Dunia Hawa - Dan seperti dugaan saya, banyak yang kemudian mencoba membangkitkan peristiwa Poso yang terjadi tahun 1998 - 2000 an.
Terbunuhnya Santoso oleh tim Tinombala, dijadikan ajang penguat bahwa Santoso sebenarnya "pahlawan" yang membalas dendam karena keluarganya terbantai dalam peristiwa mengerikan itu. Santoso diangkat sebagai pahlawan "Muslim" yang tindakannya di maklumi, meski bergabung dengan ISIS dan menggorok leher orang tua untuk melawan sikap aparat yang dikatakan lebih membela "Kristen".
Ramai-ramai mereka mengangkat luka lama ini kembali. Luka yang terjadi pasca reformasi disaat negara ini belum siap sepenuhnya untuk me-reformasi diri. Luka yang terjadi yang didorong awalnya oleh perebutan kekuasaan di sana dan di giring ke arah konflik agama.
Saya jadi teringat peristiwa yang terjadi di Rwanda, sebuah negara di Afrika tahun 1994.
Peristiwa Rwanda adalah salah satu genosida terburuk pada abad ini yang di lakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi dan suku Hutu yang moderat. Dendam karena sejarah pernah menuliskan kisah pedih pembantaian Hutu oleh Tutsi, maka di kobarkanlah kebencian melalui media. Sekitar 800 ribu sampai 1 juta manusia terbantai dalam waktu 100 hari. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Anda bisa membayangkan kejadiannya yang tertuang dalam film " Sometimes in April " dan " Hotel Rwanda".
Yang tidak dipahami banyak pelaku adalah bahwa dibalik genosida itu ada motivasi politik, perebutan kekuasaan. Dan dibalik perebutan lekuasaan itu, ada motivasi pengelolaan sumber daya alam oleh negara maju. Para otak di belakang layar memetakan potensi konflik dan dengan sistematis membenturkannya. Yang bertarung cuma sekian ribu orang, korbannya jutaan dari wanita sampai anak anak.
Apakah harus seperti itu ? Memelihara dendam berkepanjangan ?
Lalu ketika dendam itu dilampiaskan dan kemudian terjadi balas dendam kembali, lalu apa yang sudah terpuaskan? Nafsu binatang?
Tidak perlu mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, karena peristiwa Poso seluruhnya adalah kesalahan. Ketidak-siapan mental ketika lepas dari cengkeraman. Permainan politik kotor dengan nama kekuasaan. Agama? Cuman alat untuk mencapai tujuan.
Rwanda belajar sekali dari peristiwa itu dan mereka bersama-sama membangun tugu Memorial Genocide, sebagai peringatan bahwa disana tidak ada yang namanya kemenangan. Semua kalah. Kalah terbakar api dendam.
Seruput kopi dulu karena kafeinnya akan mendinginkan segala api yg membentuk dendam. Yang sudah terjadi hanya bisa dijadikan pelajaran. Hidup kita untuk hari ini dan masa depan.
“Kemarahan dimulai dengan kegilaan dan berakhir dengan penyesalan.” Imam Ali as.
[denny siregar]
Acuan :
• dewiastutituti.blogspot.co.id
Dewi Astuti, SMK AN-NUR Depok
Depok, 05 Maret 201
TRAGEDI POSO
Kronologis Kejadian Kerusuhan Masa Di Kota Poso
Pada hari jumat tanggal 25 Desember 1998
Pkl. 02.00 Wita : Terjadi penganiayaan di mesjid Darusalam Kel. Sayo terhadap Korban yang bernama Ridwan Ramboni, umur 23 tahun, agana Islam, suku Bugis palopo, pekerjaan mahasisiwa, alamat Kel. Sayo, yang dilakukan oleh Roy Runtu Bisalemba, umur 18 tahun, agama Kristen protestan, suku pamona, pekerjaan, tidak ada, alamat jl. Tabatoki – sayo.
Akibat penganiayaan korban mengalami luka potong dibagian bahu kanan dan siku kanan,selanjutnya dirawat di RSU Poso.
Pkl. 02.30 . Timbul reaksi dari pemuda/ pemuda Remaja mesjid terhadap kasus yang dimaksud dan beredar isu –isu sbb.
