HALAMAN

Wednesday, April 12, 2017

Jangan Wariskan Tuhan Yang Maha Murka



DUNIA HAWA - Semenjak ramai-ramai pemberitaan aksi menyemen kaki oleh komunitas masyarakat adat Kendeng, yang menolak pendirian pabrik semen Indonesia, dan kisah kepahlawanan Yu Patmi yang meninggal ditengah proses aksi, rakyat Indonesia tersadar dari mimpi tidur siangnya.

Bahwa, bukan persoalan AHok dan label penistanya, negara dan bangsa ini hancur, tetapi, sekali lagi perlu diperhatikan, adalah kekuatan besar Tuhan yang dititipkan ke alam, yang senantiasa menjadi ancaman ketentraman hidup manusia di bumi.

Kerusakan ekologi, secara holistik, adalah bencana bagi seluruh alam. Rantai kehidupan yang tersistem  dalam sunnatullah, mendadak mati jika dengan sengaja di satu sisi bangiannya terputus.

Posisi manusia.


Manusia sebagai “Imago Dei” citra tuhan, sebagaimana dialog tuhan dan malaikat dalam penciptaan Adam, harus menjaga keteraturan alam. Citra tuhan Yang Maha Penyayang, Yang Maha Cinta Kasih, Yang Maha Pemurah adalah idealitas sifat Tuhan yang dominan disukai manusia. Lebih-lebih mengimani bahwa tujuan akhir dari proses apapun adalah menuju kebahagiaan.

Pada pola kesadaran yang lain, misteri Tuhan dengan “T” besar, tidak akan pernah selesai, keniscayaan yang melekat pada keabadian nan hakiki, yang berbeda dengan makhluk, menuntun manusia menemukan hakikat Tuhan dari setiap konsepsi yang dibuatnya.

Mencari citra diri ke_Maha-Maha_anNya yang sempurnah adalah misteri lain dari ruh kehidupan yang terberi. Oleh karenanya, keberlanjutan hidup manusia merupakan perjalanan suci menemukan Tuhan.

Proses pencarian kebermaknaa sekaligus penghambaan, tetap harus dilakukan sebelum menuju kematian. Sedang keberlanjutan pencarian tuhan tidak bisa terpisah dari ayat, bukti dan tanda dari apa yang ditinggalkan Tuhan, yakni alam semesta.

Filosofi jawa mengatakan, Ajining rogo soko busono ( Kerberhargaan tubuh-fisik manusia ditandai dari cara berpakaiannya). Petuah ini tidak hanya bersifat mikro pada bentuk fisik saja, tapi, konsep makrokosmos menandakan kesatuan hidup antara manusia dengan alam sebagai entitas besar yang melindungi unsur terpenting. 

Maka, naif sekali, jika dengan dalih pencarian pencitraan tuhan yang hakiki, alam dibiarkan hilang, rusak, punah, tampil di memo-memo, foto-foto bisu yang anak keturunan kita jauh dari kehadiran fakta kebermaknaannya. Seiring banyaknya petanda-tanda tuhan ini habis dieksplorasi besar-besaran.

Bagaimana halnya tugas manusia?


Untuk itu, manusia sebagai “Imago Dei”, dituntut mengenal dirinya terlebih dahulu, man arafa nafsahu faqod arofa rabbahu (siapa yang mengenali dirinya, dia mengenal eksistensi tuhannya) atau dalam bahasa Yunani-Romawi kuno dalam kebudayaan dan filsafatnya, cognosce te ipsum!, yang bermakna kenalilah dirimu sendiri.

Maka, dengan “t” kecil tuhan di bumi, manusia meninggalkan problematis. Pertama, manusia bebas mengambil peran tuhan kecil yang menata dan mengatur. Manusia memiliki bagian Maha Penyayang, Maha Perkasa dan maha-maha lain, tapi kecil-kecil. Akan tetapi tetapi, kedua, dia juga pemangsa hebat, dan penghancur nomor satu tatanan alam. Selimut tebal nafsu dalam diri; syetani, hewani, dan manusiawi menutup manusia menuju ihsan kamil, makhluk paripurna yang berdimensi ketuhanan, ilahia.

Tuhan Maha Hidup menciptakan mata air sebagai sumber kehidupan di bumi, manusia berkuasa mendistribusikan, mengatur dan menjaganya sebagai rahmat bagi semua makhluk. Tuhan Maha Mengatur menciptakan ekosistem yang demikian seimbangnya, maka, manusia bisa merekayasa dalam ekosistem-ekosistem tertentu untuk melestarikannya, dan sebagainya. Kekuasaan parsial ini adalah tangan-tangan kecil yang disebut sebagai “kholifatullah fil ard”.

Meski kecil, peran manusia di bumi amat lah besar dalam mewujudkan makna kebesaran tuhan. Dan, paling pentingnya lagi, manusia adalah makhluk paling paripurna. Dan yang kedua, sebagai bukti kebenaran janji Tuhan bahwa akan diciptakan makhluk di bumi yang lebih baik, dan yang ketiga, lebih mengagumkan dari makhluk yang lain. Sehingga, kontra opsi yang diberikan malaikat menemukan ruang "kesalahannya", bahwa mereka salah menganggap dirinya yang paling suci, paling mengabdi dan paling benar.

Dengan demikian, Tuhan Maha Adil, Dia yang merahasiakan, Dia pula yang menyediakan ketersingkapan. Ketersingkapan tabir ini dianugerahkan Tuhan melalui sumber daya akal memahami diri dan alam semesta sebagai dalil ke-Ada-anNya.  Pada Surat Ad-Dzariyat, ayat 20-21, dengan jelas Allah swt menjelaskan; “dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah engkau tidak berfikir?”.

Bagaimana dengan sifat buas manusia?


Sebagai tawaran, konseptual tuhan, dengan "t" kecil, yang berdiri sebagai penghancur, pemaksa, kuat, penguasa segalanya, direpresi sedalam mungkin. Mengambil konsep nakal Nietzche, dengan anti chrisnya yang dianggap membunuh Tuhan, dalam artikel “The Two Types: Dionysus and the Crucified”, Tuhan sudah kehilangan keilahian-Nya ketika sudah difiksasikan oleh lembaga-lembaga agama yang ada.

Untuk itu, yakni "pembunuhan" citra tuhan kejam dan penguasa segalanya di dalam diri, merupakan kosmologi baru. Mematikan potensi manusia sebagai pusat keuasaan dan alam sebagai obyek pemaksaan. Tuhan akan menampakkan sisi keilahian-Nya yang ramah, penyayang, cinta-kasih, pengampun dll, jika manusia pun menampakkan sisi itu.

Proyeksi-proyeksi Tuhan yang seperti ini, pun, tidak lepas dengan menyatu, tidak terpisahkan dengan alam. Dengan pasti, keterikatan manusia dengan alam, membentuk kosmik pencitraam eksistensi Tuhan Yang Maha Penyayang, Welas-Asih, Pemurah dll. Karena lewat alamlah sumber kebahagian itu tumbuh.

Jika tidak....?


Tuhan Yang Maha Segalanya menurunkan sifat kemurkan-Nya, pada anak cucu Adam. dan alamlah yang menjadi senjata perangnnya.

@m mufta wahyudi


No comments:

Post a Comment