DUNIA HAWA - Pilkada DKI sudah usai. Pemenangnya Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Duet yang semula tidak diperhitungkan. Namun setelah melihat dan mengalami sendiri tahap-tahapan Pilkada DKI 2017 ini, bahkan semenjak Ahok menjabat gubernur DKI, kemudian merebaknya dugaan penistaan agama, kita pun memaklumi, kenapa Ahok – Djarot tersingkir. Ada banyak faktor yang membuat warga DKI harus “salah” memilih gubernur.
Tapi di lain sisi, fenomena pasca-pilkada terheboh ini memperlihatkan siapa pemenang yang sebenarnya. Membanjirnya karangan bunga di sekitar Balai Kota, memberikan bukti bahwa pasangan Ahok – Djarot adalah pemenang sejati. Mereka boleh saja kalah di tengah serbuan intrik kotor dan intimidasi dari seberang, namun nama dan sosok mereka tetap abadi di hati rakyat. Dan bahasa bunga adalah bahasa universal yang dengan gamblang mengungkapkan hal tersebut.
Selama beberapa waktu berduet membenahi DKI Jakarta, Ahok – Djarot kompak dan saling mengisi. Ini bisa terjadi karena mereka berdua punya hati dan tekad yang sama: mengabdi untuk kemajuan Jakarta dan warganya, bukan mengusung kepentingan lain.
Lalu bagaimana sosok Anies – Sandi? Tentu menarik untuk menduga-duga masa depan duet pasangan ini dalam mengelola ibu kota yang serba gemerlap, termasuk gemerlapnya uang yang beredar di sini.
Semua orang tahu, Sandi sangat berjasa besar dalam meloloskan mereka meraih kekuasaan di DKI. Dia menghabiskan uang pribadi sekitar Rp 70 miliar untuk dana kampanye, tehitung dari putaran pertama hingga putaran kedua. Bagi seorang pengusaha yang “superkaya” seperti Sandi, uang sebesar itu tentu tidak terlalu berarti. Kita yakin, dalam waktu dekat uang itu akan kembali, sebab perusahaan-perusahaannya setiap saat menelurkan uang dalam jumlah besar, yang dalam semalam bisa menghasilkan uang miliaran rupiah!
Sebagai pihak yang merasa memiliki “saham” paling besar dalam pilkada, apakah Sandi mau manut kepada Anies? Tidak masalah, apabila Sandi memang niatnya 100% mau mengabdi untuk membangun dan memajukan DKI dan warganya. Namun apabila ada udang di balik batako, ceritanya akan lain. Bayangkan apabila gubernur dan wakilnya tidak sepaham, karena sang wakil tidak mau tunduk, dan gemar memaksakan kehendaknya. Maka yang terjadi adalah persaingan, bukan bersinergi.
Kita semua tahu, Sandi punya misi khusus, yakni “membalaskan dendam Prabowo” kepada Ahok yang dianggap berkhianat terhadap Gerindra dan secara khusus Prabowo yang mengusung Ahok mendampingi Jokowi dalam Pilgub DKI, pada tahun 2012 silam. Dan misi itu telah terlaksana, setelah Ahok kalah dalam pilkada.
Namun jangan lupa, ada misi lain Sandiaga yang lebih penting dan sulit, yakni mengawal langkah Prabowo untuk memenangkan Pemilihan Presiden 2019 nanti. Situasi menjadi kurang kondusif bagi kubu Prabowo, sebab Anies pun diperkirakan akan mencalonkan diri menjadi RI 1. Selain punya ambisi, untuk menjadi presiden, Anies tentu punya motivasi lain, yakni membalas dendam terhadap Jokowi yang memecatnya sebagai menteri pendidikan. Anies pasti semakin mantap dan percaya diri, sebab di belakangnya berdiri tokoh-tokoh yang bercita-cita menegakkan hukum agama di negeri ini. Mereka pasti tidak mau apabila Prabowo, yang notabene seorang militer dan nasionalis, tampil menjadi presiden.
Gelagat ke arah itu sudah mulai kelihatan ketika sebuah stasiun televisi ingin menyelenggarakan acara debat antara paslon 2 dan paslon 3. Dalam acara debat yang sedianya dipandu oleh Rosiana Silalahi itu, pasangan Anies – Sandiaga tidak muncul-muncul di panggung. Alhasil Anies Sandi pun jadi bahan olok-olok karena dinilai “takut” terhadap Ahok – Djarot. Terlebih dalam beberapa debat sebelumnya, pasangan Ahok – Djarot sebagai petahana terlihat lebih menguasai materi debat. Namun belakangan tersebar isu, bahwa tidak hadirnya Anies Sandi di acara debat yang diprakarsai Kompas TV itu, bukan lantara takut, namun dilarang oleh kubu agama, salah satu pengusungnya.
Hal ini terang membuat Prabowo murka, yang disebut-sebut sebagai pihak yang sangat mendukung diadakannya acara debat tersebut. Nah, dari sini sudah mulai ada gambaran, pihak mana yang lebih berkuasa atas diri Anies? Kasihan juga Prabowo apabila ternyata Anies lebih loyal kepada tokoh-tokoh agama yang mengusungnya tersebut. Sebab bukankah Prabowo yang membawa Anies maju sebagai cagub DKI? Sementara para tokoh agama, semacam Habib Rizieq dkk., baru merapat belakangan setelah jagoan mereka Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni, tumbang dalam putaran pertama.
Nah, apabila sinyalemen ini benar, di mana Anies lebih tunduk kepada para tokoh agama itu, bisa jadi nanti Prabowo akan kembali mengalami pengkhianatan jilid 2. Semua pihak pasti maklum, ada tugas khusus yang dibebankan oleh Prabowo pada Anies sebagai syarat dia diangkat menjadi cagub beberapa waktu lalu. Dan tugas itu pasti tidak jauh-jauhlah dari urusan pilpres. Sebagai penguasa DKI Jakarta, harus mendukung dan melicinkan jalan bagi Prabowo untuk menang Pilpres 2019.
Sekarang, tak ada lagi yang bisa menghalangi Anies menjadi gubernur DKI. Bercermin pada Jokowi, jabatan gubernur DKI ternyata bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi RI 1. Nah, Anies yang ambisius pasti tidak akan menyia-nyiakan momen ini. Kalau bisa maju pada tahun 2019, kenapa harus menunggu lima tahun lagi? Lagi pula, belum tentu Anies masih gubernur DKI pada saat Pilpres 2024 bukan? Ditambah dorongan para tokoh agama tadi, maka semakin bulatlah tekad Anies maju Pilpres 2019. Dengan kata lain, Prabowo kembali dikhianati, bahkan kini jauh lebih menyakitkan, apabila dia pun tidak terpilih, karena sudah terlalu tua untuk menjadi presiden.
No comments:
Post a Comment