DUNIA HAWA - "Bali Sudah Intoleran", begitulah framing berita yang mereka bangun terkait penolakan sebagian masyarakat Bali terhadap Abdul Somad.
Padahal sesungguhnya masyarakat Bali, kemaren, menolak penceramah yang berpotensi memecah belah. Yang ceramahnya menghina simbol agama lain, yang menjelek-jelekkan fisik orang lain dan yang membawa agenda khilafah.
Situasi yang sama yang dialami oleh Ansor dan Banser, saat ingin mengganti penceramah yang ingin menyerukan khilafah, tetapi di framing berita bahwa Ansor dan Banser membubarkan pengajian.
Mirip dengan yang dilakukan Ansor dan Banser, komunitas masyarakat Bali memaksa Somad untuk mencium bendera Merah Putih, berikrar kesetiaan pada Pancasila dan menyanyikan Indonesia Raya, untuk membuktikan ketaatannya pada NKRI.
Tapi Somad menolak. Meskipun akhirnya menyerah dan hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Inilah yang mereka tidak beritakan.
Mereka malah secara massif membangun berita bahwa Bali intoleran. Dan propaganda itu disebar kemana-mana di media sosial, dimana mereka masih menguasainya..
Bali harus menjaga dirinya sendiri dari kelompok pendukung khilafah, yang sekarang membungkus dirinya dengan “acara Maulid”, “pengajian” dan sebagainya.
Di Bali, toleransi sangat tinggi antar umat beragama. Bahkan para pecalang selalu menjaga shalat Jumat sebagai bagian dari melindungi ibadah umat Islam di tengah-tengah masyarakat yang beragama Hindu.
Model-model propaganda seperti ini yang akan terus dimainkan mereka, memainkan pikiran banyak orang bahwa yang dilawan oleh mereka yang nasionalis adalah agama Islam.
Mereka berlindung dibalik agama untuk memainkan agenda besar mereka, yaitu membentuk negara khilafah.
Terus mainkanlah gendangmu, kawan, jangan pernah lelah. NKRI ini harus dijaga. Jangan sampai kita menjadi Suriah kedua, dimana politik berbaju agama meluluh-lantakkannya.
Kuasai media sosial, karena disanalah perangnya sekarang. Jangan terpengaruh propaganda “playing victim” yang mereka mainkan.. Buat mereka, yang ada itu menang atau kalah bukan bagaimana mencari solusi bersama.
Saya boleh tidak pandai bicara. Tapi tulisan-tulisan saya akan terus mengorek borok yang mereka tutupi dengan kata-kata indah.
Dan karena itulah mereka dendam karena sekian tahun lamanya, mereka tidak punya kesempatan bagus untuk menghantam saya.
Bali, Manado, Papua, Jawa dan banyak provinsi lainnya, kita jaga wilayah kita sekuat mungkin.
Satu waktu, kita akan duduk dan minum secangkir kopi bersama untuk bercerita tentang indahnya perjuangan menjaga tetap indahnya perbedaan di negeri ini.
Klarifikasi Tentang "Bali Sudah Intoleran"
Untuk meng-counter berita BALISUDAH INTOLERANSI brikut klarifikasi dari Bali. Dari status di dinding Facebook Jemima Mulyandari.
Awalnya Ustad Abdul Somad Menolak Mencium Sang Saka Merah Putih. Sejak kemarin banyak beredar pemberitaan “Bali Menolak Ustad Abdul Somad Berceramah Di Bali”. Itu semua adalah pemberitaan yang salah dan menyesatkan. Beginilah kronologis cerita yang sebenarnya:
1. Ustad Abdul Somad datang ke Bali untuk berceramah pada hari Jumat, 7 Desember 2017.
2. Bali menyambut baik siapapun juga yang datang ke Bali termasuk Ustad Abdul Somad. Mau berceramah juga silakan, karena Islam adalah salah satu agama yang diakui secara sah di NKRI.