- Pelaku penganiayaan (Roy Bisalemba) terpengaruh minuman keras, sehabis minum di toko lima di jalan Samratulangi.
- Anak kandung pemilik toko lima (Akok) WNI keturunan cina di isukan telah melontarkan kata-kata “Umat Islam kalau buka puasa pake RW saja “
- Imam masjid di Sajo telah dibacok didalam masjid hingga di Opname I Rumah Sakit.
Pkl.14.30 Wita. Sekelompok pemuda/remaja Islam Masjid Ke Kayamanya berjumlah 50 orang mengendarai truk turun di muka RSU Poso ,menengok Korban Lk.LUKMAN RAMBONI, selanjutnya berjalan menuju took LIMA dijalan Samratulangi melakukan pelemparan took tersebut dengan batu dan kayu.
Pkl.14.45 Wita .Sasaran pengrusakan diarahkan kerumah tempat tinggal penduduk milik tersangka (ROY BISALEMBA) dijalan Yos Sudarso Kel. Kasintuwu dan beberapa rumah keluarga tersangka di jalan Tabatoki Kel.Sayo. Massa merusak bangunan dan isi perabot rumah tangga dengan batu,kayu, dan senjata tajam.
Pkl. 15.15 Wita. Sekelompok pemuda /remaja berjumlah sekitar 300 orang merusak penginapan dan diskotik DOLIDI NDAWA diJln.P.Nias Kel.Kayamanya ,menggunakan batu dan kayu.
Pkl. 18.45. Wita .Massa berjumlah 300 orang merusak tempat Billyard dijalan P.Sumatra Poso. Selanjutnya massa dari ummat Islam kel.Kayamanya bergabung dengan massa kelurahan Moenko berjumlah sekitar 1000 orang melakukan pengrusakan losmen/diskotik LASTI dijalan P.Seram Kel.Gebang Rejo,hingga bangunan rumah dan diskotik serta isi rumah dan beberapa ratus botol minuman keras dihancurkan.
Pkl. 19.00 Wita. Pasukan PAM PHH memblokade massa dijembatan penyembrangan kuala Poso yang bermaksud untuk bergabung dengan massa remaja Islam Masjid kel. Bone Sompe dan Kel.Lawanga . Terjadi sedikit ketegangan antara aparat dengan massa yang tetap memaksakan kehendaknya menembus barisan PHH, namun massa dapat dikendalikan .
Pkl. 20.20 Wita. Sebagian massa yang terbendung pasukan PHH kembali menuju kompleks pertokoan dan tempat-tempat hiburan yang biasanya dijadikan tempat menjual miras dan membawa prostitusi, selanjutnya massa melakukan pengrusakan dengan cara melempar dengan batu dan merusak dengan pentungan kayu, pentungan besi dan senjata tajam /parang:
1. Toserba intisari lantai II dilempar hingga etalas toko pecah.
2. Toko Hero diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
3. Pabrik Minuman Keras merek SAR di Kel.Kayamanya dilempar mengenai atap Seng.
4. Toko Asia diJln.P.Irian dilempar hingga kaca toko pecah.
5. Hotel Kartika dirusak dan kasur busa hotel dibakar diJalan Raya.
6. Hotel Anugrah Inn di rusak meliputi kaca dan isi perabotan Hotel diruang Resepsionis dan ruang penerima tamu hotel.
7. Penginapan WatiLembah di jln.P.Batam dilempar hingga kaca bangunan tempat/hotel pecah.
8. Rumah makan Arisa diJln.P.Batam Kel. Moenko dibakar dan seluruh minuman keras dikeluarkan dan dipecahkan diJalan Raya dan sebagaian lagi dibakar.
Sedangkan massa berjumlah 500 orang dari masyarakat Kel.Bonesompe dan Lawanga juga melakukan pengrusakan Hotel NELCON CYTY HOTEL dan Toko TIGA DARAH.
Pkl. 23.00 Wita. Massa membubarkan diri, situasi dapat terkendalikan
Sabtu, 26 Desember 1998.
