Perlawanan Silent Majority Terhadap Sentimen Primordial
DUNIA HAWA - Masih ingat dengan puisi Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul, puisi yang mengobarkan semangat perlawanan dan membuat bergidik bulu kuduk penguasa? Tergambar secara jelas bahwa Wiji Thukul menggunakan bunga sebagai simbol perlawanan yang elegan terhadap rezim Orba.
Jika dibawa ke konteks sekarang, rasanya bait terakhir dari puisi itu menggambarkan situasi terkini di Ibu Kota. Yakni hadirnya ribuan karangan bunga bertebaran di Balai Kota Jakarta hingga meluber ke luar dan direncanakan akan diletakkan di sekeliling Monumen Nasional.
Sebuah fenomena yang menimbulkan keheranan di mata media asing seperti ABC News yang melontarkan pertanyaan, "Apakah politisi Australia bisa mengalami hal seperti ini? Politisi Indonesia saja tidak (kecuali Basuki-Djarot)". Karangan bunga yang datang dari berbagai kalangan ini menjadi bahasa universal untuk melawan segala macam bentuk kebencian, kedengkian, amarah, permusuhan yang telah ditimbulkan akibat Pilkada DKI Jakarta.
Namun, sangat disayangkan aksi seperti ini dicap sebagai "pencitraan murahan", sebuah ucapan yang keluar dari seorang politisi bermulut hina yang berada pada puncak pimpinan parlemen.
Peranan bunga sebagai peredam konflik ataupun simbol perlawanan memiliki beberapa bukti sejarah, salah satunya terlihat dari Revolusi Bunga yang terjadi di Portugal tahun 1974. Revolusi ini menjadi aksi "kudeta tak berdarah" rezim pemerintahan diktator yang telah berkuasa selama 50 tahun lebih. Pada waktu itu bunga anyelir (carnation) begitu melimpah di pasar bunga kota Lisbon.
Bunga-bunga itu diberikan oleh warga sipil kepada pasukan militer dengan menyelipkannya di setiap selaras senapan. Rezim yang bersangkutan pun menjadi tersadar bahwa revolusi bunga tidak bisa dihindari lagi sehingga kekuasaan pun dialihkan secara damai tanpa konflik berdarah.
Di sisi lain lahirnya gerakan The Hippies di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an juga melakukan "perlawanan" dengan menggunakan bunga. Istilah "Fight with Flower" menggema pada waktu itu, dikarenaka bunga melambangkan rasa kasih, lembut serta simbol anti-kekerasan. Walhasil, gerakan mereka menjadi budaya alternatif tersendiri di Amerika.
Ribuan karangan bunga yang berjejer baik di dalam Balai Kota hingga Monas merupakan "ucapan" terima kasih yang tulus atas peranan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Saiful Djarot yang telah membawa perubahan nyata di Ibu Kota meskipun kalah dukungan pada putaran ke-2.
Sebuah aksi yang juga mencerminkan ironi ketika yang kalah mendapat begitu banyak "ucapan" rasa suka cita sekaligus rasa sedih karena masih belum siap kehilangan pasangan petahana yang mampu bekerja nyata merubah Jakarta menjadi kota yang lebih baik.
Karangan bunga yang ada juga menjadi suara silent majority yang selama ini muak dan jijik dengan berbagai aksi kebencian dan permusuhan yang diakibatkan "permainan" simbol-simbol keagamaan.
Mulai dari minuman Equil yang dinyatakan kafir karena diminum Basuki, Hotel Alex*s yang dianggap berornamen PKI, uang baru yang dianggap bermuatan palu arit, Sari Roti yang tidak mendukung aksi berjilid-jilid, Jenazah yang terancam tidak disalatkan jika memilih pasangan petahana, labelisasi pendukung petahana dengan cap kafir, munafik, komunis, antek asing, antek PKI membuat pilkada DKI menjadi sangat kotor.
Terlebih lagi ketika beberapa masjid diselipkan dengan pesan-pesan bermuatan politis yang menyudutkan pasangan petahana dan menguntungkan pasangan lain.
Kehadiran silent majority beserta tindak tanduknya memang tidak bisa diperkirakan secara jelas. Kehadiran mereka diibaratkan layaknya hantu yang secara tiba-tiba muncul dengan aksi yang mengejutkan. Meskipun di satu sisi, masyarakat ibu kota maupun di luar yang mencintai kinerja petahana dicap "gagal move on" tidak bisa terbantahkan dikarenakan mereka sadar betul Jakarta mulai bangun.
Birokrasi yang ruwet layaknya benang kusut diurai sedemikian rupa lewat birokrasi satu pintu. Anggaran yang kerapkali dikorup oleh tikus-tikus kerah putih, disegel dengan e-budgeting yang terintegrasi dengan pengawasan KPK dan BPK. Transportasi yang kacau balau diperbaiki dengan meningkatkan jumlah armada dan koridor Transjakarta, pembangunan MRT dan LRT.
