DUNIA HAWA - Pasca debat final yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, 12 April 2017 dengan tema “Dari Masyarakat Jakarta untuk Jakarta”, saya merasa ada yang lain dari biasanya. Khususnya dari pendukung Anies-Sandi. Seharian saya mencoba mengamati branda FB beberapa teman yang pro pasangan nomor urut 3. Mereka yang biasanya aktif mengkampanyekan pasangan tersebut, tiba-tiba hilang bak ditelan bumi.
Tak terdengar riak suaranya yang biasanya bersahut-sahutan, sebagaimana setelah debat yang dilaksanakan di Metro Tv, pada program Mata Najwa, beberapa waktu silam. Di sana, di branda mereka seolah kompak menyebut jagoannya sebagai yang terbaik dan tampil memukau. Berbagai analisa pun dimunculkan, yang mengangkat dan memuji setinggi langit kandidatnya, sembari mencela dan menjatuhkan saingannya serendah-rendahnya. Intinya, mereka menyebut jagoannya men-KO lawan di kandangnya.
Walaupun saya sempat menanggapi dengan hanya tertawa kecil. Sebab, saya tidak yakin jika mereka nonton debat tersebut. Wong Metro Tv mereka boikot, kok. Lalu nontonnya di mana selain hanya berkhayal? Alhasil, analisanya pun jadi ngawur. Andai kambing pun dibedakin, bakal disebutnya berpenampilan singa.
Sama sepertiku, teman-teman saya itu sebetulnya tidak punya hak pilih. Tapi berhubung pilkada Jakarta adalah satu-satunya pilkada yang berlangsung pada tanggal 19 April 2017 mendatang, jadi wajarlah bila jadi ramai. Fokus dan tenaga mesin politik pun seolah semua tertuju ke DKI. Tapi ada hal menarik yang saya temukan hari ini. Kata-kata yang bernada negatif, seperti tidak konsisten, ngawur, ngeles, omongan tidak jelas, program yang tidak masuk akal, janji manis, dan muter-muter, tiba-tiba dilekatkan kepada Anies. Mengapa bisa begitu ya? Bisakah kita bertanya pada mobil yang bergoyang atau pada dia yang suka main belakang?
Namun demikian, terlepas dari berbagai analisa yang bermunculan, jika kita mau jujur. Sejak perhelatan debat pertama hingga berakhir semalam, pada dasarnya orang-orang akan sepakat bahwa kualitas Ahok jauh mengungguli Anies. Sepandai-pandainya Anies menata kata, tetap tak berdaya bila diperhadapkan dengan realitas kinerja Ahok dalam menata kota. Sepintar-pintarnya Anies berkelit soal reklamasi dan rumah tanpa DP, publik paham bahwa Anies hanya jago ngeles, tidak menjawab persoalan dan tidak memberikan solusi. Ini fakta dan semalam telah kita saksikan bersama dalam debat terakhir secara head to head.
Saya telah berulang kali menonton debatnya, termasuk versi youtube. Tak ada sedikit pun saya dapatkan jawaban jelas dari Anies soal DP 0 rupiah atau 0 persen itu. Sama tidak jelasnya rumah itu akan di bangun di mana? Begitu pula ketika Ahok bertanya kepadanya soal reklamasi. Saya melihat, setidaknya ada tiga point pertanyaan Ahok di sana.
Pertama, inkonsistensi Anies-Sandi soal reklamasi. Dari kumpulan pernyataan (berita) yang Ahok sebutkan sejak 13 Oktober 2016 hingga semalam, 12 April 2017, menunjukkan sikap plin-plan pasangan itu. Mulai dari menolak, lalu berubah mendukung dengan mengatakan akan mengalihkan fungsi lahan untuk kepentingan publik. Setelah itu, ia menolak lagi. Kemudian ia bilang akan ikut sesuai hasil keputusan pengadilan. Dan semalam ia menolaknya kembali. Dari sini, ada pertanyaan tersirat dari Ahok, mengapa ada sikap berubah-ubah seperti itu?
Kedua, kalau memang menolak reklamasi yang sudah terlanjur dibangun itu, lalu mau diapakan? Dibongkar atau dibiarkan? Bagaimana cara membatalkan reklamasi yang akan menyerap 1,2 juta tenaga kerja untuk warga?
Ketiga, bagaimana cara menghadapi pemerintah pusat yang sejak jaman pak Harto menerbitkan Keppres soal reklamasi yang juga diputuskan dari Bappenas?
Lantas apa jawaban Anies? Silakan pembaca saja yang mencari tahu. Saya malu menuliskannya di sini. Sebab hal itu akan mengurangi wibawanya sebagai seorang professor dan mantan rektor. Saya hanya ingin bilang, bahwa teman-teman Facebook saya, pasca debat kompak menyebut pasangan Anies-Sandi hanya omdo (omong doang). Benar-tidaknya hal itu, penontonlah yang memutuskan.
Kaitannya dengan “omdo”, saya beberapa kali mengamati karyawan atau pekerja di sebuah perusahaan. Menunjukkan bahwa mereka yang terlalu banyak bicara cenderung kerjaannya kurang bagus, malas, dan tingkat disiplin yang rendah. Sudah itu, tipe orang seperti ini paling sering protes. Namun ketika ada kesalahan yang dilakukannya, selalu saja ada alasan yang bisa diutarakannya, yang seolah-olah benar tapi pada dasarnya mengelabui atau menipu. Setidak-tidaknya menipu dirinya sendiri dengan kebohongan.
Untuk itu, hanya mengingatkan kepada teman-teman, yang terlalu membangga-banggakan Anies lantaran kemampuan bahasanya, hati-hati saja. Sebab, tidak menutup kemungkinan, kepandaian yang sama yang dimiliki Anies itu yang akan menikam kalian suatu saat. Kelak ketika Anies terpilih, misalnya, ketika ia melakukan keputusan yang salah, yang merugikan masyarakat banyak, dan itu berdampak buruk pada warga kota Jakarta, maka tentu Anies bisa dengan leluasa membela dirinya, dengan kemampuan retorika yang dimilikinya.
Pada akhirnya, pepatah yang menyebutkan, “bermanies-manies dahulu, bersandiwara kemudian” akan menjadi boomerang bagi pemilihnya.
No comments:
Post a Comment