DUNIA HAWA - Politik Indonesia pasca Soeharto pada akhirnya seperti tidak menemukan sintesa atas lahirnya reformasi itu sendiri. Pergantian rezim pasca Soeharto sampai dengan rezim Jokowi, hanya ada dua pemimpin yang mencoba untuk mewujudkan pemahaman dari reformis itu sendiri, yaitu Alm. Gusdur dan Jokowi. Namun tidak sedikit para elite yang lantang pada 1998 ataupun sejumlah aktivis yang bertarung meruntuhkan diktator tekorup Soeharto, harus melacurkan idealisnya demi nama dan kuasa sekaligus populis dalam karya politik.
Singkat saja… Aku ingin sekali menuliskannya!
Pasca reformasi, Politik Nusantara seperti dipahami hanya secara moralis-normatif, yang mana hal itu hasil dari pertarungan kelompok reformis dengan oligarki rente bourjuis kuasa. Indonesia hari ini sedikit mengalami perubahan meski belum secara total, Jokowi adalah pemimpin yang bisa dikatakan reformis, hal ini dapat kita lihat dengan pelan tapi pasti apa yang telah dimandatkan oleh Soekarno sudah mulai berjalan, seperti BERDIKARI, membangun dari pinggiran, kesetaraan (ujung barat s.d ujung timur Indonesia), serta menjalin hubungan bilateral dengan Negara luar dengan tidak melupakan “menang sama menang”, selalu cair dengan rakyat dan tetap dengan kesederhanaan.
Adakah pemimpin setelah Soeharto, yang berlaku demikian? (silakan kawan jawab sendiri).
Kelompok Oligarki yang haus nama dan kuasa, tentunya memiliki ruang yang sempit untuk sewenang-wenang. Dalam hal ini mereka akan melakukan segala cara untuk mengembalikan bentuk dan sistem kekuasaan yang bakal menguntungkan mereka. Salah satunya melengserkan kekuasaan hari ini. Dalam histori Orde Baru, ketika kekuatan militer dan partai tempat berdiri tidak bisa lagi dijadikan alat utama untuk melanggengkan kekuasaan oleh kelas oligarki, maka tak sungkan kelompok tersebut memainkan senjata yang sangat sentiment, agama dijadikan rudal.
Keikutsertaan setiap elemen sosial yang juga banyak dipenuhi oleh kalangan muslim konservatif, dan mobilisasi massa dengan jargon membela agama, tidak lepas dari kerangka oligarki yang haus kekuasaan untuk sebuah agenda yang lebih besar, yaitu mengembalikan kekuasaan yang dapat menguntungkan kelompok mereka. Salah satunya memanfaatkan moment Pilkada DKI yang mana kita ketahui salah satu calonnya adalah non-muslim, kemudian tidak bisa dipungkiri bahwa Cagub tersebut lebih dekat pada kelompok kekuasaan hari ini.
Hom Pim Paaaaaa ….. !
Mereka kelompok yang jahat (Oligarki haus kuasa) menjadikan Cagub tersebut tersangka dengan isu SARA, yang dikomandoi kelompok fundamentalis FPI dan rekan-rekannya.
Sementara pada kenyataannya, aksi bela bela Islam telah memfasilitasi kepentingan-kepentingan capital dan kekuasaaan elite ekonomi politik tertentu dalam kontes pemilihan Gubernur DKI Jakarta. BUKAN perjuangan murni agama. Coba kita lihat kembali, keterlibatan tokoh-tokoh pendukung Anies Baswedan ataupun AHY dalam berbagai aksi yang marak beberapa bulan lalu.
Anies Baswedan yang merupakan salah satu calon gubernur dalam Pilkada DKI pada kenyataannya memberi dukungan dan keterlibatannya dalam acara peringatan ke-51 Supersemar bersama Tommy Soeharto. Dalam hal ini, apakah dapat dikatakan beberapa kelompok sosial yang terlibat dalam setiap aksi dengan nama membela agama belakangan ini adalah murni sukarela. TIDAK!. Dapat kita lihat atas pilihan dari berbagai tindakan mereka, yang tidak dapat dilepaskan ataupun dipisahkan dari struktur sosial yang oligarkis. Sederhananya aksi bela tersebut dapat dikatakan bagian dari instrument oligarki dalam upaya merebut dan mengembalikan kekuasaan yang dapat menguntungkan mereka dan capital.
Tentang Euforia kebangkitan Islam versi mereka melalui berbagai aksi islam menjadi retorika yang digunakan oleh kelompok oligarki dalam mengambil simpati dan dukungan politik, dan hal ini dapat dilihat dengan jelas seperti adanya Tamasya Almaidah, banyaknya para elite yang mendadak berpakaian religi, spanduk-spanduk yang dipasang dengan ayat-ayat suci, kemudian disebarkan secara massive di media sosial.
Ada yang bisa menjamin, bahwa semua ini akan berhenti sampai Pilkada DKI saja?
Bagaimana mungkin bisa berhenti, karena Pilpres 2019 adalah agenda besar dari kelompok oligarki yang haus kuasa yang tentunya tidak menyukai bentuk dan sistem dari kekuasaan hari ini.
Kebangkitan Islam yang didengungkan hari ini adalah retorika dan omong kosong!
Kenyataannya yang dibangkitkan adalah Cikeas kemudian bias dan kini Cendana melalui Oke Oce…
Disisi lain, tidak usah heran jika Anies Baswedan pandai berkata, karena pada kenyataannya sekarang ini bahwa kata menjadi lebih penting dari perbuatan, yang pandai bicara lebih menjadi panutan dari yang kerja nyata. Semoga kita semua tidak terjebak pada permainan karya kelompok oligarki ini. Retorika tanpa pembuktian adalah kesia-siaan. Dalam hal ini tentunya yang kerja nyata dan pro kepentingan rakyat adalah lebih baik karena sesuai amanah UUD 45, Pancasila sekaligus yang dicita-citakan para pejuang terdahulu.
No comments:
Post a Comment