foto : Kampanye anti-SARA di Bundaran HI, Jakarta
DUNIA HAWA - Kontestasi politik di DKI Jakarta beberapa bulan terakhir telah nyaris mencapai titik terendahnya. Manuver-manuver para aktor politik juga cenderung sangat emosional. Demikian pula ekspresi sikap politik para pendukung di arus bawah masing-masing kubu.
Baru saja kita dengar munculnya video kampanye politik dari kubu Ahok-Djarot yang kontroversial menampilkan kubu mereka sebagai manifestasi dari kebhinekaan. Sedangkan yang tak berdiri bersama mereka adalah pendukung “Islam radikal” dan oleh karenanya, anti-keberagaman.
Adukan isu keagamaan dengan ambisi politik telah melampaui batasnya, karena agama yang seharusnya menjadi motor gerakan politik etis justru ditunggangi untuk politik praktis. Kondisi semacam ini sangat memprihatinkan, mengingat permainan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan (SARA) dalam politik praktis pun tak hanya dimainkan oleh aktor politik, melainkan juga para “intelektual” di belakang para aktor ini.
Persoalan mengenai populisme tak hanya kita hadapi di Indonesia, tapi juga kegelisahan seluruh warga dunia. Saat ini kita menyaksikan kebangkitan konservatisme dan ketakutan atas yang “lain” di Amerika Serikat dan Eropa Barat, seperti Prancis, Polandia, dan Italia.
Menggunakan rasa takut dan benci sebagai fitur emosional dalam kampanye politik memang efektif menjaring suara, terutama di tengah masyarakat ketika populisme naik daun. Namun persoalannya, apakah etis hal tersebut dilakukan?
Bercermin dari apa yang terjadi, menurut saya, persoalan di Indonesia bukan hanya masalah politisasi agama, tapi juga politisasi pluralisme. Politisasi pluralisme ini berbahaya bagi semangat multikulturalisme, karena ia memaksakan penerjemahan tunggal untuk kepentingan politik dan secara paradoks merupakan negasi atas pluralisme itu sendiri.
Bahkan dalam titik tertentu, pluralisme yang seharusnya mempromosikan semangat persatuan, malah menjadi populisme baru yang sama bahayanya dengan antitesisnya, yaitu radikalisme agama.
Semangat Rekognisi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bermain “ethnic card” adalah manuver favorit politisi. Etnis yang saya maksudkan di sini tidak hanya kelompok yang ikatannya berbasis hubungan darah atau lokasi geografis tertentu, tapi juga ideologis seperti agama. Bermain isu SARA saya analogikan seperti bermain dengan api, karena dampaknya amat berbahaya.
Donald Trump mungkin berhasil mendulang suara dengan menyuarakan silent prejudice yang sebelumnya sudah ada di dalam kepala mayoritas masyarakat Amerika Serikat. Sebaliknya, kubu Ahok di Jakarta tertatih-tatih akibat bermain isu SARA. Maksud hati ingin meraih simpati pemilih mayoritas dengan mencoba mengubah sikap mereka soal perintah yang tertulis di kitab suci, tapi justru membuat kegaduhan massal.
Pelajaran yang penting disimak para politisi dari kasus tersebut adalah bermain isu SARA tidak hanya berbahaya dan tidak etis, melainkan juga berisiko diterjemahkan sebagai permusuhan terhadap pemilih mayoritas. Tentu hal tersebut bukan strategi yang efektif menarik simpati. Meraih kekuasaan dengan bermodal menyebarkan ketakutan dan kebencian adalah langkah absurd dan tidak bermoral.
Dalam konteks yang lebih luas, kita mesti melihat hal ini sebagai ancaman serius bagi demokrasi. Menurut filsuf politik Charles Taylor, demokrasi seharusnya merefleksikan semangat rekognisi. Artinya, setiap warga negara wajib mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Bagi Taylor, ada dua rute dalam mengelola keberagaman; (1) restorasi martabat dengan politics of universalism dan (2) pengelolaan keberagaman melalui politics of differences.
Politics of universalism mewujud dalam kewajiban negara untuk mendudukkan semua warga negara dalam posisi yang sama dalam kerangka hukum positif. Hukum positif ini merupakan kesepakatan bersama yang bersumber dari nilai-nilai universal. Sedangkan politics of differences mengada ketika kelompok-kelompok etnis punya hak tertentu untuk meregulasi kaumnya sendiri dan ini wajib dijamin oleh negara.
Karena itu, domain-domain ritual dan pelaksanaan perintah yang tercantum dalam kitab suci agama tertentu wajib juga dilindungi oleh negara. Kedua domain ini wajib dilaksanakan secara paralel oleh lembaga negara dan penerapan parsial atas salah satu dari kedua aspek ini, menurut Taylor, akan menggeret negara demokrasi menjadi otokrasi.
Politisasi Pluralisme
Mengelola keberagaman di Indonesia jelas tak mudah, karena sejatinya keberagaman adalah pisau bermata dua; ia bisa menjadi modal sosial yang sangat powerful, tetapi bisa memantik api konflik sosial yang mematikan.
Dalam kasus Pilkada Jakarta, ajakan memilih pemimpin Muslim bukanlah masalah yang sebenarnya selama ajakan itu tidak berubah menjadi paksaan. Ajakan memilih pemimpin Muslim, selama dilakukan secara internal pada komunitas yang menganut agama Islam, merupakan manifestasi dari politics of differences.
Toh, memilih pemimpin berdasarkan agamanya tidak bertentangan dengan hukum positif dan tidak juga serta-merta menghilangkan hak politik kaum minoritas. Ajakan ini juga tidak menganihilasi (baca: meniadakan) agency individu, karena keputusan memilih pasangan calon yang mana tetap di tangan individu yang bersangkutan.
Yang keliru adalah memaksakan pilihan politik pada orang lain, bahkan menghina pilihan politik tersebut hanya karena yang bersangkutan berbeda pandangan.
Agaknya, pekik soal kebhinekaan saat ini pun perlu kita turunkan volumenya sampai level keheningan, agar kita bisa merenung bersama-sama. Menurut saya, diskursus kita perlu digeser dari kebhinekaan menjadi persatuan. Karena kebhjinekaan adalah sunnatullah, sedangkan persatuan harus diusahakan bersama dan membutuhkan komitmen berbangsa dan bernegara.
Perlu diingat, para pendiri bangsa berhasil mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan dengan semangat persatuan. Saya harap setelah kericuhan politik ini berakhir, siapa pun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta, kita dapat kembali bergandengan tangan tanpa pretensi dan prasangka.
No comments:
Post a Comment