DUNIA HAWA - Pilkada DKI Jakarta menjadi pusat percontohan dari berbagai sudut. Diantaranya tentang demokrasi dan kemejemukan, politik sehat, dan juga isu SARA. Menariknya lagi selain daya tarik sebagai ibukota, paslon-nya merepresentasikan keragaman. Dari situ lah demokrasi di Jakarta diuji, apakah dengan mudah warga Jakarta termakan isu SARA atau tidak.
Putaran kedua kali ini semestinya muncul demokrasi yang sehat. Sebagaimana helatan pesta rakyat, pemilu adalah wujud demokrasi yang menyenangkan. Jangan sampai demokrasi sehat menyenangkan ini dinodai oleh fitnah, kebohongan dan juga kebencian.
Sayangnya, politik Jakarta hampir kehilangan orientasi. Politik identitasnya lebih kuat dibanding dengan orientasi kebangsaan. Politik tidak lagi sehat sebagai tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Politik jadi ajang rebutan kursi kekuasaan menggunakan berbagai cara.
Salah satunya menjadikan agama sebagai senjata berpolitik. Tindakan provokatif berupa ancaman agama sungguh tidak bisa dibenarkan. Sekali lagi perlu ditegaskan memanipulasi agama dalam tujuan-tujuan politik adalah sebuah penistaan. Apalagi menakut-nakuti jenazahnya tidak akan dishalatkan.
Ancaman demi ancaman di Jakarta telah meneror banyak warga beragama. Ini teror yang perlu diwaspadai bersama. Sudah sangat berlebihan kontestasi politik di Jakarta dengan mengancam warganya. Politik akhirnya tidak lagi menyenangkan tapi malah menyeramkan.
Anies Baswedan salah satu representasi paslon dari seorang aktifis-akademis. Tutur katanya halus, memikat. Semoga bukan sebuah kepura-puraan. Apalagi kalau bukan kepura-puraan. Politik ‘pura-pura’ lagi trend akhir-akhir ini, pura-pura santun tapi menebar ancaman, pura-pura taat tapi bermitra dengan kekerasan.
Ancaman berupa apapun yang meresahkan itu teror. Tidak bisa dibenarkan. Kita sudah menabuh genderang perang melawan terorisme. Kewaspadaan ancaman teror kita analisir melalui berbagai cara, mulai dari tingkat bawah hingga atas.
Namun kini ada terorisme model baru, yakni politik intoleran. Bahaya terorisme model ini menebarkan fitnah kebohongan kepada publik. Bahkan tidak sedikit melakukan ancaman. Ledakannya menimbulkan kecemasan publik. Ancamannya menjadikan kesenangan menjadi ketakutan.
Politik intoleran menjadikan agama sebagai sarana. Tidak sedikit menyerang atas nama kekuatan keumatan mayoritas. Teror model baru bernama politik ini tidak sekedar menyerang lawan, namun menyerang warga. Bahaya terornya mengakibatkan rasa khawatir bahkan permusahan.
Teror oleh politik intoleran memecah belah persatuan. Biasanya sesama tetangga baik-baik saja sekarang jadi bermusuhan karena beda pilihan. Biasanya berteman dengan orang berbeda agama kemudian juga bermusuhan. Demikian baya politik intoleran jika terus dibiarkan berkembang.
Terorisme politik kini telah bertindak luas. Khususnya di Jakarta, warga mesti tau benar mewaspadai bahaya politik intoleran. Membiarkan kelompok intoleran menguasai publik-politik sama saja menyerahkan demokrasi kepada sebuah masa depan yang suram.
Tidak mudah memang menganalisa sejarah hubungan politik dan agama. Sejauh ini hubungan keduanya tidaklah baik. Politik menjadikan agama sebagai faktor keumatan untuk mendulang suara. Dalam perkembangannya agama memang berada diluar jalur politik.
Sebagaimana ideologi kaum intoleran, seperti halnya terorisme. Mereka menebar wacana ideologis melemahkan nilai-nilai kebangsaan. Namun gagal. Kemudian memilih jalur politik untuk mencapai tujuannya. Inilah kewaspadaan yang perlu dipahami bersama, bahwa ada terorisme dalam dunia politik.
Indikasi kalangan intoleran sudah sering kita dengar. Ialah mereka yang menebarkan kebencian, ancaman dan kebohongan. Kaum radikal-teroris seringkali berujar kebencian, menghukumi, suka menuduh orang lain sesat kafir dan sejenisnya.
Kaum peneror ini tidak henti-hentinya menebarkan ancaman. Melalui berbagai cara. Salah satu yang paling baru adalah melalui politik. Merebut kekuasaan melemahkan ideologi kebangsaan.
Warga Jakarta sedang darurat terorisme politik. Kewaspadaan ini perlu ditingkatkan melalui kecurigaan terhadap politik yang tidak sehat. Diantaranya dengan mewasapadai gerakan politik kalangan garis keras.
Sepertinya tidak demikian dengan Anies Baswedan, justru ia menjadikan kelemahan Ahok dalam soal Agama sebagai titik serangan. Jika benar demikian ini ancaman yang tidak bisa dianggap remeh. Ini teror yang mengahantui kehidupan umat beragama
Semua tau rekam jejak FPI, PKS, dan golongan kaum radikal. Semua sekarang bergandengan tangan dengan Anies Baswedan. Tujuanya jelas menguasai Jakarta. sebenarnya Anies sedang pura-pura lupa atau tidak tau, jika kelompok intoleran sedang membangun basis politik. Atau memang sengaja Anies menjadikan momentum itu sebagai basis massa mempengaruhi suara warga Jakarta.
Politik Anies Baswedan ini tidak benar. Salah jika bermitra dengan kaum intoleran. Bagaimana mungkin mewujudkan Jakarta menjadi “maju kotanya bahagia warganya”, jika kaum intoleran berkuasa. Bagaimana hendak bahagia jika jenazah saja dilarang untuk dishalatkan.
Sudah sangat keterlaluan jika masjid-masjid di Jakarta kini berubah jadi ancaman bagi umat, khutbah berubah menjadi orasi politik. Tapi kita tau benar warga Jakarta sangat cerdas menentukan pilihan, mana pemimpin yang mereka butuhkan. Yang pasti, ia pemimpin yang mencintai keragaman dan toleran kepada perbedaan.
No comments:
Post a Comment