Foto : Kapal yang ditumpangi etnis Rohingya (dan orang-orang Bangladesh) saat terdampar di Aceh, Mei 2015
DUNIA HAWA Sejumlah orang menanyakan pendapat saya mengenai kasus Rohingya. Berikut ini beberapa poin pemikiran saya, sebagian pernah saya tulis di paper saya yang diikutsertakan dalam konferensi internasional, “Debating ‘National Interest’ Vis A Vis Refugees: Indonesia’s Rohingya Case”, sebagian pernah saya tulis di blog.
Sejak awal deklarasi kemerdekaan Myanmar tahun 1948 (semula dijajah oleh Inggris), negeri tersebut sudah memiliki konflik antaretnis, karena etnis Burma yang merupakan 2/3 dari populasi mendominasi 100-an etnis lainnya, seperti etnis Shan, Karen, Rakhine, Rohingya, Kachine, dan Mon.
Menurut keterangan narasumber penelitian saya saat menulis paper tentang Rohingya, secara umum, umat Islam baik-baik saja di Myanmar, ada masjid-masjid yang berdiri di sana, dan umat Muslim bisa beribadah dengan aman. Yang jadi masalah adalah: etnis Rohingya yang ‘kebetulan’ Muslim adalah etnis minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Akibat status ‘stateless’ ini, mereka mengalami diskriminasi dan penindasan. Suku Kachin dan Karen juga mengalami penindasan dari rezim Myanmar, agama mereka umumnya Kristiani.
Bahwa kemudian ada kelompok ekstrimis Budha menggunakan isu agama untuk mengeskalasi konflik, meningkatkan kebencian populasi mayoritas terhadap populasi minoritas, menurut saya, tak jauh berbeda kasusnya dengan konflik di berbagai negara lain, antara lain Suriah (dan juga Indonesia). Isu agama memang sangat mudah dimanfaatkan untuk membangkitkan kemarahan publik.
Karena itu narasi “umat Islam dibantai oleh kaum Budha di Myanmar” adalah narasi yang salah kaprah, penuh generalisasi, dan berbahaya ketika disampaikan dengan sangat masif di Indonesia (berpotensi menyebabkan perpecahan bangsa). Sebaiknya, gunakan diksi yang tepat, misalnya “Etnis Rohingya mengalami penindasan yang dilakukan oleh rezim militer Myanmar”.
Bahwa umat Muslim Indonesia prihatin dan marah karena saudara sesama Muslim-nya ditindas di Myanmar, atau di Palestina, adalah hal yang wajar. Solidaritas sesama Muslim memang salah satu ajaran Islam. Namun yang salah adalah ketika upaya membangkitkan solidaritas itu dilakukan dengan cara: menyebarkan foto palsu sekaligus merendahkan dan menghina pemerintah negara sendiri.
Tahun 2015, saya pernah mengklarifikasi foto yang amat viral (hanya dalam 7 jam sudah 1300-an share). Di foto itu terlihat istri Presiden Turki menangis memeluk seorang pengungsi Rohingya. Caption foto (ditulis oleh seorang ustadz), “istri Presiden Turki dah sampai Aceh menemui para pengungsi, mana ibu negara kita?” Saya sampaikan bahwa kejadian di foto itu bukan di Aceh, tapi di Myanmar.
Bila yang tertipu orang awam, mungkin bisa dimaafkan. Tetapi salah satu yang marah kepada saya karena mengklarifikasi foto itu justru ukhti yang bertitel sarjana HI. Ia seharusnya paham bahwa secara diplomatik sungguh aneh bila ada ibu negara asing ujug-ujug langsung datang ke Aceh, tanpa disambut dulu secara resmi di Jakarta. Si ukhti sarjana HI kurang-lebih komen begini, “Kamu Syiah! Makanya kamu tidak peduli pada kaum Muslim Rohingya!” Ya Tuhan.
Sejak lama, saya sudah mendeteksi bahwa penggunaan sentimen keagamaan untuk isu Rohingya (termasuk penyebarluasan foto-foto palsu) umumnya dilakukan oleh kelompok yang sama, yang selama ini juga aktif mengusung isu “Sunni dibantai Syiah di Suriah” (dimana mereka juga menyebarkan foto-foto palsu). Mereka juga amat berkaitan dengan lembaga-lembaga donasi yang lincah sekali menggunakan isu konflik di luar negeri untuk menggalang dana. Dan, sebagian dari mereka ini juga berada di cluster yang sama dengan para penyerang Jokowi (ingat, ‘menyerang’ tidak sama dengan ‘mengkritik’; saya sendiri beberapa kali pernah menulis mengkritisi beberapa kebijakan Pak Jokowi, dan beberapa kali pula memuji kebijakan beliau, dengan argumen yang sesuai dengan keilmuan saya).