Pkl. 07.00 Wita. Massa dan Risma dari arah Gerbang Rejo, Kayamanya, Moenko bergerak mencari Toko dan Gudang yang diduga ada Miras . Demikian -bleep- massa dan Risma dari Arah kelurahan Lawanga , Bonemsompe dan Sayo masing-masing bergerak mencari miras yang ada diToko dan Gudang.Kemudian semua miras dikumpul pada tempat parkir lapangn MAROSO, sampai pada pukul 15.30 Wita miras yang terkumpul dari berbagai jenis sejumlah 15 truk yang diperkirakan puluhan ribu botol yang besar maupun kecil.
16.00 bupati bersama Kapolda Sul-teng Muspida Tingkat II Poso bersama tokoh Agama dan masyarakat menyaksikan pemberantasan miras dengan menggunakan alat berat sten wals maka lembah got lapangan Maroso mengalirlah cairan miras laksana bah air hujan dengan bau yang menusuk hidung sementara umat Islam sedang berpuasa. Demikianlah selanjutnya miras senentiasa terkumpul lalu dimusnakan. Kemudian sore itu juga Kapolda Sul-teng kempali kepalu.
17.00 Massa dari arah lawangga Bonesompe dan Gebangrejo bergerak menuju kel. Untuk menuntaskan miras yang ada di Toko lima yang diduga masih ada sekitar ribuan botol yang terdapat diruang bawah tanah. Pada waktu massa ingin mengambil miras tersebut maka toko Lima telah dibendung oleh massa pemuda Kristen dan masyarakatnya. Tidak diizinkan untuk diganggu termaksuk mengamankan kel. Lombogu dari. Demikianlah keadaan berlangsung sampai malam hari kerusuhan demi kerusuhan terjadi.
19.00 Massa dan Risma kembali berjalan ditambah lagi massa dari desa Tokorondo Kec. Poso Pesisir sehingga masssa besar ini terpaksa berhadapan dengan pasukan PPH dijembatan besar sungai Poso di tengah kota dengan massa yang diduga dipimpin Herman Parimo + 20 truk.
19.30 Rapat dan musyawarah Tokoh Agama Kristen dan Islam serta tokoh pemudanya yang dipimpin oleh bupati bersama Muspida dan ketua DPR Tingkat II Poso. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa semuanya sepakat dan menyatakan perdamaian. Keadaan itu di sosialisasikan dan dinyatakan aman. Namun suara massa sudah ribut dan hiruk pikuk karena sudah terjadi bentrok tawuran.
20.00 Toko agama ulama dan pendeta serta toko pemuda Islam dan Kristen dipimpin oleh Muspida Tingkat II Poso bergerak menuju tempat kerusuhan untuk mengendalikan massa yang sudah terjadi bentrok tawuran, dalam keadaan hujan batu tersebut massa tidak bisa diterobos terpaksa pasukan PPH Brimob dan Polisi melepaskan tembakan peluru hampa dan peluru karet kemudian massa kembali lalu tokoh memberi nasehat dan berdoa bersama kemudian bubar, namun dilain pihak massa masih terjadi tauran diarah kelurahan Lawanga dengan Lombogia masih terjadi tauran sporadis sampai pagi hari.
Minggu, 27 desember 1998
08.00 bupati bersama muspida dan tokoh agama dan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat begerak menuju pasar sentral untuk mensosialisasikan kesepakan damai dan dinyatakan aman.demikianlah tiem bergerak dari pasar kemasing-masing kelurahan sampai tuntas kelurahan dan dinyatakan aman dan damai .
18.30 malam hari sesudah buka puasa bupati bergerak bersama tiemnya menuju desa Tagolu untuk mensosialisasikan perdamaian dengan massa yang dipimpin oleh Herman parimo (tokoh GPST semasa perang dengan PERMESTA). Massa tersebut diperkirakan dari 12 desa dari kecamatan Pamona utara dan lage + 40 truk, namun herman ternyata acuh karena sementara Bupati berpidato herman meninggalkan tempat sehingga bupati bersama tim pulang kekota Poso.
