DUNIA HAWA - Banyak sudah diskusi, debat, pergunjingan, analisis dan tulisan mengenai kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Betapa besar energi bangsa yang terkuras karena kasus ini. Entah berapa banyak hujatan dan ujaran kebencian (hate speech) yang sudah ditumpahkan pada tokoh ‘kontroversial’ yang satu ini. Tetapi tak kurang juga simpati bahkan empati yang mengalir dari segala penjuru. Proses persidangannya benar-benar melelahkan, tidak hanya bagi terdakwa bersama Tim Pengacara dan para Majelis Hakim bersama Jaksa Penuntut, melainkan juga bagi kita yang hanya menyaksikannya lewat layar kaca. Karena itu mari kita awali diskusi ini dengan sebuah “anekdot dari neraka”, agar kita menghadapi kasus ini dengan senyum sembari mawas diri.
Awas Hitler Lewat!
Diantara para penghuni neraka, siapa kira-kira yang paling ditakuti? Kebanyakan diantara kita mungkin akan menyebut nama penjahat kemanusiaan paling kejam, Adolf Hitler. Maklum, sejarah mencatat Hitler bersama partai Nazi-nya telah membantai 11 juta orang sejak dia berkuasa, tahun 1933 hingga Perang Dunia II berakhir. Para korban itu ditangkapi pasukan rahasia Jerman “SS” (Schutzstaffel atau “Skuadron Pelindung”, pimpinan Heinrich Himmler) dari negara-negara taklukan Jerman di Eropa sebelum dan selama PD-II. Mereka terdiri dari kaum Yahudi (6 jutaan), Saksi Yehovah, kaum homoseksual dan penderita diffabel (kaum cacad dianggap tak berguna bahkan jadi beban negara dan masyarakat!) – 1,1 juta dariantara mereka itu adalah anak-anak. Suatu kekejaman luar biasa yang digerakkan oleh pengagungan ras Aria (“Deutch Uber Alles”) serta kebencian pada ras Yahudi dan semua yang dianggap lemah-tak berguna atau tak sesuai dengan ideologi Nazi. Konon, Hitler digelari
The Great Hater (Pembenci Agung) oleh sesama haters penghuni neraka. Jadi kemanapun dia berjalan di neraka dengan iringan para pengawalnya, para penghuni neraka jauh-jauh sudah saling mengingatkan: “Awas, Hitler lewat!”Dia selalu harus dihormati dengan gaya Nazi “Heil Hitler!” oleh penghuni lainnya. Sampai suatu saat, ketika sedang lewat di depan suatu kerumunan penghuni neraka, ada satu penghuni yang cuek, tidak memberi hormat. Melirik Hitler pun tidak. Padahal tampilannya biasa-biasa saja, bahkan terkesan minder dan terasing di sudut-sudut neraka, tak punya teman dan nampak paling menderita. Maka Hitler dan pengawalnya berhenti lalu mendekati dia: “He, lu ini siapa, berani-berani cuek ama gue?” gertak Hitler dengan muka bengisnya. Si cuek, yang langsung mengenali Hitler dari kumisnya, menjawab dingin: “Lu masak gak tahu siapa gue. Gue yang nyerahin Yesus Guru gue sendiri untuk diadili dan disalibkan”. Kali ini giliran Hitler yang gemetar di hadapan The Great Traitor, si Pengkhianat Agung, dan buru-buru memberi hormat bersama para pengawalnya dengan gaya Nazi: “Heil Judas !”.
