DUNIA HAWA - Hari ini adalah hari yang tersedih yang ku rasakan dalam hal berbangsa, setelah didahului oleh dua peristiwa yang juga menyakitkan. Saat penetapan Ahok sebagai tersangka penistaan agama yang kabarnya untuk meredam para demonstran.
Kedua adalah kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI karena pihak lawan memakai cara-cara tidak kesatria dengan memainkan isu-isu agama. Menjual tiket ke surga dan menakut-nakuti mayat pun mereka lakukan. Mimbar Jumat pun dipakai mengulang-ulang ancaman tersebut. Tidak perlu ikut jumatan untuk mendengar khotbah semacam itu. Pengeras suara berbaik hati membagikannya.
Pertarungan yang tidak imbang yang akhirnya mengalahkan Ahok dengan telak. Para pendukung Ahok dapat menerimanya dengan lapang dada. Tidak ada demo dan tidak ada caci maki, hanya ungkapan terima kasih kepada Ahok yang telah memberi begitu banyak untuk Jakarta.
Karangan bunga papan pun tak henti datang menutupi setiap sudut Balai kota hingga Monas sejak kekalahan Ahok-Djarot. Tercatat karangan bunga itu mencapai 9000an buah. Kiriman tidak hanya datang dari warga Jakarta, tapi juga dari daerah-daerah yang jauh dari Ibu Kota, bahkan dari luar negeri.
Menunjukkan bahwa pendukung Ahok tidak hanya berasal dari DKI Jakarta. Belum pernah ada tokoh politik yang demikian dicintai, tidak hanya oleh rakyatnya saja, tapi juga orang-orang bertempat tinggal jauh yang hanya tahu cerita tentang Ahok dari media.
Dalam aksi simpatik dengan bunga ini pun masih mendapat sindiran. Tak kurang politikus yang sejak dulu berseberangan dengan Ahok pun mengeluarkan cibirannya. Fitnah tak pernah sepi menerpa Ahok dan pendukungnya. Karangan bunga pun dibakar. Mengapa bunga pun dibenci? Aku tak paham.
Dan hari ini adalah kekalahan terbesar. Hakim memutuskan Ahok bersalah dengan vonis hukuman 2 tahun penjara. Awalnya aku tidak percaya. Tapi akhirnya marah. Ya, marah dalam tangis seperti semua pendukung Ahok yang ada di seluruh Indonesia bahkan di manca negara. 9 Mei 2017 Hari berkabung Ahokers.
Tak kurang LBH Jakarta mengatakan vonis Ahok adalah tragedi bagi hukum di Indonesia, setelah sebelumnya lembaga ini juga mengatakan bahwa Ahok tidak menistakan agama. Banyak pakar hukum yang mengatakan bahwa vonis ini akan menjadi preseden buruk bagi peradilan Indonesia. Ke depannya, orang akan dengan mudahnya dinyatakan sebagai penista agama. Mengerikan.
Hari ini banyak yang menangis atas putusan tersebut, terlebih melihat Ahok dengan kepala tegak memasuki Rumah Tahanan Cipinang. Hingga saat aku menuliskan ini, para pendukung Ahok masih bertahan di depan Rutan Cipinang.
Aku tahu Ahok itu orang yang kuat. Dia tidak akan jatuh hanya karena hukuman 2 tahun. Dia masih tersenyum melayani orang-orang di Rutan yang memintanya berfoto bersama. Aku jadi teringat ayat emas yang selalu diperkatakan Ahok; “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.”
Ayat itu diambil dari Surat Rasul Paulus - yang selama pelayanannya lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam penjara – kepada jemaat di Filipi. Ahok sering megatakan bahwa bila dia meninggal kelak, dia meminta keluarga menuliskan ayat tersebut di batu nisannya.
Aku juga yakin, Ahok juga pasti sudah pernah memikirkan kemungkinan kalau dia akan dijatuhi hukuman penjara. Dan aku percaya dia sudah mempersiapkan mentalnya untuk menjalani semuanya. Walau aku tahu Ahok itu kuat, siap menjalani dengan iklas, tapi kenapa aku masih terus menangis?
Jutaan pendukung Ahok merasakan apa yang kurasakan: KEKECEWAAN.
Air mata mengalir di pipi kami sesungguhnya bukan untuk Ahok semata, tapi atas matinya harapan kaum minoritas untuk dapat berdiri sejajar di negeri ini. Air mata kami tercurah untuk hukum yang tajam kepada minoritas dan tumpul kepada mayoritas. Kami laksana berada dalam terowongan gelap dan cahaya di ujung sana mulai redup.
Kami kaum minoritas tidak berani bermimpi lagi untuk berkarir politik di negeri ini. Segala cara dapat dipakai untuk menghancurkan karir dan hidup kami. Kepala sekolah Negeri yang beragama Kristen ditolak para guru dan murid. Ketua OSIS ditolak karena beragama Kristen. Camat ditolak “warga” karena beragama Kristen.
Pembangunan rumah ibadah minoritas dipersulit dengan banyak cara, bahkan yang sudah punya izin sekalipun. Patung Buddha di rumah ibadah Klenteng pun bisa membuat massa marah. Dan sekarang, pengadilan sebagai gerbang terakhir harapan kami sudah tidak bisa lagi diharapkan.
Aku memiliki beberapa group WA, salah satunya adalah group teman-teman Kristen alumni Universitas Mulawarman. Mereka sangat positif memberi dukungan bahwa Tuhan pasti punya rencana yang lebih baik, dan semua akan indah pada waktunya. Demikian juga netizen-netizen Kristen diTwitter pun tak kurang memberi semangat bahwa ini bukan akhir segalanya.
Tapi yang menangis untuk keadaan ini bukan hanya non muslim, teman-teman muslim pun sangat banyak yang berduka. Teman-teman seperjuangan untuk mempertahankan kebinekaan dan kesetaraan di negeri ini.
Sejak dari awal penetapan tersangka, Ahok adalah tokoh yang dikorbankan. Terdengar kejam memang. Tapi demikianlah adanya. Mandela yang besar itu pernah di penjara. Soekarno juga. Bahkan tokoh-tokoh besar dalam Alkitab pun pernah melewati jalan yang sama. Ahok pasti mampu melewatinya.
Seberapa unggul pun benih itu, dia harus ditanam dan membusuk di dalam tanah terlebih dahulu. Kemudian dari padanya akan muncul tunas muda segar, tumbuh makin besar dan bercabang banyak. Menjadi tempat bersarang aneka burung dan tempat berteduh aneka satwa.
Pak Ahok, engkaulah benih itu. Satu Ahok ditumbalkan, seribu Ahok akan lahir. Ahok-ahok junior akan muncul seperti cendawan di musim hujan. Membawa semangat anti korupsi, berani karena bersih dan ringan tangan untuk menolong sesama.
Aku percaya Pak Ahok pun akan membawa perubahan di dalam rumah tahanan. Ahok-ahok muda akan lahir dari sana. Tetaplah tersenyum, Pak Ahok. Hanya itu yang kami butuhkan saat ini untuk menghapus lara kami. Tuhan besertamu.
No comments:
Post a Comment