DUNIA HAWA Wahai bapak berjubah putih yang sedang sembunyi, kabarnya dirimu meminta perlindungan PBB atas kasus chat mesum asoy geboy yang menimpamu, ya? Wah… Saya hampir tak mampu berkata-kata saat mengetahui kabar ini. Benarkah demikian? Jika iya, berarti Bapak pasti merasa diri sedemikian menderitanya, yah. Bapak pasti merasa terzolimi dengan amat sangat dan tidak percaya lagi dengan hukum di negara ini. Sampai-sampai Bapak harus meminta sebuah lembaga internasional untuk campur tangan agar Bapak terbebas dari kasus murahan sarat syahwat itu.
Kabarnya Bapak sekarang sudah di Jenewa, ya? Sebuah portal berita online besar dalam negeri sih bilangnya seperti itu. Bapak diundang ke markas PBB untuk mempresentasikan apa yang sedang menimpa Bapak. Bahkan, ada pengacara internasional yang menawarkan jasanya untuk membela Bapak. Jika benar demikian, saya angkat topi, Pak. Lembaga internasional itu sungguh-sungguh memperhatikan Bapak. Itu semua apalagi kalau bukan lantaran Bapak orang yang sangat hebat. Hanya orang hebat yang bisa pimpin aksi ratusan ribu pendemo untuk menuntut penjara bagi seorang yang katanya menodai agama. Iya, kan Pak?
Bapak berjubah putih yang keren, sampai di sini saya kok jadi bingung, yah… Kenapa harus jauh-jauh ke Jenewa sih, Pak? Kan negara ini masih punya hukum untuk urusan Bapak ini. Buktinya waktu kemarin Bapak dan teman-teman Bapak menuntut Ahok dibui, melalui Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, hukum negara ini menjatuhkan vonis dua tahun terhadapnya. Dua tahun penjara lho, Pak. Bukan dua tahun plesiran ke luar negeri. Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan Jaksa yang menginginkan agar Ahok dihukum penjara setahun dengan masa percobaan dua tahun. Yang saya saksikan di layar televisi, segenap pendukung Bapak merasa sungguh bersukacita atas vonis terhadap Ahok itu. Salah satu orang dari massa Bapak yang berkumpul di luar ruangan sidang menyebutkan bahwa di negara ini hukum masih menggenggam erat supremasinya.
Kalau mengikuti logika bahwa hukum di negara ini benar-benar tegak sebagaimana yang tercermin dari putusan terhadap Ahok, seharusnya Bapak juga turut percaya jika kasus Bapak (yang konyolnya ga ketulungan) itu dapat diselesaikan dengan sebagaimana mestinya oleh hukum negara ini. Jangan ujug-ujug minta bantuan PBB, Pak. Memangnya Bapak itu siapa? Oh, saya lupa kalau Bapak itu orang hebat. Maafkan saya. Selain itu, sejauh pengetahuan saya yang dangkal ini, PBB belum pernah mengurusi kasus seputaran lendir. Atau mungkin Bapak memiliki informasi lain?
Meski Bapak tidak menyukai Ahok, ada baiknya Bapak belajar darinya. Si Ahok yang katanya menista agama itu menunjukkan bahwa dirinya patuh hukum. Puluhan kali sidang digelar, puluhan kali pula ia hadir. Mana pernah ada berita kalau sidang ditunda lantaran Ahok sakit atau sedang sibuk kampanye. Padahal siapa yang tahu kalau Ahok kelelahan baik raga maupun jiwanya. Bapak tahu sendiri kan, ia tetap bekerja seperti biasa saat sidang yang berseri itu digelar. Saban pagi warga juga tetap bisa menemuinya di beranda Balai Kota.
Saat sidang menjatuhkan vonis dua tahun kepadanya, Ahok tetap menunjukkan kalau ia masih percaya dengan hukum negara ini dengan mengajukan banding. Ia ikuti proses hukum dengan patuh. Sementara Bapak? Jangankan sidang, tahap pemeriksaan di Kepolisian saja Bapak absen. Tahu-tahu Bapak sudah di luar negeri. Bisa dimaklumi kalau Bapak sedang menjalankan Umroh. Tapi sudah sampai di Malaysia, Bapak putar haluan lagi ke Arab Saudi. Kabar terakhir, Bapak sudah menjelajah separuh dunia hingga ke Swiss. Kenapa? Bapak takut ? Apakah Bapak gentar duduk berhadapan dengan si janda bahenol? Masa Bapak yang begitu garang saat berorasi itu tiba-tiba saja menciut nyalinya lalu tunggang langgang bagai kelinci hutan menghindari pemburu? Atau mungkin Bapak tunggu dijemput paksa? Saya jadi makin bingung sekarang. Yang memiliki sifat kesatria itu Bapak atau si Ahok, ya?
Ayolah, Pak. Pulanglah ke tanah air. Masa Bapak tega meninggalkan pesta sebelum usai. Euforia kemenangan yang telah Bapak raih itu masih jauh dari pudar, Pak. Harusnya Bapak sedang happy-happy dengan teman-teman dan segenap pendukung Bapak lantaran Ahok sudah masuk bui. Si Ahok itu benar-benar ditahan lho, Pak. Kalau tidak percaya, periksa saja di Mako Brimob. Bapak bisa lihat sendiri kalau Ahok tidak diperlakukan berbeda. Sel yang ia tempati itu tidak ada istimewanya sama sekali. Jangankan televisi untuk ditonton, alat komunikasi saja dia tidak punya.
Ayo, Pak. Mari pulang. Kalau seperti ini kesannya Bapak sedang sembunyi, lho. Kabur menyelamatkan diri karena terkuak screen capture dugaan percakapan Bapak dengan janda bahenol itu. Lihat saja media sosial, para netizen ramai-ramai mencap Bapak dengan sebutan pecundang. Bapak awalnya dianggap singa, namun tidak lebih baik dari tikus got. Berani kalau keroyokan saja, sementara bila sendiri lutut jadi bergetar tak karuan. Tunjukkan kalau Bapak itu seorang gentleman. Jika memang Bapak memang tidak pernah merasa dikirimi gambar-gambar tubuh bohai tanpa benang barang sehelaipun, buktikan di depan hukum negara ini. Bukankah Bapak juga punya barisan pengacara di sini? Jangan-jangan Bapak merasa pengacara Bapak itu tidak mampu beracara membela Bapak sampai-sampai Bapak harus memakai jasa pengacara internasional.
Atau jangan-jangan screen capture itu benar, ya? Jangan-jangan percakapan sarat syahwat itu benar diketikkan oleh jemari Bapak sendiri dan foto-foto yang mengundang birahi itu juga? Ah, saya tak mau berandai-andai. Takut kualat pada orang yang lebih tua.
Ayo Bapak, pulanglah. Kembalilah ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kami menunggu kedatangan Bapak dengan debar di dada. Sebab selain kasus mesum itu, sederetan kasus lain sudah sedang menanti untuk Bapak selesaikan. Saran saya, janganlah deretan kasus itu sampai membuat Bapak tertekan. Jika sampai semuanya itu membuat Bapak susah makan, maka benarlah sepotong ucapan dalam rekaman telepon dalam kasus Bapak itu: “Stress dia, Kak Emma..”
Sudah ya, Pak. Sudah lelah saya menulis. Salam hormat dari saya, dalam kapasitas bahwa umur Bapak lebih tua dari saya. Tidak lebih.
No comments:
Post a Comment