DUNIA HAWA - Setiap kali ada kalimat “Papua merdeka” responsnya sangat reaksioner, menyerang balik? Beberapa respons yang pernah didengar sebagian besar terdapat dua hal. Komentar pertama, orang yang mendukung Papua merdeka dianggap tidak nasionalis, tidak cinta NKRI. Kedua, dianggap antek asing dan HAM.
Beberapa temanku yang sangat reaksioner terhadap pernyataan tersebut, ternyata tidak pernah ke Papua. Tidak paham benar, keadaan yang sebenarnya, sumber yang dipakai hanya dari media, atau orang yang hanya sekali, dua kali ke Papua. Ada satu teman yang tidak bersuara, hanya mimik muka yang diangkat sedikit memberi kesan, no comment.
Penulis masuk ke Papua tahun 2001 melalui program HIV- AIDS, lebih dari 10 kali ke Papua, ketemu saudara-saudara asli Papua.
Pertama kali ke Papua di kota Sorong. Pesawat yang membawa kami terbang, hanya ada 4 orang Papua, sisanya sama sepertiku. Di bandara, mulai dari petugas sampai ke jasa angkut barang, di jalan menuju hotel Meriat Sorong, pengendara mobil dan sepeda motor, wajah-wajah yang kulihat, hampir lebih 80% bukan saudaraku yang kenal. Ini kekagetan yang pertama buat penulis.
Di sebelah hotel Mariat tempat kami menginap, ada swalayan, bersama teman-teman masuk untuk membeli makanan kecil. Kekagetan yang kedua, sebagain besar yang belanja dan yang jual adalah pendatang seperti kami, bukan saudaraku dari Papua. Mereka justru berada di sekitar pagar, terlihat menongkrong.
Ketika penulis mencoba mendekati sekadar untuk bersapa, mereka menyambut baik, sambil menawarkan minum, termasuk bila berkenan bisa memberikan sedikit uang untuk beli minum. Perlu saya tegaskan bahwa ini bukan watak dan kebudayaannya mereka di Papua tetapi kondisi yang menyebabkan mereka berperilaku seperti itu.
Pengalaman yang hampir sama juga terjadi di Manokwari, Jayapura, Mimika, Merauke, Biak, dan Fakfak daerah terpencil di balik kota Kaimana tempat mendarat pasukan Jepang pada perang dunia kedua. Kalau sekarang ada bebebarapa pejabat dan penguasa dari orang asli Papua, tetap tidak menggambarkan kemandirian sebagai pribumi.
Ketika mendengar kata Papua, top of mind yang langsung diingat adalah emas, gas, kayu, hutan dan primadona wisata Raja Ampat. Papua adalah intan yang belum terasah, memiliki pesona dan kekayaan yang berlimpah. Namun, kekayaan yang dimiliki ternyata tidak memberikan kesejahteraan buat pemiliknya, bahkan terkesan sebaliknya.
Kisah tentang rakyat yang sentosa sebab memiliki kekayaan yang berlimpah emas permata, ternyata hanya dalam mimpi, hanya cerita-cerita dalam televisi. Fakta yang terjadi berbalik, orang Papua menjadi orang yang tidak tahu, bagaimana bumi dan kekayaannya dikelola secara ekonomi. Orang Papua telah menjadi orang asing dan dimiskinkan di tempat kelahirannya sendiri.
Kalau mereka sebagai pemilik tanah dan peradaban yang sah, tidak menikmati, justru sebaliknya menderita. Kemudian pemuda-pemudi asli Papua yang terpelajar mengikuti jejak Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan Cipto untuk membangun nasionalisme Papua karena melihat kaumnya menderita apakah dianggap salah.
Bila kemudian para pemuda Papua berpikir tentang kemerdekaan sebagai jalan untuk menghentikan perampasan kekayaan dan pemiskinan yang dilakukan oleh kekuasaan di Jakarta dengan alasan sudah lama menderita apakah salah? Kita harus berani koreksi diri dalam melakukan pendekatan terhadap Papua?
Papua adalah intan permata yang belum terasah, tetapi keburaman itu justru sengaja dipelihara agar yang lain tidak melihatnya. Meskipun buram, intan tetaplah intan yang memiliki nilai yang sama, di mana pun berada. Memelihara “keburaman” agar intan tidak terlihat adalah kesalahan, justru di kegelapan itulah cahaya akan menampakkkan sebagai jalan.
Kenapa orang asli Papua tidak diberikan buku dan pena yang baik, kenapa tidak ditingkatkan SDM-nya supaya memiliki kemampuan dalam mengasah dan mengelola intan permatanya untuk kesejahteraannya? Tanpa memberikan pelibatan secara penuh pada mereka yang diwarisi kekayaan, sejatinya telah memperlihatkan adanya tangan-tangan keserakahan di sekitar kekuasaan.
