HALAMAN

Tuesday, April 11, 2017

Gerakan Radikalisme Dimulai dari Bangku Sekolah



DUNIA HAWA - "Pa, Syiah itu apa ?" Tanya anakku yang ketika itu baru masuk SMP Islam swasta. Aku melirik heran padanya. "Syiah itu artinya pengikut. Ada apa kok tumben nanya tentang syiah?"

Anakku menyerahkan buku berjudul "Kesesatan Syiah". "Ini dibagi2in sama sekolah. Gratis. Harus dibaca di rumah.."

Ternyata di sekolahnya ada pembagian buku itu untuk siswa baru. Alih-alih marah saya malah ketawa. Dan saya sedikit bercerita apa itu syiah dan kenapa banyak fitnah yang menerpanya. Dia mendengarkan dengan baik karena itu memang ilmu baru baginya.

Itu masa lalu. Dan anakku selalu bercerita kepada teman-temannya ketika mereka bertanya apa itu syiah. Dia pun suka menggoda guru agamanya dengan bertanya, "Pak, ceritakan tentang kematian Imam Hussain, cucu Nabi.." Gurunya tidak pernah bisa menjelaskan.
Ketika anakku yang kedua juga masuk SMP negeri, wali kelasnya bilang bahwa ia diminta oleh guru agamanya untuk ikut ekskul agama Islam karena bacaan ngajinya bagus. Saya tidak mengiyakan, hanya nanya siapa nama guru agamanya.
Saya telusuri fesbuknya dan saya temukan betapa ekstrim cara berpakaian, pandangan dia terhadap banyak hal termasuk tatto di jidatnya. Langsung saya menjawab ketika bertemu anakku, "Tidak boleh. Kalau cuman ngaji, di rumah aja. Jangan sampai nanti seluruh keluarga kamu kafir-kafirkan.."

Proses doktrin terhadap pemikiran radikal di dalam Islam memang sudah sedemikian gilanya. Mereka bukan hanya menyasar anak SMP, bahkan sejak TK doktrin sudah dimulai dengan mengajarkan lagu kanak2 bu Kasur yang di ganti liriknya dengan kebanggaan terhadap agamanya.

Radikalisme dalam agama itu muncul karena 2 hal, pertama lemahnya akal dan kedua kebanggaan yang ditinggikan.

Dan proses itu bertahap dilakukan melalui dunia pendidikan lewat guru-guru agama yang tidak tersertifikasi. Ketika guru agamanya hanya pintar membaca Alquran tetapi tidak memahami banyak hal dalam agamanya, yang terjadi ia menurunkan kebodohan yang sama kepada siswanya.

Dan situasi itu sudah lama terjadi. BNPT sungguh telat ketika baru mendeteksi akar masalahnya. Orang-orang yang menjadi teroris itu punya masa kanak-kanak, selidiki bagaimana pendidikannya.
Kalau sudah begini saya jadi ingat Kang Dedi Mulyadi yang berjuang untuk membasmi radikalisme dari akar-akarnya di Purwakarta.

Ia memulai dari sekolah-sekolah. Ia membuat program jemput sekolah gratis bekerjasama dgn TNI yang menjadi supir sekaligus bercerita tentang kecintaan pada Indonesia. Ia menyuruh guru agama utk mengajarkan kitab kuning kpd siswanya spy mrk terbiasa berbeda tafsir dan pendapat dalam agama. Ia mengenalkan masing2 agama kepada para siswa supaya mereka bisa melihat bahwa mereka tidak sendirian.

Sudah seharusnya pemerintah pusat melalui menteri pendidikan dan menteri agama bekerjasama dengan BNPT untuk mencari solusi yg tepat dalam penerapan deradikalisasi di sekolah. Dan mulailah dari sertifikasi guru agamanya..

Masak Indonesia yang sebesar ini kalah konsep sama Purwakarta desa kecil di Jawa Barat itu? Seruput ahhh.

@denny siregar


No comments:

Post a Comment