HALAMAN

Thursday, August 11, 2016

One Hour School



Dunia Hawa - Sebagai anak kampung yang tinggal di kaki gunung dan di tepi hutan di pedalaman Kabupaten Batang, Jawa Tengah, sekolah SD-ku dulu tidak mengikuti "sistem full day school". Bahkan "half day school" atau "sekolah setengah hari" pun tidak. Sekolahku dulu mengikuti "sistem one hour school" alias "sekolah sejam". 

Lo kok bisa? Bisa donk. 

Ceritanya begini: karena kampungku itu kampung banget bahkan sangking pelosoknya mungkin tidak tercantum di dalam peta Indonesia, maka jarang sekali ada guru yang kerasan tinggal berlama-lama disini. Maklum semua guru SD-ku dulu itu "impor" alias didatangkan dari daerah atau kabupaten lain. Bagimana mau kerasan wong listrik tidak ada, makan seadanya, jalan susah sekali beraspal tanah dan batu, tempat terisolir jauh dari peradaban, mandi di sungai atau pancuran yang biasanya dilakukan secara kolektif alias rombongan berjamaah.  

Orang kampung waktu itu tidak ada yang menekuni profesi sebagai guru karena "propesi" itu luhurnya minta ampun sehingga tak terjangkau oleh warga kampung yang udik yang tidak pernah mengenyam bangku sekolahan. Semua warga kampung adalah petani atau buruh tani, termasuk orang tuaku. 

Kalaupun ada "guru impor" yang tinggal disitu paling cuma satu atau dua. Memang sih ada "kepala sekolah SD" yang juga impor yang tinggal di kampung karena menikah dengan warga setempat tetapi ia juga hampir-hampir nyaris tidak pernah mengajar dan datang ke sekolah karena sibuk mengurusi sawah (mungkin karena sudah ketularan "virus" orang kampung yang hobi "nyawah"). 

Nah, ada satu "guru impor" lagi yang sebetulnya cukup rajin datang ke sekolah. Tetapi karena mengurusi empat kelas dari kelas 1 sampai 4 (maklum SD di kampungku dulu cuma sampai kelas 4), jadinya tidak maksimal dalam mengajar. Hampir setiap hari saya mendapat jatah pelajaran selama satu jam saja (biasanya dari jam 10 sampai 11). Ya itupun ala kadarnya dengan bacaan seadanya. Jadi masa kecilku lebih banyak untuk bermain atau main-main dan, seperti biasa, untuk menggembala kambing dan mencari kayu di hutan dan rumput ternak. 

Karena itulah dulu waktu pindah sekolah SD di kecamatan lain supaya bisa mendapat Ijazah SD, saya cukup stres karena banyak pelajaran ini-itu. Waktu itu saya benci sekali sekolah karena bikin stres, bikin pusing, napsu makan juga lenyap karena mikirin "PR" yang seabrek. Sudah begitu harus mengurus kambing-kambingku lagi, semakin sutris ni kepala. 

Rupanya pengalaman seperti ini menular ke anakku Vicky, Victoria Astra Nawa. Ia juga sepertinya sebel banget dengan model sekolah di Indonesia yang banyak pelajaran dan PR nonstop. Maklum ia pernah sekolah SD sebentar di Semarang. Padahal sekolahnya tidak "Full Day School" lo tapi cukup sukses bikin ia puyeng dan stres. Yang jelas "kepuyengannya" lebih karena ia sudah terbiasa sekolah dalam sistem akademik Amerika (anakku pernah sekolah di Boston & Indiana) yang memang lebih banyak bermain ketimbang dijejali dengan aneka pelajaran dan PR (Pekerjaan Rumah). Konsepnya: "Bermain adalah belajar". Bermain sambil belajar, belajar sambil bermain. Jadi memang santai sekali. 

Di Saudi pun anakku sekolah di "sekolah internasional" dengan Inggris sebagai bahasa pengantar (kemudian Bahasa Perancis dan Arab sebagai "bahasa kedua") yang meskipun cukup berat dikit tapi tidak seberat sekolah-sekolah di Indonesia. Apalagi sekolah di Saudi banyak libur, jadi seneng sekali anakku. Tahun ini bahkan lebih dari tiga bulan liburnya. Baru masuk sekolah setelah musim haji (sekitar 18 September). 

Saya sendiri tidak pernah menyuruh apalagi memaksa anakku untuk belajar keras mata pelajaran ini-itu. Saya biarkan saja apa kemauannya. Sepertinya akhir-akhir ini ia senang menggambar, menulis dan membaca (saya mesam-mesem saja). Ia anak-anak yang juga berhak untuk menikmati "dunia anak".  

Memori sekolah SD di Semarang yang mungkin menurutnya cukup berat itulah yang menyebabkan ia stres setiap kali mendengar saya mau "mudik" ke Indonesia. Rupanya anakku lebih suka tinggal di Saudi, bukan karena negara ini dekat dengan Mekah dan Madinah melainkan karena sekolahnya banyak libur...

Sumanto al Qurtuby
Staf Pengajar Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, dan Visiting Senior Research Fellow di Middle East Institute, National University of Singapore

No comments:

Post a Comment