Haters and Traitors
Pesan moral dari anekdot ini: (1) alamat paling pas untuk para pembenci dan pengkhianat adalah neraka. Mengapa bukan surga? Karena surga adalah ‘tempat’ untuk orang-orang baik yang selama hidupnya menghormati dan mencintai sesama, memuliakan Tuhan sembari memuliakan sesama. Para pembenci dan pengkhianat sudah menciptakan neraka bagi sesama di dunia, maka tinggal dilanjutkan sesudah kematian! Surga bukan ‘tempat’ saling membenci dan menghujat. (2) Dari para pembenci dan pengkhianat, yang paling menderita sekaligus paling menakutkan ternyata pengkhianat. Judas adalah satu dari 12 murid Yesus Kristus (Isa Al-Masih). Nampaknya sejak awal mengikuti Yesus, Yudas hanya digerakkan oleh motif keserakahan dan kepentingan ekonomi. Karena itu dia menawarkan diri sebagai pemegang kas alias bendahara. Harapannya, ribuan pendengar khotbah-khotbah Sang Guru bisa menjadi sumber pemasukan yang bisa dikorupsi. Ternyata harapannya tidak pernah terpenuhi. Sang Guru tidak pernah menginstruksikan untuk mengedarkan pundi-pundi pada setiap sesi pengajaran. Karena kecewa, dia pun mengikuti bisikan iblis untuk menjual Gurunya dengan tigapuluh keping perak. Belakangan setelah melihat Sang Guru disiksa habis-habisan bahkan disalibkan, dia melemparkan uang sogokan di hadapan para Ulama Yahudi dan pergi menggantung diri. Penyesalan yang terlambat.
Hitler semula adalah juga pengikut Yesus, bahkan konon pernah duduk di bangku Seminari. Tetapi karena mabuk kekuasaan, Hitler yang sebenarnya asli orang Austria itu, meninggalkan imannya dan mengintrodusir ideologi arianisme “Deutch Uber Alles” (orang Jerman mengatasi semua ras lain) dengan kebencian yang membara pada ras Yahudi. Kesombongan dan kebencian itulah yang menggerakkan tindakan paling biadab dalam sejarah: pembasmian dan pembantaian 11 juta manusia, termasuk sekitar 6 juta kaum Yahudi dan 1,1 juta anak-anak!
Dalam kaitan dengan The Great Traitor Judas Iskariot, kita mesti ingat Pilatus. Pontius Pilatus menyerah pada teriakan “Salibkan Dia!” dari kerumunan massa yang diprovokasi Imam-Imam Kepala dan para tetua agama Yahudi di Yerusalem. Pilatus adalah gubernur Romawi untuk propinsi Yudea (meliputi tiga distrik: Yudea, Samaria, Idumea) dari tahun 26 s/d 36 Masehi. Dalam jabatan itu, ia bertanggungjawab atas eksekusi penyaliban Yesus (Nabi Isa). Sebab salah satu dari empat tugas gubernur sebagai perwakilan kekaisaran Romawi di suatu propinsi jajahan adalah menjadi hakim tertinggi (supreme judge) dalam suatu perkara di wilayahnya. Pilatus sudah memeriksa sang terdakwa, Yesus dari Nazareth, dan di depan kerumunan itu terang-terangan mengatakan tidak menemukan satupun kesalahan padaNya.
Tetapi kerumunan itu tidak mau tahu. Bahkan ketika Pilatus menawarkan pilihan antara Yesus atau Barabas, seorang penjahat terkenal, kerumunan massa memilih untuk melepaskan Barabas, dan terus berteriak histeris “Salibkan Dia!” Akhirnya karena Pilatus takut ambil risiko, kerumanan menang, keadilan kalah! Pilatus nampaknya takut pada ‘kutuk’ yang akan menimpa bila menghukum orang tak bersalah, apalagi isterinya sudah mengingatkan “Jangan mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam”. Karena itu ia mengambil air lalu “cuci tangan” di hadapan kerumunan itu sambil berkata “Aku tidak bersalah terhadap darah orang (benar) ini; itu urusan kamu sendiri”. Tetapi kerumunan massa malah menyahut penuh kebencian “Biarlah darahnya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami”. [Banyak orang menghubungkan pembasmian sekitar 6 juta orang Yahudi oleh Nazi Hitler di kamp-kamp konsentrasi Jerman dalam PD-II, dengan sumpah serapah kerumunan tersebut].
Pilatus menyerahkan Terdakwa untuk dihukum mati di kayu salib oleh kerumunan massa Yahudi, bangsanya sendiri! Sungguh ironis dan tragis, karena hukuman seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Yahudi. Hukuman mati dengan penyaliban adalah tatacara penghukuman tentara Romawi atas para pemberontak seperti Spartacus dan pasukannya. Sejarah mencatat hukuman mati atas Diri Yesus melalui pengadilan tak wajar karena kelemahan si pengadil di bawah tekanan kerumunan massa pembenci yang dikendalikan oleh para pemuka agama Yahudi, sebagai salah satu pelanggaran HAM terberat sepanjang jaman.
Kasus Ahok, Ujian Demokrasi
Pada awal-awal proses pemeriksaan, penyidikan dan persidangan Ahok, berbagai argumen pro-kontra sudah mewarnai media sosial maupun media mainstream terutama TV. Dengan mudah kita dapat membedakan mana yang dilatari motif primordial SARA yang bersinergi dengan motif politik, dan mana argumen yang dilatari akal sehat, rasionalitas. MUI punya andil terbesar dengan mengeluarkan ‘pernyataan sikap dan pandangan keagamaan’ yang jelas menempatkan Ahok bersalah sebagai penista agama dan ulama. Bak gayung bersambut (karena memang diduga ada ‘Ki Dalang’ yang menyiapkan skenario di belakang layar), terbentuklah GNPF-MUI – Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang kemudian meng-organize pengerahan massa untuk memberi tekanan demi tekanan para penegak hukum.
Meskipun alasan yang selalu diangkat ke permukaan adalah “murni alasan pelanggaran hukum” semua orang yang mau menggunakan akal sehat juga tahu bahwa demo itu sebenarnya digerakkan oleh kebencian yang dilatari sentimen primordial SARA, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan politik pilkada DKI. Seorang cendekiawan Muslimah yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Sidney, Australia, Meilanie Buitenzorgy mem-posting surat terbuka yang diberi judul “Surat Meilanie Untuk Ahok” di akun facebook.com/greater.indonesia, medio Desember 2016. Dalam waktu singkat surat terbuka itu menjadi viral di media sosial. Meilanie membuktikan diri sebagai cendekiawan sejati yang tidak hanya cerdas tetapi juga arif dalam melihat permasalahan secara obyektif-ilmiah, dengan akal sehat. Meilanie dengan jelas dan tegas, sama seperti Buya Syafi’i Maarif, berpendapat bahwa Ahok tidak menistakan agama ketika mengutip Al Maidah-51 dalam pidatonya selaku gubernur di Kepulauan Seribu. Ahok hanya mengemukakan fakta bahwa ayat itu sering disalahgunakan untuk kepentingan politik pilkada. Dan tidak ada undang-undang di republik ini yang melarang seseorang untuk mengemukakan fakta. Meilanie juga tidak memihak atau membela Ahok. Dia hanya mau membela Nilai-nilai (Values) yang sedang dipertaruhkan, dan berani menyuarakan Nilai itu lengkap dengan argumen-argumen faktual yang tak terbantahkan. Nilai itu adalah Kebenaran, Keadilan dan Kearifan (akal-sehat). Salah satu paragraf dari surat berlogat Betawi populer itu menyuarakan bahwa kasus Ahok adalah ujian NKRI dalam ber-demokrasi:
“Hok, kasus elo adalah ujian terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini sejak reformasi 1998. Inilah ujian kenaikan kelas kita dalam berdemokrasi. Bahwa elo menjadi tokoh sentral dalam ujian ini, adalah takdir Allah SWT. Apapun hasilnya, bangsa kita naik kelas atau gagal, nama lo akan tercatat dengan tinta tebal dalam sejarah bangsa ini”.
“Hok, Lo jangan ge-er. Gw tidak sedang membela elo. Sesungguhnya gw sedang membela kebenaran, keadilan dan memperjuangkan kembalinya akal sehat ke republik ini. Dan kita sama-sama berjuang, agar NKRI tak dicaplok oleh sekelompok kecil umat yang bercita-cita mengganti dasar negara Pancasila…..”
“… Namun, jika elo harus jadi tumbal dari ujian ini, gw sudah menyiapkan setelan hitam-hitam terbaik gw. Untuk gw kenakan saat gw memberi penghormatan terakhir buat lo, seraya memandang sendu langit kelabu. Karena saat itu, gw harus menerima kenyataan bahwa bangsa ini tidak lolos ujian kenaikan kelas berdemokrasi…”
Semakin jelas bahwa para cendekiawan yang benar-benar mau menggunakan akal sehat dapat ‘membaca’ bahwa ada agenda terselubung dari para demonstran anti-Ahok (Ahok haters): mengganti dasar Negara Pancasila! Agenda jangka pendek di permukaan memang mengganjal Ahok agar jangan sampai terpilih kembali jadi Gubernur DKI-Jakarta. Tapi hidden agenda sebenarnya untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi-JK, yang sah dan amanah tapi tidak lagi memberi ruang bagi berbagai “permainan dan penyimpangan”.
Filsuf Yunani, Plato (427 – 347 BC) sudah mengingatkan perilaku haters seperti itu ketika mengatakan: “No one is more hated than he who speaks the truth” – tak ada orang yang lebih dibenci daripada dia yang mengatakan kebenaran. Bicara kebenaran saja dibenci, apalagi kalau bertindak tegas menegakkan kebenaran dan keadilan. Yang membenci tentu saja para pihak yang berseberangan dan merasa terancam oleh kebenaran itu! Para haters itu akan menggunakan ruang-ruang publik terutama media sosial dan penggerakan massa – atau menunggangi gerakan massa – untuk menjatuhkan orang-orang jujur, bersih dan karena itu berani bicara dan bertindak benar.
Kebenaran Hakiki vs Kebenaran Hukum
Bicara tentang Kebenaran di dunia peradilan, kita mesti mawas-diri dengan ucapan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, ketika berkomentar tentang ‘mencium bau amis’ dalam kasus mantan ketua KPK Antasari Ashar:
“Saya baca berkas, saya baca pertimbangan hukum, saya baca apa yang disampaikan beliau. Saya sendiri juga seperti apa yang dikatakan wapres (Jusuf Kalla) tadi. Saya orang hukum, saya merasakan something smelly, ada bau-bau amisnya begitu”. (Liputan 6, Sabtu 26 Nopember 2016)
Ucapan tersebut untuk menimpali penegasan Wapres Jusuf Kalla: “Kebenaran harus menang, agar menjadi pelajaran bagi yang melakukan ini: pengadilan, jaksa, dan yang korban”. Mereka berdua hadir dalam acara syukuran mantan ketua KPK, Antasari Ashar, di Hotel Grand Zuri, Serpong, Tangerang Banten, Sabtu 26 Nopember 2016. Seperti kita ketahui, mantan ketua KPK Antasari Ashar akhirnya bebas setelah menjalani hukuman hampir delapan tahun atas dakwaan pembunuhan bos PT.Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen.
Kebenaran hukum seringkali berseberangan dengan kebenaran substansial (hakiki), yakni ketika peradilan didirikan diatas fakta hukum hasil rekayasa pemeriksa dan penyidik demi kepentingan tertentu, terutama motif politik kekuasaan.
