Thursday, November 17, 2016

Terorisme di Indonesia dan Saudi

DUNIA HAWA - Saudi dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama rawan terhadap terorisme. Sudah puluhan kali terjadi aksi bom bunuh diri di kedua negara ini yang dilakukan oleh kelompok teroris. Di Saudi, sasaran terorisme bukan hanya masjid-masjid Syiah saja tetapi juga properti milik pemerintah dan aparat keamanan. Oleh karena itu wajar jika kedua negara ini belakangan menandatangani perjanjian kerjasama bertajuk "Defense Cooperation Agreement" (DCA) yang antara lain untuk menangani masalah terorisme dan "konter-terorisme" di kedua negara.  


Yang menarik adalah setiap terjadi aksi-aksi terorisme, para ulama dan kelompok agama di Saudi selalu ramai-ramai mengecam aksi brutal para teroris. Ketika terjadi aksi bom bunuh diri yang menyasar sejumlah masjid Syiah di Qatif, Saihat, Khobar, atau Ahsa, yang menewaskan puluhan orang tak berdosa itu, para ulama juga ramai-ramai mengecam keras.

Bahkan Mufti Besar Saudi Shaikh Abdulaziz bin Abdullah Al Shyaikh menganggap terorisme sebagai bentuk "kejahatan kemanusian terbesar" dimana para pelakunya adalah para kriminal yang kelak akan menjadi "bahan bakar neraka". Bukan hanya itu, para ulama dan pemerintah biasanya secepatnya mengunjungi lokasi kejadian dan menyambangi para korban. 

Mereka juga menggelar pertemuan dengan para ulama Syiah berpengaruh untuk diajak sama-sama memerangi terorisme yang menjadi "musuh bersama" Saudi. Mereka bukan mengsyukuri karena warga Syiah, yang sering dipersepsikan sebagai "musuh Wahabi", telah menjadi korban serangan kaum teroris. Para ulama juga tidak menganggap pengeboman sebagai "pengalihan isu". 

Ada sekitar 10-15 % penduduk Saudi adalah warga Syiah yang tersebar di berbagai kawasan. Menariknya lagi, setiap kali terjadi pengeboman, baik warga Syiah maupun non-Syiah yang saya temui menganggap para pelaku sebagai "para bigot pengecut" tanpa memberi embel-embel agama atau aliran agama tertentu. Warga Syiah tidak menuduh Sunni sebagai pelakunya. Warga Sunni juga menolak pelaku pengeboman bunuh diri sebagai "Sunni". Kaum Salafi juga sama, tidak mengakui tindakan terorisme sebagai "aksi legal" yang mendapat legitimasi agama. Buat mereka, terorisme tidak punya agama. 

Memang, saya sendiri berkeyakinan bahwa jika ada orang beragama tetapi melakukan tindakan terorisme yang mengorbankan masyarakat sipil tak berdosa, maka perlu dievaluasi pemahaman agama mereka. JIka ada umat Islam yang begitu bangganya dengan terorisme dan aneka kekerasan dan kejahatan kemansusiaan, maka layak kita pertanyakan kualitas keislaman mereka. 

Jika ada orang yang merasa diri sebagai ulama tetapi malah "cengegesan" dengan kejahatan dan kebiadaban kaum teroris, tidak berempati dengan para korban terorisme, dan justru sibuk mengurusi yang lain, maka perlu kita pertanyakan kualitas keulamaannya. 


Pula, jika ada umat Islam yang menganggap Tuhan Allah ikut menjadi "suporter" aksi-aksi terorisme dan kekerasan terhadap non-Muslim, maka sejatinya mereka telah mengfitnah, mencemarkan, dan mendiskreditkan Tuhan sebagai Zat pencipta dan pelindung alam semesta berserta semua mahluk-Nya. Orang-orang sejenis ini pada hakikatnya jauh lebih buruk daripada setan yang sering mereka kambinghitamkan itu. 

Jabal Dhahran, Arabia

Prof.Dr.Sumanto al Qurtuby, MSi, MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment