Kerusuhan Rasial Anti-China Tahun 1980 (November)
DUNIA HAWA - Saya adalah WNI dari etnis Tionghoa, dan dapat dikatakan seluruh masa muda saya hanya mengenal satu presiden saja, yaitu alm. Pak Harto. Saat ada kerusuhan anti-China di Solo dan kemudian menyebar sampai ke Semarang, saya masih duduk di bangku SMA. Itulah pengalaman pertama saya mengalami secara langsung kerusuhan anti-China. Saya harus berlari pulang ke rumah dengan melewati jalan kampung.
Saya sudah cukup besar untuk bisa mengingat peristiwa itu, tetapi sekaligus belum cukup dewasa untuk mencerna penyebab semuanya itu. Yang masih saya ingat, saat terjadi kerusuhan, murid-murid dipulangkan lebih awal dengan pesan harus segera pulang ke rumah, karena ada kerusuhan.
Sampai di rumah, saya melihat beberapa tetangga menutupi kaca-kaca jendela dengan tripleks. Mama saya memutuskan untuk membiarkan kaca jendela rumah kami tidak ditutup.
Ada 2 alasan mengapa Mama memutuskan demikian. Pertama: ada seorang tetangga yang dihormati (baca: dituakan) di kampung kami (orang Jawa), yang sudah mengatakan kepada Mama bahwa beliau yang akan menjaga depan rumah kami, bila perusuh-perusuh tersebut sampai masuk ke kampung kami, dan melempari kaca jendela dengan batu. Kedua: Mama malah merasa lebih aman bila kaca jendela rumah kami tidak ditutupi, karena malah akan dikira bukan rumah milik WNI etnis Tionghoa [hebat sekali nyali Mama saya, kan Pak.]. Mama begitu yakin akan keamanan keluarga kami, karena percaya dengan tetangga kami tersebut. Nyali Mama itulah yang mungkin membuat kami, anak-anaknya, tidak mengalami trauma berat yang berkepanjangan akibat kerusuhan tersebut. (ternyata lebih dari 10 tahun kemudian baru saya menyadari betapa saya mengalami sebuah trauma yang cukup parah, tanpa saya sadari)
Saya masih ingat bahwa setelah itu, untuk sementara waktu, kami (saya dan kakak-kakak) harus selalu membawa kaos dan topi dalam tas sekolah kami. Bila kerusuhan terulang dan kami harus dipulangkan dari sekolah lebih awal, kami menyamarkan diri di balik kaos dan bisa menyembunyikan wajah di balik topi. Sejauh yang bisa saya ingat, sekolah pernah kembali dibubarkan lebih awal beberapa waktu kemudian.
Isu Kerusuhan Semasa Kuliah Di UGM
Seingat saya juga, saat saya masih kuliah di UGM, pernah satu kali muncul isu kerusuhan anti-China lagi. Sebenarnya saya tidak mengetahui hal itu sama sekali. Saya berangkat kuliah seperti biasa, dan saat di parkiran motor, seorang teman (orang Jawa) malah heran melihat saya datang kuliah hari itu. Dari dia-lah saya tahu tentang isu tersebut. Saya pilih tetap masuk kuliah sesuai jadwal, karena memang saya tidak tahu apakah informasi dari teman tersebut benar atau tidak. Bapak tahu apa yang dilakukan teman saya itu? Saat bubaran kuliah, dia bilang akan menemani saya pulang ke kos, sekedar memastikan bahwa saya sampai di kos dengan selamat! Padahal kami tidak akrab sama sekali, hanya kenal-kenal biasa sebatas sebagai teman kuliah saja. Waktu itu yang terpikir oleh saya hanya : ‘Gusti Allah mboten sare, tapi selalul menjaga keselamatan saya, bahkan saat saya tidak mengetahui ancaman yang saya hadapi. DIA mengetuk hati teman kuliah saya untuk menjaga keselamatan saya.’ Apakah isu tersebut benar atau tidak, saya tidak mengetahuinya; dan saya tidak terlalu peduli. (saya pikir/kira saya tidak mengalami trauma akibat kerusuhan rasial saat saya di SMA, karena saya bisa hidup secara ‘normal’ tanpa rasa takut berlebihan. Ternyata saya keliru besar!!!)
Naif, Skeptis, Apatis
Di masa saya kuliah, berita tentang anak-anak alm. Pak Harto yang merambah dunia bisnis sudah begitu masif terdengar. KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) sudah menjadi rahasia umum dan saya tidak peduli sama sekali. Dalam artian: saya masih tetap percaya dengan pemerintahan alm. Pak Harto. Ketidak-adilan tersebut tidak mengusik hati saya, ibaratnya apa yang dilakukan oleh anak-anak alm. Pak Harto tidak merugikan saya, koq. Sangat naif sekali, ya Pak?
