DUNIA HAWA - Membaca investigasi Allan Nairn yang menjelaskan keterkaitan HT, Prabowo, Fadli Zon, Donald Trump, SBY sampai Kivlan Zen, seharusnya membuat kita tahu bahwa betapa sulitnya posisi Presiden kita. Membuat kita sadar, betapa para politisi kita siap melakukan segala cara untuk berkuasa, termasuk meski dengan kerusuhan dan revolusi sekalipun.
Kita jadi tahu betapa ada pihak-pihak yang coba bersikap bijak, seolah-olah paling arif, yang kemudian membuat isu sekaligus menyarankan Presiden untuk meminta maaf pada PKI. Padahal tidak pernah sedikitpun Presiden memikirkan hal itu. Jadi jelas isu permintaan maaf pada PKI itu hanya jebakan saja, untuk memuluskan agenda pelengseran.
Kita kemudian semakin sadar bahwa ketakutan-ketakutan pada bangkitnya PKI, yang disebut sudah memiliki jutaan anggota, hanyalah karangan belaka. PKI adalah partai yang sudah mati dan terkubur pada liang terbawah sejarah republik ini. Ancaman kekacauan dan kerusuhan dengan mengaitkannya dengan PKI, hanyalah pengalihan isu yang sangat asu. Sebab sebenarnya ancaman kekacauan, kerusuhan dan revolusi justru muncul dari kelompok-kelompok yang sedang mereka bina sendiri, yaitu FPI, FUI dan seterusnya.
Presiden Jokowi yang dulu dianggap tak akan mampu bertahan setahun, rupanya berhasil membantah anggapan tersebut. Kita kemudian merasa sudah menang, tenang. Tapi ternyata upaya mereka untuk makar dan berkuasa di Indonesia dengan cara-cara licik masih berlanjut hingga sekarang.
Ormas radikal hanyalah pion yang digunakan untuk melengserkan Jokowi. Rakyat kecil hanya dijadikan tameng untuk memaksakan agenda politisi busuk yang sudah kebelet berkuasa. Lihat saja aksi mereka, aksi bela islam katanya, tapi tuntutannya adalah lengserkan Jokowi, revolusi. Kan asu!
Jebakan Allan Nairn
Ada banyak yang bertanya mengapa Presiden kerap diganggu? Padahal Jokowi sedang bekerja memperbaiki negara ini, mengejar ketertinggalan dan berupaya mengurangi kesenjangan sosial?
Pertanyaan tersebut agak susah-susah muda. Ini sama seperti pertanyaan mengapa mantanmu masih selingkuh sementara kamu sudah sangat setia dan memberikan apapun yang mantanmu butuhkan? Atau dalam contoh lain, seperti saat ada seorang karyawan yang mengganggu pekerjaanmu, bahkan kalau bisa diupayakan agar gagal dan merugikan perusahaan.
Jawaban paling masuk akalnya adalah karena mereka ingin menguasai lebih dari yang seharusnya. Tidak mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Ambisius.
Tapi di luar itu, harus kita ingat bersama bahwa ini sudah menjelang 2019. Nuansa perebutan kekuasaan tertinggi di Indonesia sudah mulai tampak, dan bahkan sudah mereka terapkan pilot projectnya di Jakarta.
Pertarungan Pilpres 2019 sudah ditabuh sendiri oleh tokoh yang sudah berkali-kali kalah dalam Pilpres, Prabowo. Setelah berulang kali kalah, tentu saja Prabowo ingin menang. Kalau sampai kalah lagi, mungkin sejarah akan mencatat bahwa Prabowo adalah manusia yang paling sering gagal dalam Pilpres Indonesia.
Dengan agenda besar memenangkan Pilpres 2019, saya kemudian melihat beberapa jebakan yang sudah dipasang sejak sekarang, salah satunya adalah munculnya investigasi Allan Nairn. Tulisan tersebut memang 80 persen pernah saya dengar, menurut analisis saya semuanya benar dan valid. Tapi ada 20 persen yang saya lihat agak mustahil dan sepertinya ini sangat sengaja diselipkan oleh Allan Nairn untuk memecah belah bangsa ini.
