DUNIA HAWA - Kunjungan Anggota Dewan Mufti Mesir, Syekh Amru Wardani, ke Indonesia tempo hari memunculkan kerusuhan baru dalam kasus Ahok yang makin hari makin memanas dan makin memantik emosi.
Sudah saya duga sebelumnya bahwa kedatangan ulama al-Azhar yang satu ini hanya akan menimbulkan kerusuhan baru dan tak akan menyelesaikan persoalan sama sekali. Alih-alih menuntaskan persoalan Basuki, ulama yang satu ini justru mendapat hujanan caci maki dari para pembela kitab suci yang saleh dan penuh teladan ini.
Tega-teganya para pembela kitab suci itu melayangkan kata-kata sopan nan aduhai kepada ulama moderat yang satu ini. Ternyata, oh ternyata, dendam kesumat pasca runtuhnya kekuasaan Mursi tak kunjung punah dan tampaknya masih terasa hingga saat ini. Entah makhluk halus model apa yang menggelayut di balik dada mereka ini.
Mereka mengaku Azhari, tapi kebencian mereka kepada para pembesar al-Azhar seolah tak kunjung terobati. Mereka membenci al-Sisi, padahal mereka juga sadar bahwa di masa al-Sisi lah para pelajar asing itu mulai tenang dan tak merasakan kerusuhan seperti di zaman Mursi.
Mereka mengaku sebagai para pemangku Islam Wasathiy, tapi yang mereka perjuangkan sejujurnya adalah Islam Ikhwaniy yang oleh al-Azhar sendiri ditolak dan tidak diamini. Tapi itulah cerminan akhlak para pembela kitab suci. Ulama mumpuni pun dilabeli dengan kata-kata yang tak beretika sama sekali.
Singkat cerita, berkat selembaran surat MUI, Syekh Amru pun kembali merayapkan kaki ke bumi para Nabi atas instruksi Syekh Ahmad al-Thayyib, Grand Syekh al-Azhar saat ini.
Saya yakin. Mereka pasti gembira ria sekali melihat ulama itu pergi kembali. Sebab, seandainya Syekh Amru itu tahu fatwa MUI yang melarang memilih gubernur non-Muslim seperti Basuki, niscaya ulama yang Ahli fikih dan Ushul Fikih itu akan mengernyitkan dahi sambil ketawa-ketiwi.
Hanya di Indonesia saja fatwa diskriminatif semacam itu dibela sampai mati. “Pokoknya ini fatwa MUI harus kita hormati. Mereka ini adalah ulama-ulama kita yang lebih tahu persoalan yang terjadi. Sudahlah, anda jangan kurang ajar kepada ulama-ulama kami. Mereka itu adalah pewaris para nabi. Anda ini siapa? Kok berani-beraninya merendahkan MUI!” Begitulah kira-kira kicauan para pembela kitab suci manakala kita mengkritik fatwa MUI.
Memang sepertinya kita harus belajar memaklumi, karena ustaz-ustaz saleh dan penuh teladan ini tampaknya belum mampu membedakan mana ulama sejati dan mana ulama setengah politisi. Mereka belum bisa membedakan mana fatwa yang senafas dengan spiriti kitab suci, dan mana fatwa yang sarat akan ketidak-adilan dan diskriminasi.
Maklum saja kalau mereka kebakaran jenggot manakala ada orang-orang yang berani “merobek” lembaran fatwa MUI. Karena bagi mereka MUI itu adalah kumpulan ulama-ulama sejati. Fatwa mereka pokoknya harus dijadikan rujukan secara pasti. Sebab, fatwa mereka ini adalah fatwa yang—meminjam ungkapan al-Quran—la ya’tihi al-Bathil min baini yadaihi wa la min khalfihi (kitab yang tidak ada kabatilan nya sama sekali).
Kalau anda berani mengkritik fatwa suci buatan mereka ini, hati-hati, seketika itu juga anda akan dipandang sebagai Muslim edan yang tak hormat kepada para pewaris Nabi. Kalau anda berani sedikit saja mencubit fatwa MUI, mereka akan segera menuduh anda sebagai Muslim bejat yang tak beretika sama sekali.
Itulah kira-kira sekilas mengenai potret kecerdasan umat Islam saat ini. Ulama yang suka marah-marahan dan menebar diskriminasi dipandang sebagai ulama sejati yang tak boleh diingkari, sedangkan ulama yang suka menebar kedamaian dan keteduhan dipandang sebagai ulama sesat dan tak dihiraukan sama sekali. Cerdas sekali memang saudara-saudara kita ini.
Orang yang sudah jelas-jelas melayangkan hukum mutilasi kepada Basuki bagi mereka adalah ulama sejati. Alasannya mudah: karena dia termasuk atasan MUI. Orang yang mengatakan kasus pengeboman di Samarinda sebagai pengalihan isu Basuki bagi mereka adalah ulama sejati. Alasannya sederhana: karena orang yang berkata adalah orang MUI.
Kala Basuki “menghina” satu petikan ayat suci mereka tampil berbondong-bondong sebagai para Mujahid sakti yang sudah rela hati jika kelak terbaring mati. Tapi kala mendengar ada pengeboman yang menewaskan anak tak berdosa, entah kenapa, nurani mereka seolah redup dan suara mereka tak terdengar sama sekali. Inikah contoh ulama sejati yang patut dijadikan teladan di negeri ini, wahai para pembela kitab suci?