Di masa awal saya bekerja, walau berita negatif tentang bisnis anak-anak alm Pak Harto makin kenceng, saya masih tidak peduli dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal saat muncul BPPC-nya Tommy, perusahaan rokok tempat saya bekerja sangat merasakan imbasnya. Perusahaan kami harus membeli cengkeh dengan harga berlipat-lipat dibanding sebelum BPPC diberlakukan. Di pihak lain, petani cengkeh sangat dirugikan karena harga jual ke BPPC lebih murah dari menjual langsung ke pabrik rokok atau penampung di luar BPPC. Dan saya masih tidak peduli!!! Ini dalam artian: saya tidak merasa ada yang salah dengan pemerintahan alm. Pak Harto. [bila sekarang saya melihat semua itu, betapa mengerikannya pengkodisian yang sudah dilakukan selama puluhan tahun itu, dengan jumlah korban yang sangat banyak]
Kalau saya pikirkan lagi sekarang, betapa naif/skeptis/apatis-nya saya dahulu, sebelum terjadi peristiwa kerusuhan Situbondo.
Hikmah Peristiwa Kerusuhan Situbondo 1996
Peristiwa kerusuhan di Situbondo itu (yang menyebar ke beberapa daerah di sekitarnya) adalah peristiwa yang mengguncangkan jiwa saya, menggugah rasa keadilan dalam diri saya. Saya bekerja di Surabaya dan mengikuti dengan cermat berita tentang penyebab kerusuhan di Situbondo, bagaimana gereja dan sekolah Kristen/Katolik yang dihancurkan dan dibakar karena kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh seorang yang juga beragama Islam. Saya masih ingat bagaimana Gur Dur memerintahkan NU dan GP Ansor untuk membantu warga Kristen/Katolik untuk membersihkan puing-puing sisa kerusuhan. Kesadaran bahwa sudah terjadi usaha membenturkan umat Islam dengan umat Kriten/Katolik di balik kerusuhan Situbondo, sungguh mengguncangkan hati saya, pak Prabowo. Seingat saya, rumor (gossip) kuat berhembus kala itu adalah: ada usaha membenturkan umat NU dengan umat Kristen/Katolik agar muncul ketidakstabilan di Jawa Timur. (mungkinkah peristiwa kerusuhan di Poso dan di Ambon terjadi seperti kerusuhan Situbondo??). Syukurlah dengan kenegarawanan Gur Dur, kerusuhan Situbondo bisa segera di atasi.
Hikmah dari peristiwa kerusuhan tersebut adalah di Jawa Timur ikatan batin antara umat Islam dan umat Kristen/Katolik malah makin menemukan bentuknya, khususnya antara umat NU dan umat Kristen/Katolik. Syukurlah ikatan batin tersebut makin menyebar ke daerah lain. Dan bagi saya pribadi, hikmahnya juga sangat besar : kesadaran berbangsa dan bernegara dengan benar dalam saya jadi tergugah dengan sendirinya.
Terperangkap Di Tengah Lautan Warga Nadliyin
Sebenarnya ada peristiwa lain yang mungkin mengawali tergugahnya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam diri saya. Peristiwa itu terjadi beberapa bulan sebelum pecah kerusuhan di Situbondo. Secara tidak sengaja saya terjebak di tengah-tengah lautan massa Nadliyin di Surabaya.
Sejauh yang saya bisa ingat, saya memang tidak suka berada di tengah kerumunan massa (tanpa menyadari bahwa itu tanda saya mengalami trauma), baik itu massa sepak bola, kampanye ataupun kegiatan keagamaan.
Entah bagaimana, saya tidak membaca berita di koran bahwa akan ada acara keagamaan oleh NU (saya tidak tahu acara apa – yang jelas banyak massa dengan membawa bendera NU). Saya heran (masih heran sampai sekarang), bagaimana mungkin saya menyetir mobil tanpa memperhatikan sekeliling (tidak menyadari adanya kerumunan massa tersebut), dan baru tersadar saat mobil saya sudah terjebak di tengah massa yang banyak sekali itu.
Saat itu saya sangat ketakutan. Saya makin ketakutan saat saat ada seseorang dengan ikat kepala bersimbol NU menempelkan wajahnya ke kaca mobil saya. ‘Dia pasti bisa melihat wajah saya dengan jelas!. Melihat wajah saya yang bermata sipit ini!!’ .
Orang itu berteriak “mau kemana?”, dan saya jawab “keluar … keluar…” (maksud saya saya ingin keluar dari jalan Tunjungan, tempat saya terjebak). Orang itu kemudian memandu: berusaha membuka jalan di depan saya agar mobil saya bisa maju dan berbelok ke luar dari jalan Tunjungan, masuk ke jalan lain.