Dan baru-baru ini, pak Ismail Fahmi (pakar IT) merilis hasil penelitiannya terhadap percakapan Twitter di Indonesia dengan fitur Opinion Analysis, dimana opini akan dikelompokkan berdasarkan kategori tertentu. Berikut ini saya copas sebagian hasilnya:
Sebanyak 33% status publik mengaitkan isu Rohingya ini dengan Pemerintah, 25% dengan Jokowi, 19% dengan Umat Budha, 18% dengan Aung San Suu Kyi, dan 6% dengan Jenderal Min Aung Hlaing.
Ternyata, publik melihat isu ini lebih banyak berkaitan dengan pemerintah dan Jokowi, dibandingkan dengan Aung San dan Jenderal Min. Tekanan ke dalam negeri lebih besar dibanding tekanan kepada pemerintah Myanmar.
Yang mengkhawatirkan adalah, kaitan isu ini dengat Umat Budha di Indonesia ternyata cukup tinggi. Lebih tinggi dibandingkan dengan Aung San. Artinya, potensi disintegrasi bangsa bisa muncul di Indonesia gara-gara isu Rohingya.
Artinya, hasil penelitian ini menguatkan apa yang sudah saya tulis sebelumnya.
Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Myanmar
Tak banyak yang tahu, junta militer Myanmar yang tadinya mengisolasi diri dari dunia internasional, akhirnya mau melakukan proses-proses demokratisasi adalah berkat KITA, pemerintah Indonesia. Masa 10 tahun SBY, Kementerian Luar Negeri kita sangat aktif mendorong Myanmar untuk lebih terbuka, dan berhasil. Pemerintah Indonesia banyak dipuji atas prestasinya ini. Sayangnya, setelah Myanmar menjadi terbuka dan investasi asing terus meningkat, Indonesia justru hampir tidak kebagian apa-apa. Menurut Myanmar Investment Commission, Indonesia ada di ranking 21 dari 30 negara yang berinvestasi di Myanmar.
Dalam paper saya berbahasa Inggris (2015), saya tulis, -terjemahannya,
“Kelihatannya, politik luar negeri yang aktif terhadap Myanmar yang dilakukan SBY tidak diikuti oleh presiden Indonesia yang baru, Joko “Jokowi” Widodo. …Faktanya, Jokowi telah mendelegasikan tugas diplomasi kepada Menlu-nya. Segera setelah pengungsi masuk ke perairan Aceh, Menlu Marsudi menemui sejawatnya dari Malaysia dan Thailand di Putrajaya, Malaysia. Pada 20 Mei 2015, Indonesia dan Malaysia menyediakan diri untuk menampung para manusia perahu dari Myanmar dan Bangladesh, sementara Thailand menolak menolong. Marsudi juga berhasil mendapatkan janji bantuan dari negara Timur Tengah, termasuk Qatar, yang menjanjikan 50 juta USD [untuk mengurusi para pengungsi ini].”
Beberapa waktu yang lalu, Menlu Retno mengundang wakil dari beberapa ormas, jurnalis, dan akademisi untuk acara makan pagi bersama. Saya juga hadir. Saat itu beliau menjelaskan berbagai kebijakan luar negeri Indonesia. Antara lain yang penting saya sampaikan di sini: pemerintah Indonesia dalam dealing dengan Myanmar memang sangat menghindari megaphone diplomacy (diplomasi yang ‘berisik’).
Jadi, upaya-upaya yang dilakukan Indonesia lebih banyak ‘diam-diam’ dengan tujuan agar pemerintah Myanmar tetap mau membuka komunikasi dengan kita. Di antara tujuan diplomasi yang ingin dicapai Indonesia adalah melunakkan hati para elit Myanmar agar maumemberikan jaminan HAM bagi semua masyarakat di Rakhine State, termasuk minoritas Muslim (Rohingya) serta memperluas akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan.