Ketidakadilan di Papua terjadi akibat lingkaran elite kekuasaan Jakarta dan pemodal dalam mempertahankan kepentingannya untuk tetap menguasai kekayaan di Papua.
Ketidakadilan menyebabkan orang-orang Papua hidup dalam standar yang tidak layak. Dalam teori kekerasan struktural (structural violence) yang dikemukan oleh Dom Helder Camara. Pada kondisi yang serba menderita, terjadinya kekerasan dan ketegangan terus-menerus akan mendorong munculnya pemberontakan.
Pemberontakan, menuntut kemerdekaan terjadi akibat perlakuan yang tidak adil diterimanya. Ketidakadilan tidak hanya musuh mereka yang mendapatkan perlakuannya tetapi juga mereka yang melalui kesadaran, pengetahuan dan peristiwa yang dilihatnya. Ketidakadilan adalah musuh utama kemanusian, di mana pun berada.
Di Amerika Latin ada sang pembebas Che Guevara dari Agentina, di Guinea-Bissau ada Amilcar Cabral untuk pembebasan masyarakat Afrika dan di Indonesia ada Tan Malaka untuk Asia. Mereka jiwanya ada di bangsa terjajah, tidak mengenal batas wilayah, seperti yang dikatakan oleh Benedict Andersoan bahwa nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang, sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan yang tertinggi.
Ketika melihat ketidakadilan dari matanya sendiri seorang Eduard Douwes Dekker harus berhadapan dengan bangsanya sendiri, malawan sistem tanam paksa di Lebak, Banten. Begitu juga setelah kemerdekaan Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen menanggalkan kewarganegaraannya pindah menjadi orang Indonesia untuk membantu masyarakat yang dilanggar hak-haknya.
Di mana ada ketidakadilan maka di situlah manusia-manusia berkesadaran melawannya, tanpa batas ruang dan tempat.
Ungkapan “merdeka” selalu kita dengar di mana pun. Ketika ada satu-dua orang mengatakan ingin lepas dari NKRI, suatu hal yang lumrah dalam alam demokrasi. Tetapi ketika pernyataan sudah bersifat komunitas dan banyaknya dukungan dari luar komunitas, maka pernyatan itu bukan sekadar kelumrahan tetapi sudah pertanda ketidakberesan, peringatan yang harus diperhatikan secara serius.
Apakah kita benar-benar mengetahui, memahami kenapa mereka kecewa dan ingin lepas dari NKRI. Sebagai orang yang cinta NKRI seharusnya berani mengingatkan, melawan bila kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan kroni dan pemodal saja, jangan reaksioner dan menutup mata.
Kecintaan terhadap NKRI harusnya bersumber dari rasa solidaritas dan berempati pada saudara-saudara kita yang diperlakukan tidak adil. Jika tidak ingin mereka melawan dan melepaskan diri dari NKRI, kita harus berani untuk berkaca diri, mengatakan kebenaran berbangsa. Keberanian untuk memperbaiki diri serta melawan ketidakadilan yang diterima oleh saudara kita adalah kecintaan yang benar terhadap NKRI.
Kekagetan yang ketiga, mengikuti pertemuan membuat program, seorang teman dari Papua mempertanyakan transportasi yang sama nilainya Jakarta dan Papua. Di Jawa antarkabupaten dengan nilai 100 ribu sudah cukup, bisa ditempuh dengan motor atau naik bus. Di Papua, antarkabupaten harus naik pesawat, transportasinya dianggap sama. Ini adalah hal kecil, tentang Papua tapi berpikir dan bertindaknya sangat Jakarta centris.
Jangan disalahkan kalau teman yang tidak memberikan respons setuju atau menolak. Setelah beberapa kali ke Papua, kemudian memakai kaos dan tas dengan gambar simbol Papua dan berkata, "Merdeka!"
Kebisuannya karena menyadari ketidakpahaman masalahnya. Tetapi ketika ia berteriak dan barkata, "Aku mengetahui dan memahami secara utuh ketidakadilan itu, aku memilih bersama kawan-kawan yang tertindas," apakah itu salah?
Pernyataan ketidakpuasaan dari saudara harus diterima sebagai masukan untuk memperbaiki diri, tidak reaksioner menganggap tidak cinta NKRI atau sebagai antek asing. Kita ini bangsa yang dibangun berangkat dari perasaan senasib sepenanggungan dengan motto satu maju, semua maju, termasuk rakyat Papua. Ketidakpuasan dari saudara kita bisa didialogkan secara baik, niscayalah hasilnya akan baik pula. Merdeka.
No comments:
Post a Comment