Begitu terbebas dari jalan Tunjungan dan dari kerumunan massa Nadliyin, saya langsung menepikan mobil. Saya harus menenangkan diri karena saat itu saya sangat gemetaran dan kepanikan saya belum mereda. Suatu pengalaman ‘hororable’ yang tak pernah saya bayangkan akan saya alami. Saya hanya bisa bersyukur kepada Allah, karena saya ‘selamat’. [Kepada teman-teman Nadliyin, mohon maaf bila saya memakai kata ‘hororable’, itu adalah pengalaman saat saya belum mengenal NU dengan para Nadliyin-nya). Belum terpikirkan oleh saya bahwa warga Nadliyin adalah warga yang humanis. Walau kala itu saya mempunyai kesan positif terhadap Gur Dur dan Cak Nur, tetapi NU, Nadliyin dan politik bukanlah hal yang saya pedulikan.
Kerusuhan Situbondo 1996
Tidak begitu lama, terjadilah peristiwa kerusuhan Situbondo yang mengguncangkan hati (batin) saya itu. Dengan mengikuti secara cermat peritiwa Situbondo, memperhatikan sepak terjang Gus Dur dalam mengatasi situasi di Situbondo, saya menjadi sedikit demi sedikit makin mengenal NU dan bagaimanakah ‘wajah’ NU yang sesungguhnya (di mata saya). Sejak itu saya malah merasakan ketenangan yang luar biasa bila melihat bendera NU … warna hijau dengan gambar kepulauan Indonesia. Walaupun sampai saat ini, saya tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan ormas NU ataupun seorang Nadliyin-pun, saya selalu merasa bahwa NU ada dalam hati saya (dan saya tetap 100% Katolik). Yang saya rasakan bukan lagi mengenai agama mayoritas yang melindungi minoritas, ataupun warga mayoritas yang melindungi warga minoritas. Tidak, bukan seperti ltu. Yang saya rasakan adalah saya merasa diperlakukan sebagai sesama manusia. No more, no less. tanpa embel-embel ataupun stempel-stempel apapun.
Kesimpulan
Itulah dua pengalaman buruk kerusuhan anti-china yang saya alami di masa sekolah/kuliah.Pengalaman diskriminatif semasa Orde Baru yang mengakibatkan trauma sekitar 16 tahun.
Dan itulah dua pengalaman traumatis lainnya saat saya sudah mandiri secara total. Ternyata dua kali mengalami peristiwa yang menggoncangan batin dalam waktu berdekatan, malah membuat saya sembuh dari trauma masa lalu (yang sebelumnya tidak saya sadari). Saya merasakan seperti ada beban yang terlepas.
Hikmah dari semua pengalaman-pengalaman tersebut adalah: keinginan kuat untuk ‘berjuang’ agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami peristiwa traumatis seperti yang saya alami (dan juga dialami oleh banyak WNI lain (tidak hanya sebatas WNI dari etnis Tionghoa saja). Kerusuhan Mei 1998, walau target utama adalah WNI etnis Tionghoa, penulis percaya bahwa banyak WNI lain yang hilang/terbakar sia-sia di dalam mal-mal yang dibakar dengan brutal.
Penutup
Banyak orang berpikir bahwa saya terlalu naif, karena saya berpendapat bahwa pak Prabowo adalah orang yang bisa membantu (mem-back up) Presiden Jokowi dan pak Basuki. Suara hati saya selalu berkata bahwa sebenarnya Bapak adalah orang yang bisa menjadi 3 serangkai baru yang membawa Indonesia ke masa kejayaan kembali. Tentu saja dengan perannya masing-masing dan tanpa Bapak menjadi Presiden Republik Indonesia, bapak bisa menjadi negarawan. Kadang ambisi pribadi perlu dilepaskan.
Pilihan ada di tangan Anda, pak Prabowo. Itu pilihan/kehendak bebas yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Tentu saja untuk suatu tindakan besar, ada godaan yang biasanya jauh lebih besar : ‘iming-iming’ jabatan/kekuasaan yang ‘seolah-olah’ sudah tersedia di depan mata. Jika sesuatu bukanlah menjadi Rencana Allah, maka hal itu tidak akan terwujud. Dengan satu dan banyak cara Allah hanya akan memberikan kekuasaan kepada orang yang dikehendaki-NYA.
Kembali saya mengutip kisah dalam Kitab Suci kami (agama Katolik), kisah Daud. Dalam keadaan apapun, Daud tidak pernah berusaha mencederai Saul, sebaliknya Daud selalu memperhatikan keselamatan Saul. Mengapa? Karena Daud sadar bahwa Saul adalah Raja yang diurapi oleh Allah. Pesan pentingnya adalah : Daud hidup seturut rencana Allah. Daud lebih mendahulukan rencana Allah daripada pemikiran/kehendaknya sendiri. Hasilnya: Allah meninggikan Daud sesuai dengan Rencana-Nya. Allah berbicara kepada kita melalui peristiwa-peristiwa dan orang-orang di sekitar kita. Dari kita dibutuhkan kebeningan batin dan ketenangan hati, untuk menemukan peristiwa mana dan siapa orang yang membawa’ pesan-Nya.
No comments:
Post a Comment