22.00 Pasukan herman parimo bergerak menuju kota Poso dan melakukan demonstrasi kekuatan sambil melempar rumah-rumah dan toko-toko disekitar Jl. P. Kalimantan dan Sumatra sehingga masyarakat gebangrejo kaget karena sudah damai dan aman mengapa masih ada kerusuhan dengan serangan tiba-tiba sementara masyarakat sudah tenang istirahat setelah sholat tarawih.
22.30 Pasukan PPH mengundurkan pasukan massa Herman Parimo dan diundurkan dari arah pasar sentral. Kantor Polres hingga jembatan sampai dibundaran ujung utara jembatan poso. Massa Gebangrejo yang minus mengadakan perlawanan hanya puluhan orang hingga pagi hari.
Senin, 28 Desember 1998
05 45 Massa yang dipimpin oleh Herman Parimo yang berkumpul disekitar perempatan terminal Tentena (Lombagia) sampai desa Tagolu Kec. Lage bergerak menyatu kekota Poso dan mulai menyerang ke kelurahan lawangga kampong arah serta melempari dengan batu. Demikian -bleep- kelurahan Bonosompe telebih lagi kelurahan Gebangrejo massa tersebut yang berjumlah + 5000 personil karena di kelurahan Lawanga sudah mulai tejadi maka tokoh masyarakat Islam Yahya Magun diundang oleh Tokoh Masyarakat Lombogia untuk menenangkan keadaan namun Tokoh tersebut pada waktu tiba hanya mendapat serangan dan hampir kena bacok parang lalu menghindar dari kerusuhan tak bisa terelakan.
06.00 Massa herman Parimo yang seluruhnya beragama kristiani + 5000 personil itu mulai menyerang melempar dan membakar rumah penduduk Islam Jl. P. Kalimantan kemudian massa Islam datang satu demi satu mengadakan perlawanan dari anak-anak sampai orang tua pria dan wanita dan komando jihad fi sabilillah mulai dikumandangkan dikumandangkan dengan pekik Allahu akbar. Oleh tokoh masyarakat Islam yang punya karismatik maka terjadilah bentrokan dengan menggunakan lemparan batu. Tombak, parang, senapan angin dan lain-lain termasuk bom Molotov (rakitan dengan mengunakan botol) dari kedua bela pihak dan massa muslim bergerak dari arah gebangrejo, kayamanya, moengko,lawangga, dan bonosompe + 1000 personil melawan 5000 personil massa Kristen yang dipimpin oleh Herman Parimo. Demikanlah bentrokan terjadi tanpa seorang pun aparat keamanan yang mampu mengendalikan bentrokan berlangsung pada pukul 06.00 pagi sampai dengan jam 12 siang dan massa kristiani yang dipimpin Herman Parimo mengundurkan diri serta lari kearah gunung bukit pancaran TVRI yang lainnya menyerah minta ampun dan minta perlindungan dari massa umat Islam mereka pun semuanya dilindungi dan diamankan dalam ruang gereja tanpa ada ganguan sedikitpun.
12.00 Massa Islam bersama Risma menguasai kota secara keseluruhan. Kemudian massa dari desa Tokorondo kecamatan Poso pesisir, parigi dan ampana seluruhnya + 500 orang personil datang membantu mengamankan kota karma diperkirakan pasukan Herman parimo akan datang menyerang kembali namun pada sampai tanggal 29 Desember 1998 tidak ada penyerangan dan Herman Parimo malah dikejar dan melarikan diri ke selawesi selatan daerah palopo.
15.30 Massa Islam mengamankan kota dan membuat pos-pos jaga (posko) dimasing-masing kelurahan, lingkungan RT, RW massa dari parigi jaga diposko ujung jembatan baru. Massa Ampana menjaga diposko perempatan terminal tentena, massa Islam dalam kota menjaga masing-masing lingkungan dengan dikoordinir masing-masing Risma setempat.
Selasa , 29 desember 1998
09.00 kunjungan gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Tengah memimpin rapat yang dihadiri MUSPIDA Tingkat I, Tokoh masyarakat,Tokoh Agama Tingkat I MUI, Pendeta Sinode, Bupati KDH Tingkat II dan muspida serta tokoh-tokoh Agama dan masyarakat di kota poso bersama kelompok yang menamakan diri Mujahid Fisabilillah melalui coordinator selaku juru bicara ,membicarakan keamanan Kota Poso setelah dikuasai oleh Anggota Mujahid Fisabilillah Umat Islam ( disingkat Mujahid ) Kota Poso .karena aparat keamanan tidak berfungsi secara maksimal selama kerusuhan berkecamuk.
