HALAMAN

Wednesday, May 24, 2017

Kekuatan Mengampuni dan Kebesaran Hati Seorang Minoritas  Teladan dari Ahok



DUNIA HAWA Siang ini saya belajar satu hal berharga dari Ahok dan keluarga: menjadi minoritas yang kuat. Tapi sebelum saya melanjutkan saya akan buat penafian (disclaimer) terlebih dahulu: Pertama, saya pada dasarnya tidak menyetujui wacana mayoritas-minoritas, apa lagi di NKRI. Berdasarkan Pancasila, tidak ada mayoritas dan minoritas di negara ini. Semua sama kedudukannya di hadapan hukum dan sesama WNI.

Kedua, kuat yang saya maksud adalah tentang mental, bukan tentang kekuatan fisik, ekonomi, maupun politis.

Lalu mengapa saya katakan Ahok adalah minoritas kuat? Beliau sangat konsisten. Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya di Qureta, Ahok dengan sangat konsisten menunjukkan bahwa dia memang sungguh-sungguh ingin melayani bangsa ini.

Yang lebih mengharukan, di tengah segala terpaan aksi berjilid-jild yang menganggapnya menista agama, sementara dia bahkan membangun masjid-masjid di Jakarta, baik sebagai bentuk program kerja Pemda maupun dari koceknya sendiri.

Dia yang sebenarnya juga mengalami dan mengagumi Islam sebagai agama keluarga (angkat)nya sendiri bahwa meskipun dalam pemahamannya, dia tidak berniat dan tidak bermaksud untuk menistakan ayat Al-Qur'an dan ulama krn hanya menyoroti oknum yang menggunakan satu ayat tertentu untuk menjegalnya menjadi pelayan publik, akhirnya Ahok memilih untuk meminta maaf berkali-kali, dan menerima putusan hakim PN Jakarta Utara untuk dipenjara selama 2 tahun.

Ahok dan keluarga bahkan memilih untuk mencabut permohonan banding, yang berarti menerima putusan dan dengan rela menjalani hukuman selama 2 tahun, yang mungkin hanya akan berkurang jika dia mendapat remisi.

Berdasarkan suratnya yang dibacakan istrinya, Veronica Tan, Ahok mengatakan bahwa selama dia telah menjalani masa penjara dari 9 Mei lalu, ia memilih mencabut permohonan banding karena dia sudah belajar menerima dan mengampuni. Dia tahu bahwa menjalani masa hukuman ini akan lebih baik daripada harus terus bertarung untuk kebenaran yang dimilikinya.

Dia menghargai semua upaya hukum, aksi simpatik berupa bunga, makanan dan lilin. Tapi sebagai seorang yang sudah menerima kondisi yang menyesakkan ini dan mengampuni semua yang berseberangan dengan dirinya, Ahok memilih untuk menerima hukuman penjara 2 tahun ini. Bagi saya jelas itu bukan karena dia bersalah, tapi karena dia tahu itu yang lebih baik buat semua: dirinya, keluarganya dan yang terlebih bangsanya.

Saat telah mengampuni, Ahok telah mampu melepaskan semua egonya, semua keinginannya, bahkan yang paling mulia sekalipun, yaitu untuk kembali melayani rakyat Jakarta dan Indonesia. Bagi Ahok, sekarang keinginan untuk mempertahankan kebenaran dirinya tidak lagi penting baginya.

Kerelaan melepas keinginan membela dirinya yang memang tidak ingin menista agama, inilah yang justru melahirkan kekuatan untuk menerima dan akan menjalani hukuman ini sampai selesai. Dengan inilah, walau pasti sedih, hati dan pikirannya menjadi kuat untuk menjalani hari-hari di balik jeruji penjara.

Lalu apa pelajaran yang saya petik dari proses mengampuni yang dialami Ahok dan keputusannya untuk tidak banding? Kekuatannya sebagai minoritas yang punya niat baik dan kerja baik bagi bangsa ini untuk tidak mudah cengeng meskipun harus menderita demi niat baiknya itu. Sebagai double minority, Ahok tahu risiko yang dihadapinya, dan yang sebenarnya sudah dialaminya.

Tapi itu tidak membuatnya kemudian memanjakan diri untuk menikmati simpati yang tercurah kepadanya terutama sejak putusan hakim diumumkan tanggal 9 Mei lalu.

Ahok tegar untuk langsung masuk penjara, dia bahkan meminta untuk pengiriman karangan bunga dihentikan, aksi mendukung di Markas Brimob dihentikan, bahkan tidak meminta keistimewaan apapun di penjara. Ahok justru mengisi hari2nya di penjara dengan kegiatan positif: membaca kitab suci, menulis dan berolahraga. Ahok bahkan tidak memanfaatkan dukungan dari luar negeri termasuk dari PBB yang meminta agar hukumannya ditinjau kembali.

Walau dia minoritas dan prinsip-prinsip HAM sebenarnya dapat digunakan untuk menolongnya, Ahok memilih untuk tidak memakai itu semua. Ahok memilih untuk segera menciptakan kedamaian bagi dirinya dan terlebih bagi bangsanya dengan menerima hukuman ini, apalagi di akhir minggu umat Islam sudah akan memasuki bulan Ramadhan.

Ahok tidak meminta simpati untuk dirinya dan membiarkan simpati bagi dirinya mengganggu ibadah saudara-saudara sebangsanya yang mayoritas. Ahok sungguh bisa berbesar hati untuk tidak melihat keminoritasannya dan kesusahannya saat ini sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan. Ahok menerimanya dengan kebesaran dan kerendahan hati.

Inilah pelajaran penting yang saya dapat, terutama sebagai minoritas di negara ini. tak perlu banyak mengeluh, lakukan apa yang terbaik bagi bangsa ini, karena walau saya minoritas, saya adalah bagian dari bangsa ini. Tidak usah membesar-besarkan diri, tidak usah harus terdengar di sana-sini. tapi tetaplah lakukan yang benar dan buatlah kebaikan sebanyak mungkin, bahkan walau karena itu saya disudutkan bahkan menderita.

Terima kasih untuk pelajaran ini, Ahok. Tuhan memberkati dan menyertaimu senantiasa.

@narwastuyati


No comments:

Post a Comment