3. Namun dikarenakan sepak terjang dan ceramah Ustad Abdul Somad di masa lalu dan sampai kini yang seperti itu (tak perlu diterangkan lagi kita pasti sudah tahu sama tahu.
Ada banyak videonya sudah beredar dimana-mana. Silakan dicek sendiri di youtube), maka Bali merasa sangat perlu untuk menyatukan komitmen, visi dan misi dengan Ustad Abdul Somad. Visi dan misi tersebut adalah komitmen bahwa kita semua termasuk Ustad Abdul Somad adalah anak bangsa yang cinta NKRI, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan Sang Saka Merah Putih.
4. Ternyata Ustad Abdul Somad menolak mencium Sang Saka Merah Putih. Kenapa beliau menolak? Silakan menanyakan alasannya kepada Ustad Abdul Somad sendiri. Bukan kapasitas saya untuk menjawabnya.
Yang jelas, bukanlah hal yang sulit dan berlebihan bagi setiap anak bangsa untuk mencium bendera negaranya sendiri. Para atlet yang akan berlaga, anggota Paskibraka dan banyak moment lainnya sudah lazim melakukan prosesi mencium Sang Saka Merah Putih. Tak ada yang aneh dan tak ada yang sulit dengan itu semua.
Justru Ustad Abdul Somadlah yang mempersulit dirinya sendiri dengan menolak permintaan yang semudah itu. Itupun sudah melalui proses negosiasi panjang yang melelahkan sampai berjam-jam di dalam ruangan tertutup di Hotel Aston, Gatsu Barat, Denpasar, Bali. Hal mudah dibuat jadi sulit. Itulah yang terjadi saat itu.
5. Bali tidak berhak memaksa. Jika Ustad Abdul Somad memang tidak bisa menyamakan komitmen, visi dan misi sebagai anak bangsa yang cinta NKRI, ya berarti silakan pulang. Keputusan ada di tangan Ustad Abdul Somad sendiri mau pulang atau tidak.
6. Ustad Abdul Somad tetap menolak mencium Sang Saka Merah Putih. Itu artinya Ustad Abdul Somad sendirilah yang memilih untuk pulang dan tidak melanjutkan acara ceramahnya di Bali.
7. Saat berita nomer 6 diketahui masyarakat Bali yang berkumpul di depan Hotel Aston, suasana menjadi ramai meminta Ustad Abdul Somad agar segera pulang. Point nomer 7 inilah yang diberitakan sana sini bahwa Ustad Abdul Somad diusir dari Bali. Padahal Ustad Abdul Somad sendiri yang sudah memilih untuk pulang.
8. Akhirnya Ustad Abdul Somad berubah pikiran. Ustad Abdul Somad mau menyanyikan lagu Indonesia Raya, mau mengakui NKRI, Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tungga Ika sebagai 4 pilar kebangsaan Indonesia yang sudah final dan tidak dapat diubah dan tidak dapat diganggu gugat, sekaligus mau mencium Sang Saka Merah Putih sebagai tanda kecintaannya kepada NKRI. Semua prosesi ini dilakukan di depan Hotel Aston, dihadapan semua masyarakat Bali yang berkumpul di sana.
9. Karena komitmen, visi dan misi sudah sama, Bali mempersilakan Ustad Abdul Somad melanjutkan tujuannya datang ke Bali untuk berceramah. Ustad Abdul Somad malah dikawal dengan baik oleh perwakilan masyarakat Bali dan anggota keamanan, sehingga acara ceramahnya bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Demikianlah tulisan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.
Tertanda:
Jemima Mulyandari
Denpasar, 8 Desember 2017
Liciknya G erakan HIZBUT TAHRIR
Sementara ini bisa dibilang agenda HTI berhasil. Pasca “dipukulnya” HTI oleh Jokowi dengan Perppu Ormas, HTI sempat seperti burung yang sayapnya patah. Ia terombang-ambing mencari “keadilan” yang tampaknya makin jauh dari kenyataan.
Tapi Hizbut Tahrir bukan organisasi kemarin sore memang. Gerakan mereka terbukti sudah ditakuti banyak negara, karena mereka sistematis dan militan. Karena itulah negara-negara tersebut lebih baik memenggal kepala ular itu dan menangkapi banyak pentolannya..