13.00 Tercapai kesepakatan bahwa :
1. Keamanan kota Poso berangsur ditangani oleh aparat keamanan, yang pelaksanaannya secara bersama masyarakat kota Poso dan mujahid.
2. Menagani menurut hukum yang berlaku, oknum-oknum yang diduga sebagai provokator.
16.00 Pertemuan Pemda Tingat I dengan semua Tokoh agama serta koordinatir coordinator mujahid fisabilillah, membahas keadaan yang porakporanda akibat kerusuhan. Serta keberadaan Herman Parimo (oknum yang diduga salah satu provokator). Upaya mengembalikan penduduk yang mengungsi pemulihan kecamatan serta menormalkan kembali fungsi pasar.
17.00 Aparat keamanan bersama masyarakat kota Poso dan mujahid. Dalam pengamanan kota Poso dengan system ronda/ jaga malam.
Rabu, 30 Desmber 1998
06.00 Para pesuru yang mengunsi berdatangan menyerahkan diri kepada petugas dan penduduk yang mengawasi mulai berdatangan kembali dalam keadaan lemah :
1. Ditampung dan dilayani (makan) diposko penampungan yang dipusatkan do GOR Poso.
2. Yang Luka-luka diawali dirumah sakit.
08.00 Pasar sentral sebagai pusat perekonimian masyarakat kota Poso mulai pulih kembali. Para penjual dan pembeli sudah berdatangan sehingga kegiatan sudah kembali seperti biasa.
09.00 Keadaan kota Poso sudah pulih dan netral.
Jum’at 8 Januari 1999
Pertemuan tokoh Agama. Ulama, pendeta dan tokoh agama Islam, tokoh pemuda Kristen dihadapan bupati kepala daerah tingkat II Poso dan Muspida Tingkat II Poso serta Tim Komnas HAM pusat menghasilkan kesepakatan perlu membentuk Forum Komunikasi antar umat beragama Kabupaten Poso.
Selasa 12 Januari 1999
Terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama Kabupaten Poso yang denganterbitnya Surat Keputusan BKDH Nomor 454.5/0207/ SOSIAL tentang pembentukan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) di Kabupaten Dati II Poso.
Selasa, 26 Januari 1999
FKAUB Mengadakan Rapat dan menghasilkan
1. Tata kerja FKAUB
2. Program Kerja FKAUB
3. Pembentukan pos Komunikasi FKAUB.
• VIVAnews
Elin Yunita Kristanti
Rabu, 4 Juli 2012, 07:22 WIB
Gereja Ini Monumen Pembantaian 5.000 Jiwa di Rwanda
Sebuah gereja kecil bertembok bata merah tegak berdiri dalam keporakporadaannya. Namanya, Gereja Katolik Ntarama, ia bisa ditempuh sejam perjalanan menggunakan mobil dari ibu kota Rwanda, Kigali.
Tak ada lagi ibadah yang digelar di sana. Gereja yang muram kini menjadi situs peringatan salah satu tragedi paling brutal yang pernah terjadi di negara itu: genosida, pembantaian etnis.
Seperti dimuat Al Jazeera, di hari saat tragedi itu terjadi, 15 April 1994, 5.000 warga sipil yang berlindung dalam gereja tewas dibantai. Darah juga tumpah di seluruh negeri, hanya dalam 100 hari, 6 April hingga 15 Juli 1994, lebih dari 800.000 nyawa etnis Tutsi dan etnis lainnya melayang dalam pembantaian yang dipicu penembakan Presiden Juvenal Habyarimana dan keinginan sebagian oknum etnis Hutu untuk melanggengkan kekuasannya.