Sungguh ironis, ketika warga di Indonesia banyak yang marah-marah pada pemerintahnya sendiri dalam kasus manusia perahu Rohingya tahun 2015, pemerintah Myanmar malah cuci tangan dan mengatakan, “Sudah sangat jelas bahwa Myanmar bukan sumber dari problem terkait manusia perahu di Laut Andaman.” (kata Zaw Htay, jubir President Thein Sein). Myanmar awalnya menolak hadir dalam pertemuan dengan Indonesia, Malaysia, Thailand. Tapi akhirnya mau, asal negara-negara lain menggunakan istilah “illegal migrant”, bukan “Rohingya.” Bayangkan betapa songongnya mereka.
Sikap songong juga ditunjukkan pemerintah Australia. Saat ditanya wartawan tentang nasib pengungsi Rohingya tahun 2015, PM Australia, Tony Abbot menjawab enteng, “Nope, nope, nope.” (tidak, tidak, tidak). Artinya, dia tidak peduli dengan para pengungsi ini.
Abbot memang ahli dalam urusan melempar tanggung jawab soal pengungsi kepada Indonesia. Beberapa waktu lalu, dia membeli lifeboat berwarna oranye dari Singapura. Lalu, ketika ada kapal berisi pencari suaka yang masuk ke perairan Australia, aparat menangkap penumpangnya, lalu memaksa mereka masuk ke lifeboat itu dan digiring masuk ke perairan Indonesia. Setelah terdampar di Indonesia, otomatis tanggung jawabnya jatuh ke tangan Indonesia.
Padahal Indonesia tidak menandatangani Konvensi PBB tentang pengungsi; Australia menandatanganinya. Tapi Indonesia sudah menjalankan kewajiban kemanusiaannya dengan menampung lebih dari 11 ribu pengungsi dari 41 negara; termasuk yang ‘dibuang’ oleh Australia. Padahal Indonesia bukan tujuan para pengungsi. Orang Rohingya pun saat diwawancarai juga pinginnya mengungsi ke negeri makmur, bukan ke Indonesia.
Tahun 2012, JK datang langsung ke Myanmar membawa bantuan; Menlu Marty juga ke Myanmar tahun 2014 menyampaikan komitmen bantuan 1 Juta Dollar dan bertemu langsung dengan warga etnis Rohingya. Pada Desember 2014, Wamenlu AM Fachir meresmikan 4 sekolah bantuan Indonesia di 3 desa di Rakhine (daerah konflik) dengan menggunakan dana 1 juta dollar itu. Civil society pun tak kalah sigap, misalnya MER-C yang sudah dua kali mengirim misi bantuan medis ke Rakhine dan saat ini sedang membuat rumah sakit di sana.
Menlu Retno bahkan sudah blusukan ke berbagai kamp pengungsi Rohingya, termasuk yang di Bangladesh. Pada 29 Desember 2016, Indonesia mengirim 10 kontainer bantuan untuk Rohingya. Bantuan itu dilepas langsung oleh Presiden Jokowi di pelabuhan Tanjung Priok, tentu gak pake nangis-nangisan kayak istri Erdogan. #eh
Kesimpulannya, Indonesia sebenarnya sudah berbuat sangat banyak dan melampaui kewajibannya (istilahnya: sudah ‘extramile’) untuk Rohingya selama ini (mengevaluasinya tidak bisa sebatas 3 tahun terakhir saja).
Karena itu, berhentilah menyebar foto hoax untuk menghina pemerintah kita sendiri. Seperti kasus foto kapal perang bertuliskan “Amanat Presiden Turki Erdogan kepada Pemerintah Indonesia dan Malaysia: Jangan halang armada kapal perang kami memasuki perairan Indonesia dan Malaysia!” Padahal itu foto kapal milik Indonesia (KRI Sultan Iskandar Muda 367). Memalukan.
Mari bantu orang Rohingya dengan ‘pride’ (kebanggaan) sebagai bangsa. Kita ini bahkan jauh lebih beradab dari Australia yang makmur itu. Juga ingatlah, masih ada 90.000 pengungsi domestik (mereka yang terusir dari kampung halaman karena berbagai konflik SARA) yang jauh lebih penting dibantu agar bisa kembali ke kampung halaman. Jangan selalu sibuk mengurus tetangga sementara saudara sendiri diabaikan.
@dina y sulaeman
No comments:
Post a Comment