DUNIA HAWA - Reaksi Anies dan Sandi pasca perhitungan cepat menunjukkan satu sikap yang sama. Mereka terlihat sama-sama ambisius. Sandi memberikan pernyataan pers terkait dengan rencana kerja di awal-awal kepemimpinannya, sementara Anies naik helikopter temui Ahok di Balai Kota.
Seharusnya mereka menikmati kemenangan dulu sambil menunggu pengumuman resmi KPUD DKI Jakarta. Tapi sepertinya mereka buruh-buruh mau pimpinan ibukota yang belum waktunya. Alasannya, Anies ingin menyambungkan programnya agar dimasukan dalam agenda tahun 2018 ini.
Anies terpancing dengan keterbukaan Ahok pada pasca penyampaian proficiat atas kemenangan paslon nomor urut 3 ini. Mereka siap terbuka soal data dengan Anies-Djarot. Karena Pemda DKI menganut sistem “open data”.
Pernyataan Ahok soal “open data” dipahami secara keliru oleh Anies-Sandi. Mereka mengira ajakan Ahok untuk memasukan program kerja yang mereka dalam penyusunan APBD tahun 2018. Padahal, yang dimaksudkan Ahok adalah mereka dapat berbagi data untuk keperluan Anies-Sandi dalam strategi penyusunan anggaran untuk mendukung program kerja mereka.
Pemandangan ganjil ketika Anies-Sandi mengajukan dua, hal yang tidak lazim dalam pergantian kepemimpinan gubenur di Indonesia.Pertama, pembentukan tim transisi. Rencana pembentukan tim transisi oleh Anies-Sandi adalah sesuatu yang berlebihan karena inilah bukan dalam konteks peralihan kepemimpinan negara – presiden. Karena itu, baik Ahok maupun Djarot menegaskan bahwa pembentukan tim transisi hanya tingkat presiden – mengingat pejabat negara seperti menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jika ada pergantian presiden maka terjadi pula pergantian menteri. Berbeda dengan peralihan kepemimpinan gubernur atau bupati. Toh,pejabat yang diangkat oleh gubernur atau bupati adalah pejabat karier yang berlatar belakang Apartur Sipil Negara (ASN).
Keinginan Anies-Sandi ini terbersit hasrat yang begitu tinggi sementara masa tugas Ahok-Djarot belum berakhir. Kalaupun niat pembentukan tim transisi untuk memudahkan mereka saat menahdokai DKI Jakarta kelak, tetapi namanya bukan transisi. Kesannya seolah-olah harus ada penyerahan kekuasaan antara gubernur lama kepada gubernur baru. Karena itu Ahok-Djarot sepakat dan keberatan dengan usulan Anies-Sandi.
Kedua, langkah pendekatan kepada Ahok yang dilakukan oleh Anies supaya memasukan program kerja atau janji kampanye pada usulan tahun 2018 merupakan langkah positif. Namun, dimana-mana, baik kabupaten maupun provinsi, tahun pertama kepemimpinan gubernur atau bupati terpilih melaksanakan program atau kegiatan yang dibuat oleh pemimpin sebelumnya. Hal ini merupakan sesuatu yang normatif. Jangan salahkan siklus perencanaan yang tidak konek dengan Pilkada itu sendiri.
Tetapi, Anies diuntungkan dengan sosok Ahok yang baik hati – yang meletakan keegoan pribadi di atas kepentingan besar rakyat Jakarta. Ia menyanggupi keinginan Anies dengan meminta Anies-Sandi untuk mengirimkan tim anggaran untuk terlibat dalam penyusunan APBD kiranya program apa yang mendesak dan dimasukan dalam penyusunan anggaran. Tentu program itu harus sejalan dengan program Ahok-Djarot.
Sikap ini mencerminkan pribadi Ahok sebagai seorang negarawan. Ia tidak hanya politisi tetapi politisi yang negarawan. Karena tidak semua politisi itu negarawan. Banyak politisi yang memikirkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Apa yang terjadi pada Ahok pasca Pilkada DKI 2017 berbeda jauh dari apa yang ada benak di semua orang. Orang berprasangka Ahok akan menutup diri terhadap Anies-Sandi karena kalah bertarung. Tidak! Ahok justeru mengajak Anies-Sandi bekerja sama dalam penyusunan anggaran tahun 2018 (bukan dalam konteks tim transisi) – tetapi hal yang tidak dimungkinkan adalah mengutak-atik anggaran perubahan pada APBD 2017 karena sistem e-budgeting sudah terproteksi.
Sikap legowo dan kesediaan Ahok menapis prasangka publik bahwa Ahok akan melakukan balas dendam. Semua terjadi di luar praduga itu. Komitmen Ahok pada DKI Jakarta adalah final dan berada di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sebuah keteladan yang patut ditiru di negeri ini – terutama para pemimpin baik itu bupati/walikota maupun gubernur. Bahwasan permusuhan dan dendam politik harus pupus dengan berakhirnya Pilkada. Jangankan menjadi itu sebagai alat atau sarana untuk membalas lawan yang memenangkan pertarungan.
Ajakan Ahok kepada Anies supaya mengirimkan tim untuk ikut membahas anggaran 2018 tidak lain, tidak bukan, sebuah ajakan yang sangat simpatik. Mungkin saja hal ini baru terjadi pada era kepemimpinan Ahok. Keterlibatan tim Anis (mungkin juga Anies dan Sandi) mempertegas bahwa cita-cita Ahok bahwa program yang disusun dan dijalankan pada masa kepemimpinan harus belanjut. Tidak berakhir atau pun mandek selepas berakhirnya masa kepemimpinannya.
Tentu tak kalah menarik, ajakan Ahok kepada tim Anies-Sandi adalah cara halus untuk mengajak Anies dan timnya untuk magang di Balai Kota sebagai permulaan sebelum memimpin DKI Jakarta.. Magang itu telah dimulai oleh Anies sendiri – meskipun dalam rentang waktu begitu singkat (sekitar 30 menit). Kepada Anies, Ahok memperkenalkan sistem kerja dan kecanggihan e-budgeting dalam rangka transparansi penyusunan dan penggunaan anggaran. Materi magang yang diluar bayangan atau ekspetasi si Anies – dengan sub materi “Tripple Password”. Entah karena sulit atau tak berdayanya Anies terhadap sistem itu kelak, yang pasti Anies keluar dari Balai Kota pun tidak segagah ia tiba.
Itu baru “tripple password”, saya yakin Ahok masih mempunyai kartu truf yang lain sehingga gubernur terpilih kelak duduk di Balai Kota tidak bisa berkutik. Kena dech jebakan batman! Hahaha….
No comments:
Post a Comment