Saya melihat ada 3 nama yang coba dimainkan oleh Allan Nairn, yang kemudian dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidak percayaan publik terhadap mereka. Tiga nama tersebut adalah Jenderal Gatot Nurmantyo, Wiranto dan Ryamizard Ryacudu.
Jika saya dan teman-teman pembaca yang tidak memiliki jabatan publik dan pengaruh terhadap Presiden, percaya bahwa 3 nama tersebut terlibat atau setuju untuk makar, maka itu tak jadi soal. Kita semua bebas mempercayai dan berimajinasi. Masalahnya adalah jika ini berhasil membentuk persepsi orang-orang di kalangan ring satu, ini yang berbahaya.
Gatot Nurmantyo sudah dengan tegas dan terbuka menyatakan kesetiaannya kepada Presiden. Lebih baik mati melaksanakan perintah Presiden, daripada mengambil alih kekuasaan. Wiranto, adalah jenderal yang juga cukup loyal, rela meninggalkan partainya untuk menjabat menteri. Padahal dia sudah beberapa kali jadi menteri. Sementara Rymizard adalah orang yang begitu dekat dengan partai pendukung Jokowi, PDIP. Meragukan komitmen tiga orang jenderal ini sama saja tidak menghargai kerja keras mereka selama ini.
Kalau Pak Gatot berniat mengambil alih kekuasaan, itu pasti sudah terjadi saat aksi 411 yang sempat rusuh sampai malam hari. Namun itu tidak terjadi. Kemudian pada aksi 212, Presiden dan Wapres berada satu panggung di Monas, jika memang ingin mengambil alih kekuasaan, terlalu mudah bagi mereka para jenderal ini untuk berkoalisi menyabotase pengamanan Presiden. Tapi semuanya berjalan lancar karena mereka serius mengamankan, memastikan tak ada penyusup.
Kemudian Wiranto, saya lihat orang ini satu-satunya politisi yang berhasil moveon. Setelah kalah di pertarungan calon Presiden, dia masuk ke koalisi PDIP. Berbeda dengan sahabatnya yang sekarang sedang mesra-mesranya dengan KMP. Kalaulah Wiranto ini masih kebelet ingin jadi Presiden, pastilah dia tidak mau masuk ke dalam pemerintahan. Lagipula lucu, Wiranto adalah orang yang dulu memecat Prabowo secara simbolik. Mana bisa sekarang mereka berkoalisi?
Kemudian Rymizard. Nama ini pernah masuk dalam radar Cawapres dari PDIP. Yang jika memang Jokowi harus berpasangan dengan militer, maka Rymizard adalah satu-satunya kandidat yang lolos verifikasi internal. Dinilai dari loyalitas dan kerjanya.
Jadi, bisa dibilang sangat mustahil 3 nama tersebut terlibat atau setuju terjadi makar atau pengambil alihan kekuasaan di Indonesia. Sama mustahilnya dengan Presiden yang ingin meminta maaf kepada PKI, itu semua hanya isu yang dibuat oleh kubu sebelah.
Tapi meski begitu, bisa saja 3 nama tersebut mendapat desakan publik, sehingga harus diganti atau dicopot. Dan jika ini terjadi, maka Jokowi akan semakin berat mempertahankan Indonesia dari ancaman revolusi. Atau minimal Jokowi sangat rentan dikalahkan pada 2019 nanti.
Isu negatif terhadap 3 jenderal dalam lingkaran istana ini sama seperti aksi demo tolak pemimpin kafir seminggu sebelum Ahok datang ke Pulau Seribu. Yang kemudian Ahok memakan umpan tersebut dengan membalasnya dengan “jangan mau dibohongi orang pakai surat Almaidah 51.”
Sebagai rakyat Indonesia yang cinta pada negeri ini, saya pikir kita tidak perlu berpikir negatif terhadap Gatot Nurmantyo, Wiranto dan Ryamizard. Itu adalah cara terbaik untuk menangkal atau menggagalkan persepsi negatif, yang sengaja dibentuk untuk menciptakan kerusuhan serta memuluskan rencana revolusi. Karena hanya dengan cara seperti itu, maka 3 orang nama tersebut akan terbebas dari segala macam tuduhan yang memungkinkan rakyat jelata serta ormas radikal menggalang demo lagi……… begitulah kura-kura.
No comments:
Post a Comment