Dunia Hawa - Gagasan itu terlontar begitu saja ketika saya lihat wajah anak-anak muda yang hadir di talk show tentang parenting (pendidikan anak) di UGM, Sabtu lalu. Saya tidak menyangka pesertanya adalah para mahasiswa, bukan orang-orang yang sudah mempunya anak. Saya sangat senang dengan kenyataan itu.
Gagasan tentang parenting telah menghuni benak saya sejak saya masih bujangan. Ada banyak mimpi tentang itu. Saya ingin melakukan ini dan itu bersama anak-anak saya. Gagasan itu menyatu dengan mimpi saya tentang masa depan: karir, rumah, keluarga, dan anak-anak. Banyak dari mimpi itu berhasil saya wujudkan, beberapa di antaranya lebih dari yang saya impikan. Tentang anak-anak, sesungguhnya saya sedang menjalankan apa yang dulu saya impikan.
Sejak dulu saya membayangkan sosok diri saya sebagai ayah. Saya adalah seorang ayah yang dekat dengan anak-anak, yang bisa bercanda akrab dengan mereka. Saya tidak ingin menjadi ayah yang ditakuti anak-anak, sebagaimana sosok ayah yang sering saya temukan di masa kecil saya. Saya beruntung, meski tegas dalam hal-hal prinsip, ayah saya adalah sosok yang sangat akrab dengan anak-anak.
Dalam banyak hal, saya menjadikan sosok ayah saya sebagai panutan bagi diri saya dalam mendidik anak. Zaman boleh berbeda, tapi kasih sayang ayah tidak berubah. Ayah sering pulang dari kebun kelapa atau ladang kami, membawakan buah tangan berupa telur burung liar, atau buah rumput liar. Saya selalu menikmati hadiah-hadiah kecil dari Ayah tersebut.
Ayah selalu mengajak saya ke berbagai tempat. Ia tak pernah enggan mengajak saya ke mesjid, atau menghadiri kenduri, di mana dia selalu diminta menjadi pembaca doa. Sering Ayah mengajak saya menghadiri acara pernikahan, bahkan saat dia harus mengurus mayat yang hendak dimakamkan. Pernah saya diajak Ayah mengurus mayat orang yang mati tenggelam, yang wujudnya tampak mengerikan. Ayah tak pernah menunjukkan perasaan bahwa kehadiran saya yang "mengganduli" dirinya pada setiap kesempatan itu sebagai gangguan.
Ayah juga sering memasak di rumah. Kalau kami menyembelih kambing, Ayah yang menyembelih, menguliti, sampai memasak dagingnya. Masakannya sungguh lezat. Kalau Emak tak ada di rumah saat sedang pergi berdagang, Ayah selalu memasak. Kala Emak pulang selepas magrib, biasanya makanan hasil masakan Ayah sudah terhidang.
Ayah mengajari saya mengaji. Ayah pula yang mengajari saya bekerja. Mulai dari cara mengasah parang, menebas rumput, mengayun cangkul untuk menggali selokan. Sejak kecil saya sudah diajak Ayah untuk melakukan itu semua.
Nikmat didikan Ayah itu membekas dalam benak saya. Ia memunculkan gagasan tentang bagaimana saya akan mengasuh dan mendidik anak-anak saya kelak. Gagasan itu sudah muncul sejak saya masih sangat muda. Ada keinginan yang sangat kuat untuk menjadi sosok seperti sosok ayah saya sendiri.
Maka ketika saya menjadi seorang ayah, setiap hal yang dulu saya impikan saya lakukan. Setiap hal yang dulu saya bayangkan, menjadi kenyataan. Saya menikmati setiap detik bersama anak-anak saya. Menikmati setiap kelelahan, rasa kantuk. Saat anak-anak sakit, sering pula akhirnya kami suami istri ikut jatuh sakit karena kelelahan merawat anak. Tapi tetap saja semua itu menyenangkan.
Saat terberat dalam mengasuh anak adalah ketika anak pertama saya, Sarah, baru berumur 2-3 bulan. Saat itu saya sedang menulis disertasi, lalu menghadapi ujian. Malam-malam saya harus begadang, karena Sarah rewel, susah tidur. Dia hanya mau tidur kalau digendong. Begitu diletakkan di tempat tidur, ia akan bangun dan menangis. Akhirnya saya begadang sepanjang malam, lalu esoknya memeras energi untuk menulis disertasi. Tapi tetap saja semua itu indah belaka.
Tugas mendidik anak ini belum selesai. Masih banyak tantangan, khususnya saat anak-anak beranjak menjadi remaja, lalu dewasa. Tapi saya yakin, urusan mendidik anak ini akan selalu menyenangkan. Because, this is the dream comes true!
[hasanudin abdurakhman, phd]
No comments:
Post a Comment