar penyanderaan 10 warga negara Indonesia oleh Kelompok Abu Sayyaf di Pulau Sulu, Filipina, mengusik Umar. Dia menyatakan bersedia membantu upaya negosiasi Pemerintah Indonesia dengan Abu Sayyaf.

Rabu (6/4), Umar yang ditemui di Lapas Porong menuturkan, dirinya mengenal baik pimpinan Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI anak buah kapal tunda Brahma 12 dan tongkang Anand 12. Umar pernah bergabung dengan kelompok tersebut dari tahun 2003 hingga 2009.

Puncaknya, ia pernah didapuk sebagai salah satu anggota Majelis Syura Abu Sayyaf di bawah pimpinan Khadaffy Janjalani pada 2005-2006.

Majelis syura diemban tokoh-tokoh senior dan berpengaruh Abu Sayyaf. Jabatan itu berperan penting dalam menentukan kebijakan kelompok tersebut.

Pimpinan faksi Abu Sayyaf yang menyandera 10 WNI ialah Al-Habsi Misaya dan Jim Dragon alias Junior Lahab.

Ketika masih bergabung dengan Abu Sayyaf, Umar mengungkapkan, Jim dianggap sebagai tokoh senior yang setara dengan dirinya, sedangkan Al-Habsi masih anggota yunior.

Kala itu, Al-Habsi lebih banyak bertugas melakukan dokumentasi terhadap aksi pembunuhan sandera, misalnya terhadap tujuh pekerja asal Filipina pada 2007.

"Saya mengenal baik mereka. Dengan berdasarkan rasa kemanusiaan, saya menawarkan diri membantu pemerintah karena imbauan Pemerintah Indonesia melalui bantuan Pemerintah Filipina tidak akan efektif. Abu Sayyaf menganggap Filipina sebagai musuh," kata Umar.

Ia menambahkan, posisi tawar 10 WNI cukup besar. Sebab, mereka berasal dari Indonesia yang notabene negara Muslim dan menjunjung tinggi keragaman agama.

Selain itu, Al-Habsi dan Jim juga dinilai sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lunak dan terbuka berkomunikasi serta tidak berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah.

"Insya Allah, keberhasilan negosiasi ini sampai 80 persen. Kemungkinan besar mereka tidak mengetahui bahwa 10 sandera itu berasal dari Indonesia sehingga saya bisa memberikan pengertian kepada mereka," kata Umar yang pernah menjadi bagian dari 24 kelompok Abu Sayyaf dan berperang dengan pasukan gabungan Filipina dengan Amerika Serikat di Talayan, Pulau Sulu, Filipina, pada 2005.

Pada 2003, seorang WNI, Zulkifli, menjadi salah satu sandera Abu Sayyaf dan dibebaskan setelah mengetahui ia berasal dari Indonesia.

Lebih lanjut, Umar juga pernah membujuk pimpinan Abu Sayyaf terkait salah satu sandera, yaitu anggota Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Mary Jean Lacaba, yang bebas dari penyanderaan Abu Sayyaf pada April 2009.

Kala itu, ia meminta pimpinan Abu Sayyaf, Albader Parad, membebaskan Lacaba karena dalam hukum Islam dilarang menyiksa perempuan.

Selain itu, pada medio 2005, Umar pun menghilangkan tradisi penyiksaan terhadap tawanan tentara Filipina. Tradisi itu bertahan setidaknya hingga berakhirnya kepemimpinan dan wafatnya Albader pada 2010.

Negosiasi

Umar mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu Sayyaf.

Kini, Abu Sayyaf telah memberikan batas waktu kedua, yaitu 8 April, untuk memberikan uang tebusan 50 juta peso (Rp 14,3 miliar).

"Mereka melihat keseriusan tahap negosiasi dalam memberikan batas waktu. Apabila hingga batas waktu kedua belum ada langkah nyata untuk penebusan, jelang batas waktu ketiga mereka akan membunuh sandera," ujarnya.

Pembunuhan itu biasanya akan diunggah ke internet.

Dalam artikel "Radical Muslim Terrorism in Philippines" karya Rommel C Banlaoi yang terdapat dalam A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (2009) terungkap bahwa upaya penyanderaan di wilayah laut dengan mematok tebusan jamak terjadi setelah Abu Sayyaf dipimpin Khadaffy Janjalani sejak 1998.

Hal itu disebabkan kurangnya ideologi dan kemampuan kepemimpinan Khadaffy. Ia menggantikan kakaknya yang tewas dalam serangan militer dan polisi Filipina, yaitu Abdurajak Abubakar Janjalani pada Desember 1998.

Menurut Umar, di masa kepemimpinan Abdurajak, Abu Sayyaf mendapat pasokan dana dari Al Qaeda untuk pemenuhan logistik perang.

Namun, setelah ketiadaan Abdurajak, bantuan itu menghilang. Pembajakan dan penyanderaan dipertahankan oleh amir (pimpinan) Abu Sayyaf selanjutnya, seperti Albader (2006-2010) dan Radullan Sahiron (2010-kini).

Abu Sayyaf terdiri dari beberapa majmu'ah (kelompok) yang memiliki kebijakan tersendiri. Meskipun Radullan menjadi pimpinan secara umum, setiap kelompok memiliki pemimpin, salah satunya Al-Habsi dan Jim.

"Penyanderaan itu murni untuk memenuhi kebutuhan logistik setiap kelompok, seperti membeli senjata dan amunisi. Mereka memiliki selera tinggi untuk senjata, sebab hanya ingin senjata buatan Amerika Serikat dan menolak (senjata) buatan Filipina," katanya.

Dilema

Ia menyatakan, upaya pembebasan sandera selalu menyebabkan dilema bagi keluarga korban dan pemerintah.

Korban ingin tebusan diberikan dengan alasan keselamatan, sedangkan pemerintah sebuah negara pasti ingin menjaga harga diri bangsa sehingga menyiapkan serangan militer.

Serangan militer, lanjutnya, justru akan menjadi bumerang. Umar mengungkapkan, Abu Sayyaf akan membawa serta semua sandera ketika bergerilya menghindari serangan militer.

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan sandera akan berisiko menjadi korban serangan militer.

Umar mencontohkan, tiga sandera anggota ICRC, yaitu Lacaba, Andreas Notter, dan Eugenio Vagni, dibawa Albader dan kelompoknya bergerilya sebelum dibebaskan setelah Abu Sayyaf menerima tebusan atas Notter dan Vagni.

Namun, kalau pemerintah tidak tegas bernegosiasi, Abu Sayyaf juga bisa membunuh sanderanya.

"Jangan sampai ada derai air mata dari keluarga korban, keluarga tentara kita, dan negara ini," ujar Umar. 

[MUHAMMAD IKSAN MAHAR] nasional.kompas.com

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment