Hanya 50% tambah 1 untuk menolong Indonesia.
DUNIA HAWA - Pilkada DKI periode ini benar-benar membukakan wacana diskusi yang tidak sebatas pada isu-isu pemilihan umum seperti hak kewajiban memilih pemimpin atau menolak golput (baca: golongan putih). Wacana diskusi di Pilkada ini sampai pada isu-isu kompleks seperti membicarakan tentang reklamasi, kemudian konsep kepribumian, bahkan sampai pembicaraan tentang adanya sebuah kelompok yang mengagendakan konsep syariah untuk DKI Jakarta.
Jika dikaji ulang, sebenarnya apa sih Syariah itu? Mengapa begitu banyak yang menggebu-gebu sekali untuk menegakkannya? Mengapa Huffington Post mengatakan bahwa Indonesia bukanlah Negara Syariah, bahkan ada beberapa orang yang tinggal di Negara Arab sekalipun menolak untuk memakai interpretasi syariah yang kaku?
Secara gamblang, Syariah [Arab: الشريعة] secara bahasa artinya adalah jalan yang dilewati untuk menuju sumber air. (Lisan Al-Arab, 8/175). Secara bahasa, kata syariat juga digunakan untuk menyebut mazhab atau ajaran agama. (Tafsir Al-Qurthubi, 16/163). Atau dengan kata lebih ringkas, syariat berarti aturan dan undang-undang. Aturan disebut syariat, karena sangat jelas, dan mengumpulkan banyak hal. (Al-Misbah Al-Munir, 1/310).
Ada juga yang mengatakan, aturan ini disebut syariah, karena dia menjadi sumber yang didatangi banyak orang untuk mengambilnya. Namun, dalam perkembangannya, istilah syariat lebih akrab untuk menyebut aturan Islam.
Secara definisi kata Syariah itu sendiri tidaklah seseram yang dibayangkan. Lantas apa yang ditakuti oleh kebanyakan orang? Ternyata terdapat perbedaan interpretasi dengan apa yang disebut dengan “aturan Islam” tersebut. Dalam interpretasi yang pertama, syariah benar-benar hanyalah diartikan sebagai undang-undang atau peraturan.
Lebih lanjut lagi, syariah sebenarnya bebas interpretasi dan tidak memaksakan harus hukum Islam, namun justru meminta penganutnya untuk mengikuti aturan di Negara mana ia berada.
Jadi, pribadi yang syariah itu artinya ia mengikuti peraturan Negara yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, artinya pribadi syariah haruslah mengikuti Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD '45. Sedangkan interprestasi yang lain diartikan sebagai “mengganti ideologi negara menggunakan hukum atau paham-paham Islam.”
Di Indonesia, Syariah Islam berhasil diterapkan di Aceh setelah konflik panjang Gerakan Aceh Merdeka (disingkat GAM) dan menjadikan Aceh sebagai prototipe atau contoh pertama dan satu-satunya sebagai kota dengan syariah Islam. Pada penerapan syariah Islam ini ternyata terdapat beberapa keganjilan seperti dicambuknya orang yang non-muslim, dan yang lainnya.
Meskipun sebenarnya mayoritas masyarakat Aceh sendiri mendukung penuh akan syariah Islam ini, termasuk kelompok minoritasnya seperti Waria dengan catatan tidak ada main hakim sendiri dan objektif melihat permasalahannya, ternyata beberapa orang yang sejak awal setuju dengan perda syariah mulai menganggap perda syariah yang sekarang berlaku di Aceh sudah mulai berlebihan.
Bagaimana dengan Jakarta? Apakah syariah Islam pun cocok untuk Jakarta? Kita semua tahu bahwa Jakarta adalah tempatnya para pengadu nasib pencari uang yang datang dari berbagai tempat di Indonesia bahkan dari warga negara asing sekalipun.
Pemimpin Pondok Pesantren Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Soko Tunggal, KH Nuril Arifin Husein mengatakan, “Negara kita ini berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bukan negara teokrasi atau agama. Kalau ada yang ingin Jakarta Bersyariah, Jakarta ber ini ber itu, orangnya suruh pindah ke Arab saja,” katanya kepada Netralnews.com, Minggu (9/4/2017).
Jakarta yang merupakan miniatur Indonesia dan menggambarkan kemajemukan, dimana keanekaragaman suku, budaya, agama, adat, dan bahasa bersatu di Ibu Kota menjadikan syariah Islam sulit diterapkan karena pada akhrinya akan banyak yang akan merasa terdiskriminasi oleh peraturan yang tercipta, terlebih lagi bagi non-Muslim.
“Arab itu bangsanya satu, bangsa Arab, bahasanya satu, bahasa Arab, negaranya puluhan. Kita ini suku bangsanya ratusan bahkan ribuan, bahasanya ribuan, tetapi negaranya satu. Ini yang harusnya dijaga, ditunjukan aturannya yang benar,” ungkap Gus Nuril.
Namun pertanyaan selanjutnya, mengapa masih ada kelompok yang memaksakan konsep syariah ini di Jakarta sembari menunggangi isu Pilkada ini meskipun mereka tahu bahwa Jakarta tidak lah seperti Aceh? Bahkan Presiden kita yang pertama, Soekarno, saja mengatakan, “Ini bangsa Indonesia, bung! Bukan negara Islam!”
Apakah penegakkan syariah Islam ini bermakna “pribadi yang seharusnya mengikuti dasar negara Indonesia yaitu Pancasila dan UUD '45” atau bermakna Islamofasisme yang artinya memukul rata Indonesia menjadi Negara Islam dan mengancam ideologi bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD ‘45?
Saya melihat dua makna itu tergambar jelas pada dua pasangan calon Pilkada Jakarta 2017 ini, dan ancaman Islamofasisme ini akan berhasil hanya jika mencapai 50% tambah satu, dan hanya 50% tambah satu pula untuk menolong Indonesia dari gerbang perpecahan. Pilkada ini tentu akan mengubah nasib Indonesia kedepannya. So, yang memiliki KTP Jakarta, yuk gunakan hak pilih kamu dengan bijak!
No comments:
Post a Comment