Keluarga dan anak-anak yang tidak mampu memperoleh fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik diberikan Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat. Minimnya ruang terbuka bagi publik ditambah dengan keberadaan berbagai RPTRA yang dipoles serta dilengkapi fasilitas lengkap mulai fasilitas bermain bagi anak, tempat ibadah, hingga ruang bacaan. Cukup banyak sebenarnya program-program petahana yang bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat Jakarta.
Riset yang dikeluarkan oleh Harian Kompaspaska pilkada menunjukkan sebuah hasil yang mencengangkan, mayoritas peserta pilkada memilih dikarenakan alasan kesamaan identitas sosial dalam hal ini keagamaan. Temuan itu terkesan kontras dikarenakan selama ini Jakarta lebih dikenal dengan masyarakatnya yang memiliki rasionalitas cukup tinggi dalam persoalan politik, khususnya menyangkut pemilihan umum.
Di sisi lain heterogenitas dan penghargaan atas keberagaman merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat DKI sebagai miniatur Indonesia itu.
Di sisi lain faktor ujaran kebencian begitu marak tersebar di linimasa, terutama dari mereka yang tidak suka dengan petahana yang menjadi "penista agama". Validitas tersebut terbukti melalui riset Wahid Foundation yang menyebutkan 60 persen membenci kelompok tertentu bergaris latar keturunan Tionghoa, non-Muslim, komunis dan lain-lain. Lebih dari 80 persen juga tidak suka bertetangga dengan kelompok yang dibenci.
Menjadi pertanyaan bersama yang patut direnungkan, mengapa warga DKI Jakarta yang hidup kosmopolit begitu mudahnya takut dan terhasut oleh isu politik sektarian semacam itu? Menyuburkan isu sektarianisme dan ekstrimisme di Jakarta kali ini sepertinya berhasil, layaknya menumpahkan bensin pada api kecil yang telah menyala.
Aksi primordialistik ini menjadi momok menakutkan yang bisa mengancam keamanan dan kebhinnekaan negeri ini. Hal itu dikarenakan kemajemukan Indonesia sebagai sebuah negeri membuat bangunan kekuasaan politis harusnya tidak dibangun pada garis primordial tunggal. Langkah menajamkan sentimen primordial via media sosial selama pilgub Jakarta terbilang ampuh.
Menurut Antropolog, Geger Riyanto, penajaman primordial membuat kelompok terpecah menjadi dua kubu, kubu pelaku akan membuat kubu lain menjadi tidak dihargai dan hidup di bawah ketakutan.
Di sisi lain pihak penebar kebencian baik yang berasal dari individu maupun kelompok seperti ormas-ormas vigilante ala FPI merupakan gerombolan yang dipenuhi rasa dengki itu ikut menajamkan aksi itu di lapangan. Seperti yang dikutip oleh James Kristiadi, pimpinan gerombolan domba itu bergerak membangun ideologi kebenaran semu yang disuarakan secara kontinu sehingga membuatnya seolah menjadi "kebenaran universal" yang diyakini bersama.
Hal itu terbukti dengan adanya ancaman dari oknum tertentu lewat berbagai medium.
"Bayangkan usai mencoblos pasangan penista agama, nyawa kamu dicabut dan masuk neraka!" begitulah sebuah ancaman konyol yang sempat muncul. Ancaman itu terkadang membuat orang merasa takut. Hal-hal seperti itu membuat gerombolan ekstrem ini bisa menghalalkan segala cara untuk menghancurkan tatanan keindonesiaan.
Terlepas dari itu semua, suara-suara ribuan karangan bunga tadi melawan berbagai teriakan "bunuh, gantung, gorok, revolusi" kelompok ekstrimis yang menyalahgunakan agama demi tujuan politis. Simbol perlawanan terhadap pihak pihak berkepentingan yang mengangkangi kemurnian pilkada DKI dan penyelesaian kasus hukum yang sedang dilakukan.
Bunga menjadi suara-suara dari mereka yang berhati lembut dan cinta damai melawan mereka-mereka yang getol menimbulkan onar bahkan mengancam merontokkan NKRI dengan memanfaatkan momentum proses hukum petahana.
Bunga juga menjadi bentuk harapan kepada pemimpin berikutnya untuk setidaknya mempertahankan atau meningkatkan kualitas ibu kota menjadi lebih baik. Mengingat sebagian masyarakat Jakarta khususnya menengah ke bawah merasa terpinggirkan oleh kebijakan petahana tanpa mengedepankan proses dialog yang demokratis.
Cita-cita pemimpin baru dalam hal ini, Anies-Sandi yang mengutamakan jalan dialog dalam penyusunan kebijakan patut diharapkan untuk terwujud selama lima tahun ke depan.
Rasanya bodoh ketika bunga-bunga yang dikirimkan atas niat tulus penuh rasa sayang harus dipandang sebagai rencana pencitraan yang penuh rekayasa. Padahal bunga-bunga yang dikirimkan menjadi pengingat bahwa ujaran kebencian bukanlah karakter bangsa Indonesia yang plural dan menjunjung tinggi kebhinnekaan.
No comments:
Post a Comment