DUNIA HAWA - Haji itu “ibadah simbolik”. Memang, semua tata-cara dan praktek ritual peribadatan dalam berbagai agama sebetulnya penuh dengan simbol. Tetapi dalam Islam khususnya, tidak ada ibadah yang sebanyak, sekompleks dan serumit haji dalam hal “persimbolan” ini. Betapa tidak, haji dianggap belum sah sesuai dengan standar resmi syariat, jika belum memenuhi sejumlah rangkaian tata-cara dan praktek ritual tertentu yang untuk melengkapinya memakan waktu beberapa hari. “Tukang haji” tidak boleh memborong semua tahapan ritual itu dalam sehari saja misalnya biar lebih efektif dan efisien: efektif ibadahnya, efisien dananya.
Semua tata-cara dan pratek ritual haji itu (baik yang rukun, wajib maupun sunah) penuh dengan simbol, yang bagi umat lain (baik umat beragama maupun bukan) yang tidak memahaminya, bisa menganggap kaum Muslim sebagai “umat gila”. Coba perhatikan dengan tenang dan seksama, semua “tukang haji” harus mengenakan dua helai pakaian serba putih tak berjahit yang diselempangkan di tubuh bagian bawah dan bagian atas (disebut “pakaian ihram”). Mereka juga tidak boleh mengenakan kain penutup kepala (topi, “kupluk kaji”, kopiyah, dlsb) dan pakaian dalam (misalnya celana dalam). Karena itu jangan heran, misalnya, pada waktu tidur atau tiduran, banyak “burung-burung” mereka yang nongol kelihatan.
Tata-aturan berpakaian ini hanya berlaku untuk “tukang haji” laki-laki saja sementara bagi jamaah haji perempuan, mereka tidak dikenakan aturan atau “adab berbusana” ini. Mereka bebas mengenakan pakaian apa saja (yang menutup aurat tentunya). Penting untuk diketahui, “adab berpakaian” yang seragam ini, bukan hanya terjadi di kalangan umat Islam. Umat lain yang mempunyai tradisi “wisata rohani” juga sama. Misalnnya, para pewisata spiritual dari jamaah Gereja Baptis Nazareth (juga dikenal dengan sebutan “Gereja Shembe”) di Afrika Selatan juga mengenakan pakaian jubah seragam serba putih (meski berjahit dan boleh mengenakan kain penutup kepala) pada waktu berwisata spiritual ke Gunung Nhlangakazi yang dianggap sebagai gunung sakral karena disinilah Isaac Shembe (w. 1935) konon menerima wahyu Kristiani untuk mendirikan sebuah komunitas gereja. Para peziarah Kobo Daishi (pendeta Kukai, 774-835) yang dianggap suci oleh sejumlah umat Budha di Pulau Shikoku, Jepang, juga mengenakan pakaian tradisional seragam saat berziarah yang memakan waktu berminggu-minggu.
Kemudian, pada saat menjalankan rangkaian ibadah haji, umat Islam juga harus tinggal di tenda-tenda di padang Arafah dan Mina selama beberapa hari (selain bermalam di Muzdalifah). Ini mengingatkan pada Bangsa Arab zaman dulu atau suku Arab Baduin nomadik yang selalu hidup berpindah-pindah dari tenda ke tenda menyusuri padang pasir. Sangking banyaknya tenda di Mina dan Arafah sehingga kedua tempat ini disebut sebagai “kota tenda”. Laki-laki dan perempuan tinggal terpisah, bukan setenda. Apa jadinya kalau mereka tinggal setenda. Bisa kacau dunia padang pasir.
Ritual unik lain dalam haji adalah melempari tugu-tugu tertentu di Mina yang dianggap sebagai “tugu setan” dengan kerikil (dikenal dengan “melempar jumroh”) berulang-kali (49 kali atau 70 kali tergantung berapa hari ritual melemparnya). Kasihan sekali si setan dilempari dengan kerikil oleh jutaan jamaah haji. Waktu itu, ada beberapa kerikil berukuran cukup besar dikit yang saya pakai khusus untuk melempar “bos setan”. Selain melempar jumrah, umat Islam juga diwajibkan melakukan tawaf alias muter-muter mengelilingi kabah selama tujuh putaran. Selama bertawaf itu, banyak orang berebut uyel-uyelan, sikut-sikutan mendekat dan memegang “rumah Tuhan” bernama kabah serta mencium si “batu hitam” bernama hajar aswad. Mereka juga diwajibkan melakukan ritual sai atau “jogging” lari-lari kecil dari “bukit” Shafa ke Marwah selama tujuh kali.
Beberapa ritual unik haji itu, bagi umat lain, mungkin disebut sebagai “ibadah gila.” Tetapi bagi umat Islam, termasuk saya, tidak merasa sedikitpun sebagai “orang gila.” Hal yang sama juga terjadi pada ritual-ritual ibadah umat agama lain. Karena itu jangan sekali-kali kita menertawakan, meledek, mengafir-sesatkan, dan menganggap “gila” praktek ibadah umat lain karena apa yang kita alami, juga mereka alami. Apa yang kita rasakan, juga mereka rasakan. Jika kita merasa wajar dan waras dengan sejumlah “ibadah gila” yang kita lakukan, maka mereka juga sama. Sesama “orang gila” harus rukun ya, jangan saling melecehkan (bersambung).
Prof. Dr.Sumanto al Qurtuby,MSi,MA
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore
No comments:
Post a Comment