DUNIA HAWA - Sehabis mendengarkan vonis hakim atas Ahok di pengadilan tinggi Jakarta, saya berjalan pulang.
Saya mampir di sebuah rumah makan dan duduk disana. Tidak lama kemudian, gerombolan pemuda datang dan memenuhi halaman rumah makan.
Mereka berhenti disana menunggu kelompok pro Ahok lewat. Anak-anak muda usia belasan tahun berbaju dan celana putih. Beberapa diantaranya siap dengan kayu dan tiang bendera yang digenggam erat seakan ingin dihantamkan.
Dari baju mereka ada lambang hijau bertuliskan FPI. Sebagian diantara mereka menutup mukanya dengan kain putih sehingga hanya tampak matanya.
Mereka bersiap layaknya pemuda Palestina di jalur Gaza yang sedang berjuang. Teriakan-teriakan provokatif membahana diselingi tangan terkepal di udara, "Takbir.. AllahuAkbar !!" Begitu ucapan keras mereka berkali-kali.
Entah kenapa saya melihat model bonek - penggemar sepakbola Surabaya - disana. Siap perang, siap menumpahkan amarah kepada pendukung lawannya. Identitas mereka hanya baju yang mereka pakai berbeda dengan baju lawannya.
Mereka belum tentu mengenal siapa yang disampingnya. Pokoknya, hari itu yang memakai baju seperti mereka, berteriak seperti mereka adalah saudara.
Dulu saya bertanya kepada seorang teman psikolog, "Kenapa mereka bisa begitu beringas ketika berada dalam kelompok besar ?"
Temanku menjawab, "Karena dalam kelompok itu, dalam seragam itu, mereka menemukan eksistensi diri mereka.
Banyak penelitian mengatakan, bahwa seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari kalah oleh kehidupan, mencari jati diri mereka dalam kelompok besar.
Mereka jika sendiri dalam kehidupan biasa tidak dianggap sebagai siapa-siapa. Tetapi ketika berada dalam kelompok dan seragam yang sama, mereka mempunyai nama.
Dan ketika berada dalam kelompok itulah mereka ingin menunjukkan jati diri mereka. Mereka harus menunjukkan kepada kawanan kelompoknya bahwa mereka berarti. Karena itu - ditambah rasa aman karena merasa dilindungi oleh kelompok yang sama - mereka cenderung beringas.
Tetapi ketika sampai di rumah, mereka kembali bukan siapa-siapa ,yang cemburu dengan kehidupan orang lain yang lebih bagus dari mereka. Mereka kembali menjadi manusia tanpa nama.
Dan mereka kembali akan bergabung dalam kelompok untuk mencari siapa diri mereka. Seperti candu, saat mereka berilusi menjadi seorang yang berjuang dalam peperangan dan mendapat penghargaan.
Itulah kebahagiaan termahal yang mereka punyai dalam waktu yang singkat saja. Seperti mimpi dan tidak mau bangun tidur karena terlalu indah..."
Aku mengangguk menyetujuinya. Tersisih karena tidak mempunyai nilai lebih dalam kehidupan sehari-hari memang menyakitkan. Mereka terus cemburu dan menanjak menjadi iri melihat kekalahan diri mereka dibandingkan yang lainnya.
Kecemburuan itu harus berwujud sesuatu sebagai identifikasi. Karena itulah mereka mewujudkan bentuk itu dalam konsep kafir, cina, kristen dan sebagainya.
Dan kecemburuan itu secara otomatis juga akan menaikkan emosi yang lain yaitu kebanggaan. Mereka mewujudkannya dalam bentuk "bahwa dia pribumi yang harusnya mendapat pengakuan lebih", golongan mayoritas, pasti akan menjadi penghuni surga dan lain sebagainya.
Padahal emosi itu abstrak, hanya permainan dalam pikiran mereka saja.
Sehari-hari mereka harus minum kopi pahit, karena tidak mampu membeli gula untuk memaniskannya. Ia hanya mampu mencicipi rasa manis untuk menyeimbangkan diri dari kepahitan hidupnya dengan berkelompok bersama orang-orang yang sama.
Meski hanya sementara, cukuplah. Dan itu menjadi candu yang harus diulangi dan diulangi lagi.
Dan perasaan ini bukan hanya berlaku bagi orang yang miskin secara materi atau harta. Tetapi juga berlaku bagi seorang Profesor yang tidak diakui oleh kelompok Profesor yang selevel dirinya.
Profesor yang mempunyai nilai lebih berusaha terus mencari nilai dirinya dengan karya, sedangkan biasanya Profesor yang kalah hanya bisa mencari pengakuan dari orang yang gelarnya di bawahnya dan kagum terhadap gelar yang ia sandang sekarang.
Begitu juga ulama. Ada ulama yang memang diakui secara keilmuan dan dihormati di kalangan berilmu lainnya. Ada juga ulama yang secara kemampuan ilmu kurang, sehingga untuk menaikkan harga dirinya dia menjual kemampuan ilmunya yang standar dan menjualnya dalam bentuk dagang ayat.
Sama, hakim juga begitu. Harus pandai menjilat dan berani berbuat salah untuk mendapat promosi. Kalau ngga, ya begitu-begitu aja hidupnya. Lah kok jadi ke hakim ya ? Seruput dulu ah, sebelum dituduh menista..
No comments:
Post a Comment