DUNIA HAWA - Lagi dan lagi MUI menampakkan keberpihakannya dalam ranah politik yang tidak objektif. Kesaksian Gus Ishom dalam sidang Ahok yang ke-15 menuai kritik dari MUI bahkan harus dipecat. Ironisnya alasan pemecatan tersebut dikatakan bahwa kesaksian dari Gus Ishom dapat memecah belah umat (Islam). Berarti apa yang dilakukan FPI dengan Imam besarnya Rizieq Shihab justru kebalikannya yaitu mempersatu. Karena tidak ada protes dan kritikan “keras” yang ditujukan kepada ormas seperti FPI oleh MUI.
Kalau kita lihat dan baca status Gus Ishom di media sosial (akun pribadinya), sangat jelas Ishom mencintai kemajemukan dalam kebangsaan, yang artinya tidak mengkotak-kotakkan orang ke dalam sektarian atau sekat politik identitas apalagi soal pilihan pilkada. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Gus Ishom memandang Agama secara luas, tidak dipersempit atau dipahami secara tunggal semata, dengan demikian tidak saling bertentangan melainkan saling melengkapi.
Seperti diketahui, dalam sidang yang digelar di auditorium Kementan itu, Gus Ishom menyatakan, putusan MUI yang menyatakan Ahok menista agama, kurang tepat. Sebab, MUI tidak melakukan klarifikasi atau tabayyun terhadap Ahok.
“Saya setuju poin tertentu, misalnya bahwa keharmonisan umat harus tetap terjaga, tapi pada keputusan yang merugikan orang lain tapi tidak tabbayun (klarifikasi), itu yang saya tidak sependapat,” tegasnya.
Sikap MUI itu disebutnya, memicu masalah ini jadi semakin besar. Apalagi, arti kata “auliya” yang terdapat di surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok, tidak mesti berarti pemimpin.
Gus Ishom mengaku sudah meriset 30 kitab tafsir. Tak satu pun yang menyebut arti auliya adalah pemimpin. Auliya diterjemahkan sebagai teman setia, penolong, aliansi pembantu keperluan orang-orang beriman. Menurutnya, asal-usul turunannya ayat Al-Maidah 51 ialah peperangan antara umat Islam dengan kaum Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi Muhammad.
Hakim kemudian bertanya, jika menjadikan teman setia saja tak boleh, bagaimana dengan pemimpin? Gus Ishom bilang, alasan hukumnya keliru. Menurutnya, surat Al-Maidah 51 hanya dapat diterapkan dalam konteks peperangan saat terjadi puncak permusuhan. Jadi bukan untuk menyerang atau merendahkan lawan politik, misalnya dalam kampanye.
Gus Ishom jelas sadar bahwa yang terjadi belakangan ini hanyalah kepentingan politik. Ironis memang terdengar kabar bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebut telah memecat KH Ahmad Ishomuddin, saksi ahli agama Islam yang juga rais syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta dan dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan, Lampung. Pemecatan dilakukan karena pernyataan Ishomuddin saat menjadi saksi meringankan untuk terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bisa memecah belah umat Islam.
Komisi hukum MUI, Anton Digdoyo, mengatakan, pemecatan terhadap Ishomuddin dilakukan setelah Anton mengirim kirim pesan WA ke ketum dan waketum MUI Pusat usai sidang Ahok, Selasa (21/3, malam. Pesan agar Ishomuddin juga ditembuskan ke sekjen MUI. Dalam pesannya Anton menyatakan, pihaknya akan keluar dari MUI.
“Jika tidak dipecat dalam waktu satu bulan ke depan, saya resign dari MUI,” ujar Anton.
Mantan jenderal polisi ini menuturkan, pemecatan terhadap Ishomuddin terpaksa dilakukan karena pernyataannya dalam membela Ahok telah meresahkan umat Islam. Karena dalam kesaksiannya, Ishomuddin menyatakan surah al-Maidah ayat 51 sudah tak relevan lagi. Padahal, Alquran itu berlaku sejak kenabian Muhammad SAW 15 abad silam sampai hari kiamat.
Tak relavan itu karena sadar konteks. Tidak serta merta text book. Justru apa yang dikatakan Gus Ishom adalah pemahaman yang luas, dan dibenturkan dengan realita hari ini serta juga sadar histori (sejarahnya) kenapa ayat itu turun.
“Alhamdulillah Pimpinan MUI Pusat sudah hubungi saya Kamis 23 Maret 2017 bahwa yang bersangkutan (Ishomudin) telah dikeluarkan dari MUI.
Dalam pemecatan Gus Ishom, kita sudah dapat berpikir dengan logis bahwa siapa yang sebenarnya diadu domba. Wah parah jika kesaksian Gus Ishom dikritik, sementara kelakuan FPI dirangkul dengan mesra bahkan dipelihara.
Sekali-kali jangan selalu mengikuti arus, ada baiknya untuk berani menghantam karang. Salut dengan Gus Ishom yang tidak terjebak dengan politik identitas yang menjadi kebanggaan 7 juta massa aksi tapi dikibulin.
No comments:
Post a Comment