Belajar dari itu, Hizbut Tahrir Indonesia memakai taktik baru. Panji boleh dilarang berkibar, tetapi ideologi tetap jalan.
HTI menggunakan bendera yang mereka sebut “Panji Rasulullah” sebagai tamengnya. Bendera hitam dan putih ini sudah identik dengan HTI, karena merekalah yang mempopulerkan dan menggunakannya dalam aksi demo di jalan.
Dengan bendera itu, sulit bagi aparat untuk menindak HTI karena nanti dianggap bertentangan dengan umat Islam. HTI pun masuk ke dalam aksi-aksi massa besar dengan bendera itu sekaligus menggaungkan ideologi khilafah dalam setiap kesempatan.
Strategi kedua HTI adalah menyebar “ustad-ustad” mereka yang piawai menyihir massa untuk menguasai momen besar seperti tabligh akbar dan Maulid.
Rencana ini sebenarnya tercium oleh Ansor dan Banser, dan serentak mereka bergerak mencegahnya. Disinilah saya melihat kehebatan orang-orang HTI - sekaligus kelicikannya.
HTI menggunakan ormas berbeda untuk melindungi dirinya. Dengan bahasa manis “persatuan Islam”, mereka merangkul salah satu ormas besar sekaligus memukul ormas besar lainnya.
Ansor dan Banser tahu bahwa mereka akan diadu, dan jika terjadi bentrokan, maka kerugian besar akan terjadi. Saya salut dengan langkah Gus Yaqut Ketua GP Ansor yang paham situasi dan mundur selangkah untuk mendinginkan suasana.
Ketika Ansor dan Banser mundur selangkah itulah, HTI menggunakan kekuatan pasukan dunia mayanya yang militan, untuk “menghabisi” karakter Ansor dan Banser sebagai “ormas pembubar pengajian”.
Ini strategi cerdik sekaligus sangat licik.
HTI mengambil dua keuntungan sekaligus. Pertama, nama Banser dihancurkan, kedua HTI merangkul Ansor dan Banser dengan tagline “persatuan Islam”.
Dengan begitu HTI yang diwakili oleh “ustad-ustadnya” akan tampak sebagai sosok yang lembut sedangkan Ansor dan Banser sosok yang berangasan.
Dan situasi ini tidak didiamkan begitu saja oleh mereka, harus ada propagandanya. Maka meluncurlah tagline “Ustad pemersatu Islam”.
Dahsyat memang permainan caturnya.
Hizbut Tahrir Indonesia ini memang ular berkepala tiga. Mereka bisa dengan enak menyebutkan demokrasi di Indonesia itu haram, tapi pada satu kesempatan dimana mereka terpojok, mereka bisa menjadi sosok-sosok yang mengagungkan NKRI.
Mereka yang dulu membidahkan Maulid Nabi, mendadak cinta Maulid. Dan tiba-tiba saja bilang, “Kami ini juga dari NU”. Siapa coba yang bisa bermain seperti itu kalau bukan orang yang culas dan menghalalkan segala cara?
Lalu kemana arah strategi HTI sebenarnya? Jangka pendek, jelas Pilpres 2019. Jangka panjang NKRI bersyariah, bahasa halus dari khilafah.
Dendam HTI kepada Jokowi itu luar biasa. Hanya pada masa pemerintahan Jokowi inilah, eksistensi mereka terhenti total dan terpaksa mereka harus bersembunyi dan berpura-pura cinta Indonesia.
HTI dengan mudah nemplok parpol, lengket dengan ormas, bersinergi dengan penguasa, selama tujuan mereka sama. Bahkan ketika orang-orang HTI ada di dalam sebuah organisasi, mereka dengan lihai mengambil alih kendali.
Jadi paham kan kenapa banyak negara di dunia melarang keberadaan Hizbut Tahrir dan menangkapi para pengikutnya?
@denny siregar
No comments:
Post a Comment