DUNIA HAWA
“Apakah gerakan-gerakan yang berasal dari peradaban Arab yang sedang bangkrut ini malah diboyong ke Indonesia? Apa-apaan ini? Pakailah otak, jangan emosi buta!” (Buya Syafii Maarif)
Siapa yang tidak mengenal Buya Syafii Maarif ? Seorang ulama dan cendekiawan muslim kawakan yang masih memiliki kejernihan dalam mencermati kehidupan bangsa ini. Sosok langka yang dengan keluasan ilmu Islamnya, Buya sanggup dan berani mengatakan kebenaran, meski kemudian tak jarang keberanian Sang Buya membuat dirinya menjadi bahan caci maki kaum sumbu pendek.
Sosok Buya memang mirip Gus Dur. Komitmennya terhadap bangsa dan negara ini tidak perlu diragukan. Komitmennya pada pluralisme dan kebhinekaan sudah sangat terbukti. Ketika sebagian ulama lain menghujat dan mencari-cari kesalahan Ahok karena ucapannya di Kepulauan Seribu, Buya tampil sebagai pihak yang membela Ahok. Buya bukan sedang membela Ahok. Namun Buya sedang mengatakan kebenaran yang jarang dipahami orang yang sudah terliputi emosi.
Buya sudah mencium gelagat yang tidak baik. Ahok hanyalah pintu masuk bagi kaum radikal untuk mewujudkan cita-citanya. Agama yang dipakai untuk kendaraan politik sejatinya adalah manipulasi agama itu sendiri. Di bekalangnya, agenda-agenda kaum radikal dan fundamental sedang dipersiapkan. Sayangnya, banyak umat Islam Indonesia terlihat lugu dan tidak menyadari hal ini.
Yang menarik tentu saja ulasan-ulasan dari Sang Buya. Dalam artikelnya yang terbaru di kolom republika.co.id (2/5/2017) Buya dengan sangat cermat melihat kondisi umat Islam di Indonesia. Ia memuji langkah 50 pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang membuat sebuah deklarasi yang berani. Buya Syafii menulis :
“Sebanyak 50 pimpinan Perguruan Tinggi keagamaan Islam Negeri (PTKIN) pada 26 April 2017 di kampus UIN Ar Raniry, Banda Aceh, telah membuat sebuah deklarasi yang berani dan tepat waktu tentang situasi politik keagamaan di Indonesia terkini.
Bagi saya, deklarasi ini sangat strategis disuarakan oleh perguruan tinggi Islam negeri yang berkumpul di Tanah Rencong pada tanggal di atas. Karena pentingnya isi Deklarasi Aceh itu, Resonansi ini perlu mengutip seluruhnya, kemudian diberi ulasan untuk penguatan.
Kami forum Pimpinan PTKIN dengan ini menyatakan:
1. Bertekad bulat menjadikan empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara.
2. Menanamkan jiwa dan sikap kepahlawanan, cinta tanah air, dan bela negara kepada setiap mahasiswa dan anak bangsa, guna menjaga keutuhan dan kelestarian NKRI.
3. Menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam inklusif, moderat, menghargai kemajemukan dan realitas budaya dan bangsa.
4. Melarang berbagai bentuk kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, dan anti-NKRI, intoleran, radikal dalam keberagamaan, serta terorisme di seluruh PTKIN.
5. Melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dalam seluruh penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan penuh dedikasi dan cinta tanah air.
Deklarasi ini dibacakan di depan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dihadiri oleh 3.500 mahasiswa dan ratusan anggota masyarakat setempat. Mengapa deklarasi ini bernilai strategis dan tepat waktu? Tidak sukar untuk menjawabnya.”
Tidak sekadar memuji, Buya pun mengkritik, bahkan mengkritik dengan sangat keras kehadiran kelompok-kelompok transnasional yang kerjanya tidak untuk kemaslahatan bangsa ini, tetapi hanya untuk keuntungan mereka pribadi. Mereka seakan tak memermasalahkan jika bangsa dan negara pecah berantakan layaknya negara-negara di Timur Tengah sana.
Buya menyinggung kehadiran organisasi atau kelompok semacam Hizbut Tahrir :
“Kesadaran yang berasal dari PTKIN ini sungguh patut dipuji di tengah-tengah perguruan tinggi yang lain sedang membisu dan tiarap, seakan-akan negeri ini aman-aman saja. Publik juga dikejutkan oleh sebuah Deklarasi Khilafah oleh HTI di kampus IPB baru-baru ini. Kebetulan saya belum lama ini bertemu dengan Rektor IPB, sahabat lama saya, di Bandara Soekarno-Hatta. Sewaktu saya tanyakan masalah ini, hanya dijawab: masih di bawah kontrol. Saya kira tidak sesederhana itu.
Sebuah gerakan transnasional yang dilarang di seluruh negara Arab, di Indonesia malah mendapatkan status badan hukum di masa rezim yang lalu, sebuah rezim yang memang mau berdamai dengan semua jenis gerakan, tidak peduli siapa di belakangnya dan apa tujuannya. Jika sebuah kampus terkenal telah dijadikan sarang gerakan transnasional ini, bukankah itu itu berarti negara telah membiarkan dirinya mulai digerogoti oleh virus ganas yang bisa membawa keruntuhan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945?”
Terakhir, yang tak kalah kerasnya adalah kritikan sangat tajam dari Sang Buya kepada kaum radikal, kaum fundamental yang sangat membahayakan keberadaan NKRI. Buya menulis :
“Gerakan radikal lain dalam berbagai corak tumbuh sangat subur di berbagai kampus perguruan tinggi Indonesia, bahkan di tingkat pelajar, sejak beberapa tahun terakhir. Pertanyaan saya: apakah gerakan-gerakan yang berasal dari peradaban Arab yang sedang bangkrut ini malah diboyong ke Indonesia? Apa-apaan ini? Pakailah otak, jangan emosi buta. Ironisnya, gerakan-gerakan radikal ini juga sedang dimanfaatkan oleh politisi sumbu pendek untuk kepentingan politik sesaat.”
Tulisan Sang Buya yang sangat keras ini harus menjadi perhatian semua kalangan yang mengaku masih mencintai negeri ini. Akankah negara kita di-Suriahkan ? Akankah kita diam saja ketika mereka sedang bergerak merayap memakan pondasi bangsa ini ?
@ahmad Reza
SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA
No comments:
Post a Comment