Tiap orang yang memasuki pintu gereja, niscaya akan membeku dalam kengerian. Saat mata bertemu dengan dengan pemandangan mengerikan, tumpukan tengkorak dan tulang belulang di bagian belakang. Sepanjang dinding gereja tergantung pakaian yang kotor penuh jelaga dan debu milik para korban, yang mereka pakai di hari pembantaian. Ada jajaran peti mati berisi belulang di dekat altar -- tempat buket bunga diletakkan.
Sebelum tahun 1994, tak ada tentara yang berani menyerang gereja. Itu yang membuat warga sipil ramai-ramai mencari perlindungan di dalamnya. Namun, rumah ibadah yang dianggap suci dan aman itu sontak berubah jadi ladang pembantaian.
Tentara dan militan etnis Hutu, Interahamwe melempar granat dan menghujani bagian dalam gereja dengan peluru. Apa yang terjadi di luar bangunan tak kalah mengerikan, pasukan biadab membantai semua orang yang mereka temui, tak pandang jenis kelamin atau usia. Anak-anak, bahkan bayi. Dengan senapan atau parang. Bekas cipratan darah mereka masih menempel di dinding hingga saat ini.
Valentine Ndamage kurator dari situs berusia 26 tahun itu masih mencoba memahami apa yang terjadi di negaranya. Saat pembantaian terjadi, ia dan keluarganya tinggal di Kongo. Valentine baru kembali ke Rwanda saat berusia 8 tahun, sebulan setelah genosida berakhir. "Saya masih mengingat mayat-mayat yang bergelimpangan di Gisenyi," kata dia. Bau menyengat jasad manusia yang membusuk tercium kuat di kota di perbatasan dengan Kongo itu.
Rekonsiliasi
Gereja Ntarama juga menjadi saksi usaha rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Seperti hari itu, saat Angelique Mukabucyza, seorang Tutsi yang dua anaknya tewas dalam pembantaian, berjabat tangan dengan Karereza Bonaventura, seorang Hutu yang dituduh berpartisipasi dalam genosida.
Dalam upaya rekonsiliasi, Pemerintah Rwanda menerapkan sistem Gacaca, pengadilan akar rumput di mana pelaku dan korban duduk bersama untuk membahas apa yang terjadi. Para Gacaca ditutup awal bulan Juli ini setelah menangani hampir dua juta kasus.
Di Gacaca itu juga, Angelique melihat pemimpin pasukan yang melukai bayi perempuannya dengan parang dan membiarkannya mati kehabisan darah. Si pelaku hanya diganjar hukuman kerja paksa, setelah mengunjungi rumahnya untuk minta maaf.
Ketika ditanya apakah Gacaca membantunya menyembuhkan luka dan traumanya, Angelique hanya bisa berkata, "saya memilih memaafkan pelaku, pilihan lain yang saya miliki adalah seumur hidup dalam kebencian."
Namun, banyak yang mengkritik sistem pengadilan Gacaca. Selama bertahun-tahun, organisasi hak asasi manusia juga mengkhawatirkan kualifikasi para hakim dan kurang tegasnya hukuman pada para pelaku.
Terkait itu, Menteri Kehakiman Rwanda,Tharcisse Karugarama berdalih, tidak ada pilihan lain saat itu. "Kami tidak punya uang, tidak ada hakim, jaksa, tidak cukup penyidik ??polisi. Sementara, ada banyak orang ditangkap dan korban menuntut keadilan," kata dia.
Hanya ada pilihan saat itu, memakai sistem peradilan barat -- yang tak mampu dilakukan, membiarkan warga balas dendam, atau memulai sistem Gacaca.
Ingatan tentang tragedi pembantaian 1994 mewarnai peringatan Hari Kemerdekaan Rwanda ke-50, 1 Juli 2012 lalu. Meski hanya sebagai penonton bisu, Gereja Ntarama menyampaikan pesan abadi pada bangsa Rwanda, juga dunia.
Salah satunya terpampang dalam spanduk di dekat altar. Tulisannya: "Iyo umenya nawe. Ukimenya Ntuba Waranyishe". "Jika kau tahu siapa aku dan mengenal dirimu sendiri. Kau tak akan membunuhku." Bahwa, semestinya manusia tak membunuh sesamanya hanya karena perbedaan etnis, kepercayaan. (umi)
© VIVA.co.id
No comments:
Post a Comment