DUNIA HAWA Suatu ketika, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Thalhah, Zubair, Kaab dan Salman, tentang perbedaan antara khalifah dan raja.
Menanggapi pertanyaan itu, Thalhah dan Zubair berkata: “Kami tidak tahu,” sedangkan Salman menjawab: “Khalifah adalah yang berlaku adil terhadap rakyat, membagi pemberian dengan rata di antara mereka, menyayangi mereka bagaikan suami kepada istrinya dan seorang ayah kepada anaknya, serta menyelesaikan permasalahan mereka berdasarkan kitab Allah SWT.”
Prof. Nadirsyah Hosen, menjelaskan bahwa di dalam kitab-kitab klasik, termasuk dalam Kitab Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun, ketika berbicara tentang khalifah, yang dimaksud adalah kewajiban mengangkat sosok pemimpin, bukan sistem khilafah. Jika yang dimaksudkan khalifah (pemimpin) sebagai sosok, adalah sebuah keniscayaan bahwa harus ada pemimpin setelah yang sebelumnya mengakhiri masa jabatan.
Manusia adalah makhluk yang berkoloni dan sebuah kepemimpinan adalah hal yang mutlak ada. Tapi, Rasulullah tidak membicarakan secara detail mengenai hal ini karena tidak ada sistem yang beliau tinggalkan.
Bahkan, ketika khalifah rasyidin ditanya mengapa tidak menunjuk pimpinan, mereka menjawab bahwa mereka tidak mampu menanggung beban atas apa yang mereka putuskan akan hal itu. Sehingga, dari masa ke masa, umatlah yang menunjuk pimpinan, sebagaimana umat perlu menunjuk Abu Bakar untuk menjadi Imam salat selepas kepergian Rasulullah SAW. Bukankah hal tersebut juga sebentuk demokrasi?
Bagaimana cara seorang pemimpin dipilih dan bagaimana ia mempertanggungjawabkan kepemimpinannya termasuk bagaimana kekuasaannya hingga berapa lama ia berkuasa adalah hak kesepakatan warga masyarakatnya. Sistem khalifah mulai dari Rasululllah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan sampai Hasan bin Ali juga merupakan bentuk yang masing-masing berbeda.
Lantas politik agama seperti apa yang mau kita wariskan ketika khalifah kedua, ketiga, dan keempat terbunuh? Sepeninggal Utsman, Imam Ali diangkat menjadi khalifah ketika Islam sudah tersebar luas. Ia diangkat dengan segera di tengah negara yang sedang kacau, lima hari lamanya kota suci Madinah tergenang darah.
Sejarah tersebut menjadi sejarah perebutan kekuasaan yang masing-masing merasa benar, sebab umat merasa khalifah pilihannya adalah yang paling mewakili Rasulullah dan Islam. Muawiyah yang sudah 20 tahun menjadi gubernur merasa ditikung karena tidak diajak rembug menentukan pimpinan, ia merasa cemburu dan tidak terwakili sebagai rakyat. Problem muncul, siapa yang mewakili suara umat? Pengangkatan tersebut terjadi ketika Siti Aisyah sedang umrah di Makkah.
Muawiyah mendengar kabar Utsman terbunuh. Ia tidak setuju dengan pengangkatan Ali, lantas ke Makkah mengumpulkan kekuatan. Kemudian terjadilah perang Jamal di Bashrah, tidak kurang dari 18.000 sahabat gugur dalam perang saudara pertama ini. Perang baru berakhir setelah kaki-kaki unta itu ditebas dengan pedang kemudian Siti Aisyah dipulangkan ke Madinah.
Pemberontak-pemberontak dari Mesir yang masuk ke Madinah dan membunuh Utsman yang sedang membaca Quran telah mencemarkan nama baik Madinah sebagai kota suci. Atas dasar itu Ali memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah, agar terpisah antara urusan agama dan urusan negara. Di ujung selatan, Muawiyah telah selesai menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan dengan dalih gugatan pembunuhan Utsman yang tak kunjung diselesaikan.
Terjadilah perang Shiffin hingga peristiwa tahkim yang akhirnya memunculkan istilah Khawarij dan Syi’ah. Pada suatu shubuh, Ali ditusuk dari belakang dan dua hari kemudian meninggal.
Sejarah itulah yang terus diwariskan hingga kini.
Sejarah yang kemudian juga memjadi bukti, bahwa sistem pemerintahan apapun, tak ada yang bakal menjamin tidak terjadi pergolakan politik di dalamnya, khilafah sekalipun. Karenanya, ketika HTI di Indonesia mengkampanyekan klaim khilafah sebagai sistem pemerintahan sebagai sistem yang terbaik, tentu rasanya aneh dan terlalu terburu-buru.
Demokrasi sebagai sebuah sistem bisa melahirkan pemimpin yang buruk, khilafah pun demikian. Oleh karena itu, HTI yang menganggap sistem khilafah sudah mutlak benar karena sesuai agama dan menjadi solusi utama dan satu-satunya tentu tidak bisa dibenarkan, apalagi jika dilakukan dengan aktivitas-aktivitas provokasi di negara yang sedang belajar demokrasi secara damai ini.
Sistem demokrasi sama halnya dengan sistem kenegaraan lain yang tidak memiliki kemutlakan. Semuanya punya ciri khas dan keunggulan masing-masing. Demokrasi Pancasila, misalnya, ia berbeda dengan demokrasi yang diterapkan di Amerika maupun di negara lainnya. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi yang bernafas kebinekaan, dari Sabang sampai Merauke.
Bentuknya pun terus dinamis bergerak, mulai dari orde lama, orde baru, reformasi, hingga hari ini terus mencoba menemukan bentuknya dalam kebijakan-kebijakan baru seperti otonomi daerah, desentralisasi pendidikan dan lain-lain.
Kebijakan-kebijakan itu juga tak selalu berhasil. Jika hasilnya buruk, selalu dievaluasi dan akan terus mencoba menemukan bentuk kebijakan baru yang sesuai aspirasi masyarakat dan kebutuhan zaman. Lalu, mengapa kita harus mundur ke belakang hanya untuk berdebat soal relasi agama dan politik, apalagi merasa paling benar sendiri?
No comments:
Post a Comment