Inilah yang mengkhawatirkan para pemerhati dan pencari keadilan dalam kasus Ahok. Kita semua berharap bahwa peradilan atas diri terdakwa “penista agama dan ulama” ini didirikan diatas pondasi kuat kebenaran hakiki. Masalahnya saksi-saksi fakta maupun ahli yang dihadirkan Penuntut nampak berseberangan secara diametral dengan saksi dan ahli dari pihak Tim Pengacara. Namun jelas pula bahwa saksi-saksi fakta yang dihadirkan JPU tidak ada satupun yang memenuhi syarat “melihat dan mengalami langsung kejadiannya”. Semua dikategorikan sebagai saksi “de auditu” (dari kata Latin ‘audio, audire’: mendengar) yang hanya mendengar pidato Ahok dari rekaman yang dibuat oleh Humas Pemda DKI dan potongannya disebarluaskan oleh Buni Yani. Saksi fakta yang didatangkan dari Kepulauan Seribu karena hadir dalam acara dimana Ahok berpidato, juga tidak memberatkan, karena baru sadar akan adanya ‘dugaan penistaan’ setelah dipersoalkan di media dan Ahok sudah mulai diproses.
Salah satu saksi ahli yang dihadirkan Tim Pengacara, Ahmad Ishomuddin, adalah ahli fikih dan ushul al-fikh yang juga sangat paham ilmu tafsir bahkan sempat meriset 30 buku tafsir klasik hingga kontemporer atas QS Al-Maidah 51 sebelum tampil memberi kesaksian di sidang ke-15. Meski beliau menjabat Rais Syuriah PBNU (2010-2015 dan 2015-2020) serta Wail Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2015-2020), Ahmad Ishomuddin tampil membawa nama pribadi, tidak membawa-bawa kedua organisasi/lembaga tersebut. Masalahnya, saksi dari pihak MUI sudah memberi keterangan yang jelas memberatkan Ahok karena harus senada-seirama dengan pernyataan sikap keagamaan MUI. Inti kesaksian beliau di depan Majelis Hakim sungguh mengejutkan sekaligus melegakan: bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu. Baik dan terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk Kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Al Quran dan Ulama. Padahal dalam Al Quran diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim kepada siapa saja, meskipun terhadap orang yang dibenci.
Butuh keberanian luar biasa untuk mengungkapkan kebenaran seperti itu. Risikonya sangat tinggi, namum Ahmad Ishomuddin sudah siap mental menghadapinya. Benar saja, serangan bahkan ancaman-ancaman yang cukup serius langsung menerpa dirinya dari para Ahok haters. MUI pun langsung memecat dirinya dari jabatan Wakil Ketua Komisi Fatwa yang memang tidak melibatkannya dalam rapat perumusan sikap keagamaan MUI. Ucapan Plato kembali menemukan pembenaran.
Kesaksian Ahmad Ishomuddin ternyata senada dengan keterangan-keterangan dari para saksi ahli lain, baik ahli bahasa maupun ahli pidana. Intinya: Ahok tidak punya niat menista, dan memang ucapannya itu tidak menista agama dan ulama. Penetapan Ahok sebagai tersangka kemudian terdakwa dianggap terlalu prematur dan dipaksakan, karena adanya motif politik Pilkada DKI-Jakarta. Bahkan para pengamat dari luar arena persidangan pun umumnya sependapat. Peneliti LIPI Amin Mudzakkir, misalnya, berpendapat: “Dalam persidangan Ahok, saya melihat tidak didukung faktor keilmuan yang kuat. Ini sangat tampak hanya maneuver-manuver politik”. Menurut Amin, Kepentingan politik nampak dalam keterangan para saksi ahli yang berbeda. Dua dari ahli yang dihadirka JPU menyatakan Ahok bersalah, sedangkan tiga ahli dari tim kuasa hukum terdakwa menyatakan Ahok tidak melakukan penistaan agama terhadap Islam.
Dengan nalar yang jernih dan nurani yang bersih, kita tentu sudah dapat ‘membaca’ dan membedakan ‘kebenaran hakiki’ dari ‘kebenaran palsu’ yang disetel demi kepentingan sesaat dan sesat. Karena itu kita mendukung penegasan Wapres Jusuf Kalla “Kebenaran harus menang, agar menjadi pelajaran bagi yang melakukan ini: pengadilan, jaksa, dan yang korban”.
No comments:
Post a Comment