DUNIA HAWA - Pertanyaan menarik hari ini adalah "apakah status tersangka Ahok akan mempengaruhi elektabilitasnya?"
Saya mengamati gerak Ahok sejak ia menjadi Gubernur menggantikan Jokowi. Belum pernah - setahu saya - ada pejabat publik yang mampu memainkan orkestra di media selihai Ahok.
Pada posisi Ahok, ia bisa saja memainkan model yang sama seperti banyak pejabat lainnya, dengan memajang fotonya di bilboard bilboard dan media luar ruang di setiap sudut kota Jakarta. Itu legal karena bisa disembunyikan dengan bahasa proyek "sosialisasi program".
Tetapi Ahok tidak menggunakan "cara lama" itu. Ia paham, ada kerinduan sebagian masyarakat akan sosok pemimpin yang tegas, jujur, berani tapi juga perduli orang kecil. Dia "memainkan" kerinduan itu dengan sangat pintar.
Langkah langkah Ahok menjadi fenomenal ketika ia berantem dengan DPRD dan mengamankan anggaran trilyunan rupiah APBD DKI yang biasanya diperkosa beramai-ramsi oleh eksekutif dan legislatif.
Dan ia memainkannya dengan cantik ketika ia bertemu dengan warga setiap pagi di tempat kerjanya, menaikkan gaji para pasukan pembersih dan memberangkatkan umroh para penjaga masjid.
Media melahap langkah-langkahnya dengan suka cita karena ia santapan yang menarik. Media sosial sibuk membicarakannya dengan pandangan pro dan kontra, yang malah mengangkat namanya jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan banyak orang.
Ahok tidak dibesarkan oleh media, malah banyak media yang dibesarkan ketika mengamati langkah-langkahnya. Ketidak-pedulian Ahok terhadap dampak dari kerasnya ia membongkar tatanan mapan yang selama ini terjaga, membuatnya seperti seorang perenang yang menentang arus yang kuat.
Begitulah caranya menjadi besar. Ia "berbeda" dan orang suka melihat perubahan setelah sekian lama apatis terhadap pemerintahan yang gitu gutu aja.
Inilah yang ditakutkan lawan politiknya, sehingga merekapun menyerangnya melalui media juga. Dahsyatnya, apa yang dilakukan lawan politiknya malah menjadikan nama Ahok terangkat keatas.
Ahok tidak perlu membayar mahal para buzzer yang bertebaran di medsos. Banyak orang yang sepandangan dengannya, bersedia menjadi relawan lepas karena simpati pada apa yang dilakukannya.
Begitulah cara Ahok memainkan "perangnya" terlepas ia sadar atau tidak terhadap dampak dari apa yang dilakukannya.
Kembali ke status tersangka Ahok, ia akan kembali menunjukkan kelihaiannya. Status tersangka ini akn dijadikannya kampanye gratisnya. Sekali lagi - tanpa harus membayar uang banyak untuk pencitraan diri - Ahok akan menjadikan pengadilan nanti sebagai panggungnya.
Ahok pasti akan selalu hadir dalam persidangan, karena dimana lagi mendapat sorotan gratis dari mata kamera nasional selain disana?
Dan pembelaan-pembelanya nanti di pengadilan, akan menarik banyak simpati kepadanya. Tanpa bermain sebagai korban, ia sudah dianggap menjadi korban dari ketidak-adilan. Mereka yang sempat tidak ingin memilihnya karena "pandangan terhadap pemimpin non muslim", bisa berubah karena ingin membelanya.
Dan jumlah mereka ini jauh lebih banyak daripada mereka yang aktif di medsos dan berkoar koar menjelekkan namanya.
Lihat saja demo kemarin, berapa persen warga Jakarta - pemilih potensial - yang hadir sehingga harus menambah jumlah peserta demo dari luar daerah yang notabene tidak punya hak memilih?
Jadi jangan salah... status tersangka dan prosesnya di pengadilan ini justru akan menaikkan nama Ahok di mata pemilih. Cagub lain boleh menjanjikan bagi2 uang 1 miliar tiap RW, boleh saja terus mengkritik kebijakan Ahok sebelumnya, tapi mereka sendiri tahu, sulit sekali mengalahkan Ahok di pilkada kali ini.
Jika tidak sulit, tentu mereka akan bertarung secara fair..
Sambil minum kopi, saya berani bertaruh sebulan gak pake celana dalam, bahwa Ahok akan menang - mungkin malah satu putaran. Panggung ini milik Ahok dan ia adalah dirijen yang piawai...
"Pak Ahok berani sebulan gak pake celana dalam?"
"Berani.. dah lama gua gak pake.. gada bedanya..."
Arrggggh...
[denny siregar]
No comments:
Post a Comment