Betapa lucunya ulama sejati panutan kita ini. Mereka ngotot ingin menuntut Basuki, tapi giliran gereja di bom dan anak kecil terbunuh mereka seolah tak peduli sama sekali. Tak terpikir bagi mereka untuk demo membela anak kecil terbunuh seperti demo pembelaan kitab suci tempo hari. Tak ada juga kicauan dari mereka yang setidaknya menunjukan rasa empati tinggi kepada keluarga korban yang hatinya mungkin terlukai.
Tapi tak perlu heran, soalnya bagi mereka gereja itu adalah tempat berteduh bagi orang-orang kafir yang menjadi kandidat penghuni neraka di hari nanti. Dan karena gereja merupakan tempat berteduh orang kafir, maka ketika ia dihancurkan kita tak perlu bersedih hati.
Soal ada anak mati ya biarkan saja. Toh dia sudah mendapatkan garansi surga dan dia juga pasti kembali kepada Penciptanya dalam keadaan rida dan diridai. Sudah. Kita jangan gagal fokus menghadapi masalah besar yang tengah menghancurkan Agama ini!
Kita harus mengerahkan seluruh daya, upaya bahkan kalau perlu nyawa kita untuk mengawal kasus Basuki yang sudah menghina kitab suci. Karena ini lebih mulia dan suci, ketimbang mengurusi gereja yang bukan milik kita sendiri.
Pokoknya kita ingin agar orang ini segera dibui. Dan setelah orang ini dibui, tidak apa-apa, biarkan saja wajah Agama ini dipandang buruk oleh orang-orang non-Muslim, terutama umat Kristiani. Mereka mau memandang baik ataupun buruk tak ada gunanya sama sekali. Karena toh mereka ini adalah calon penghuni nereka di hari nanti.
Yang penting Basuki di bui. Atau, paling tidak, dia kalah dalam kontes Pilkada nanti. Biar Anies dan Agus saja yang boleh bertahta di DKI. Karena mereka Muslim. Dan seburuk-buruknya Muslim adalah sebaik-baiknya orang “kafir” seperti Basuki. Apalagi al-Maidah 51 sudah jelas melarang orang-orang non-Muslim untuk dijadikan pemimpin, termasuk menjadi pemimpin di DKI.
Tidak usah pikirkan konstitusi. Sudah. Yang penting kita mentaati perintah kitab suci. Konstitusi itu buatan manusia, sementara kitab suci itu buatan Tuhan Yang MahaTinggi. Mendahulukan konstitusi daripada kitab suci itu adalah kufur tingkat tinggi.
Ayat al-Qurannya sudah jelas sekali: "Barang siapa yang tak berhukum dengan hukum Allah maka dia termasuk orang-orang kafir” (QS: [5]: 44). Ayatnya di al-Maidah lagi. Ah. Sudah. Kalau menggunakan ilmu cocokologi, kokohlah sudah keyakinan kita bahwa orang “kafir” seperti Basuki memang tak boleh dijadikan pemimpin di negeri ini, apalagi untuk mengurus DKI.
Tidak perlu taat kepada konstitusi. Karena kita sudah memiliki kitab suci. Kalau perlu nanti konstitusi pun kita rubah secara perlahan dengan butiran ayat suci. Semoga saja kalau konstitusi itu dirubah dengan butiran ayat suci, negeri ini akan aman dan maju seperti zaman Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali. Bukankah kita semua merindukan negeri seperti yang dipimpin oleh mereka-mereka ini?
Lihatlah, saudara-saudara yang beriman, betapa derasnya kedunguan di negeri ini. Betapa banyaknya orang yang beragama dengan kulit, tapi tak mampu mengunyah isi. Betapa banyaknya orang yang mudah mengutip ayat suci, tapi mereka tak mampu memberikan kedamaian sejati.
Betapa banyaknya orang yang memiliki gairah keislaman tinggi, tapi mereka tak peduli dengan keutuhan NKRI. Betapa banyaknya orang yang mendaku sebagai para pembela kita suci, tapi giliran anak kecil terbunuh, dan gereja terbakar, para pembela kitab suci yang penuh teladan ini hampir tak bersuara sama sekali.
Padahal al-Quran jelas-jelas mengutuk keras perbuatan semacam ini. Tapi mengapa mereka tidak berkoar-koar padahal tindakan seperti inilah yang sejujurnya bertentangan dengan kemuliaan kitab suci? Yang ada kejadian tersebut malah diyakini sebagai pengalihan isu Basuki!
Fenomena ini semakin menunjukan bahwa keindahan Agama ini mulai gagal dikunyah oleh para pemeluknya sendiri. Banyak orang yang hafal ayat suci, tapi mudah mengobral kata kafir kepada saudara sendiri. Banyak orang yang rajin berzikir, tapi mudah sekali menebar kata-kata benci.
Lucu sekali. Ustaz-ustaz saleh dan penuh teladan ini seringkali meneriakan kata-kata kafir kepada orang-orang non-Muslim, tapi dalam saat yang sama, mereka sendiri lupa bahwa tindakan mereka itulah sebetulnya yang menyuburkan kemurtadan di negeri ini.
Terus terang, selama ini saya banyak menerima pesan yang mengeluhkan sikap para Pemuka Agama di negeri yang kita cintai. Baik dari umat Muslim, maupun dari umat Kristiani. Mereka kesal dengan kelakuan saudara-saudara kita ini.(bersambung)
Muhammad Naruddin
Mahasiswa Pascasarjana Fak. Ushuluddin, Dept. Akidah-Filsafat, Unv. Al-Azhar, Kairo, Mesir. Koordinator Hiwar.
No comments:
Post a Comment