HALAMAN

Monday, April 24, 2017

Belajar dari Kekalahan Ahok



DUNIA HAWA - Saya masih ingat dulu ada ajang adu vokal pertama kali di Indosiar. Namanya Akademi Fantasi. Meskipun judulnya adu vokal, tetapi latar belakang pesertapun dijadikan bahan. Dan akhirnya kita melihat bahwa yang menang -berdasarkan voting penonton- ternyata bukan karena kualitas vokal, tetapi karena kasihan melihat latar belakang pemenang yang anak tukang becak.

Begitu banyak tayangan baik itu sinetron dan ajang adu-aduan yang lebih mengandalkan jualan emosi daripada rasionalitas. Dan selama puluhan tahun kita dicekoki oleh tayangan yang mengaduk emosi mulai dari ketakutan lewat film kuntilanak dan airmata yang terkuras seorang ibu yang dizolimi anak kandung.

Pengaruh itu terasa sampai sekarang..

Dan dari semua perkiraan kenapa Ahok kalah, buat saya perkiraan inilah yang terbaik. Bahwa pemilih di Jakarta, seberapapun modern-nya ia sehari-hari, tetap saja ia adalah penonton sinetron ala Raam Punjabi.

Ada yang tidak memilih karena terpengaruh tidak seiman. Ada yang tidak memilih karena terpengaruh penistaan agama. Bahkan di kalanganChinese perkotaan yang mapan, banyak yang tidak memilih karena ditakut-takuti akan terulang lagi peristiwa 98.

Politik kita masih politik emosional, bukan rasional. Itulah kenapa seberapa bagusnya pun jualan program yang menaikkan tingkat kepuasan terhadap kinerja seorang Ahok, tidak mempengaruhi tingkat elektabilitas atau keterpilihan dia. Ahok tidak terpilih karena emosional bukan rasional.

Kekalahan Ahok mirip dengan kekalahan Hillary Clinton yang lebih jualan rasionalitas daripada emosional seperti Trump. Trump berhasil menang karena menjanjikan menaikkan kembali kebanggaan dan kepemilikan Amerika hanya untuk orang Amerika.

Disinilah celah yang dilupakan banyak orang, bahkan tidak terpikirkan. Kita masih belum sampai pada taraf jualan keberhasilan program-program. Ahok boleh populer, tetapi tidak menjamin ia dipilih karena ia tidak mampu menjual emosi.

Timses Ahok yang banyak berasal dari kalangan perkotaan dan terpelajar belum mampu turun ke bawah dan menggali sisi emosional pemilih dengan tingkat pendidikan yang rata-rata. Kalaupun akhirnya mereka sadar, seperti saat mencoba menaikkan Djarot untuk menggali emosi, sudah terlambat karena orang sudah punya keputusan untuk memilih.

Dan model ini juga yang banyak diterapkan di banyak pemilihan kepala daerah. Tinggal survey apa yang dibutuhkan mereka, dan gali sisi emosionalnya. Makanya banyak kepala daerah yang terpilih bukan karena kapasitasnya tetapi karena mampu bermain di sisi emosional pemilihnya.

Ini juga akan berlaku di pilpres 2019 nanti...

Dulu - di 2014 - Jokowi dan Prabowo memainkan sisi emosional pemilihnya. Jokowi sebagai seorang yang bukan siapa-siapa melawan Prabowo yang ada apa-apanya. Dan menangnya Jokowi karena ia mewakili banyak orang yang bukan siapa-siapa dan mengharapkan akan membela mereka. Emosi kalangan "bukan siapa-siapa" ini berbaur dengan emosi mereka yang ingin perubahan secepatnya.

Meski begitu, Jokowi mesti berhati-hati di 2019 nanti, karena ia sekarang bukan lagi orang yang "bukan siapa-siapa".

Belajar dari kasus Ahok, Jokowi akan sulit jika hanya jualan program apa yang sudah dibangunnya. Ia akan diserang oleh lawan dengan membangkitkan sisi emosional masyarakat kelas bawah yang ketakutan akan bangkitnya PKI, meski buat kita yang rasional PKI itu sudah mati.

Strategi membangun emosi para pemilih Jokowi harus dirancang mulai sekarang. Jangan kebanyakan nonton film Hollywood, sekali-sekali orang dibelakang Jokowi harus nonton sinetron Indonesia biar tahu bagaimana suksesnya mereka menaikkan rating dengan modal hanya jualan emosi saja.

Bahkan televisi sekelas TV One yang dulu jualan berita, gak kuat bertahan sehingga harus melacurkan diri untuk jualan sinetron yang murah meriah yang penting banyak airmatanya.

Ya, mungkin dibangun cerita dimana Jokowi sakit kanker serviks sehingga tubuhnya yang dulu gemuk menjadi kurus kering dan akhirnya sembuh dengan kegigihannya. Atau Jokowi pernah dipenjara ketika ia terpaksa mencuri hanya karena supaya dapat makan sehari dan mengasuh ibunya yang terbaring di rumah tak berdaya.

Menggelikan ya? Tapi, masih begitulah kualitas masyarakat kita. Meskipun buat kita yang rasional ini model-model begitu menggelikan, tapi -apa mau dikata- model gituan yang laku dan ratingnya tinggi.

Sambil seruput kopi saya geli sendiri membayangkan Ahok yang kaku itu tiba-tiba harus berperan menjadi tukang sayur untuk meraih simpati para pemilih.

Kok saya jadi ingat mantan Jenderal yang dulu bareng pak Hari saat Pilpres tiba-tiba muncul jadi satpam dan tukang becak ya? Kalau itu memang terlalu nggilani. Penonton sinetron pun pasti pindah channel kalau tayangan begituan diulang lagi.

@denny siregar


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

No comments:

Post a Comment