DUNIA HAWA - Akhirnya setelah menjalani sidang 18 kali, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tuntutan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman 1 tahun penjara dengan 2 tahun percobaan.
Bagi kelompok yang sudah membenci Ahok dan memvonis Ahok jauh sebelum persidangan, setelah mendengar tuntutan Jaksa itu, langsung menuding tuntutan Jaksa: aneh, ganjil, terlalu ringan, dan lain-lain sebagainya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku "heran dengan tuntutan Jaksa", Fadli Zon juga menganggap "tuntutan Jaksa kepada Ahok terlalu kecil".
Lantas, Fadli Zon membandingkan kasus Ahok dengan kasus Rusdiati di Bali.
"Kalau melihat dari apa yang dilakukan dan dampaknya, menurut saya itu ya terlalu kecil. Karena dalam kasus ibu Rusdiati di Bali, itu dia saja menjalani vonis 1 tahun dua bulan. Itu yang tidak menimbulkan dampak yang masif seperti sekarang ini," kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/4/2017).
Saya heran, mengapa Fadli Zon membandingkan kasus Ahok dengan Rusdiati, atau pihak-pihak yang sudah membenci Ahok dengan kebencian yang berkarat seperti sudah menganggap kasus penodaan agama adalah kasus yang harus menjadi perhatian umum yang tidak pernah mereka lakukan terhadap kasus korupsi misalnya.
Dalam kasus-kasus penodaan agama, adanya vonis ringan hingga bebas bukanlah hal yang aneh dan ganjil, kalau kita mau membaca deretan kasus-kasus penodaan agama yang akhirnya dibebaskan, misalnya 9 kasus dalam catatan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi ini “Kasus-kasus Penistaan Agama yang Dibebaskan dari Tuduhan/Dakwaan”
Kalau seseorang memang tidak terbukti menodai agama setelah melalui sidang yang adil, maka memang sudah seharusnya dibebaskan, yang aneh dan ganjil adalah, kalau malah dipaksakan bersalah meskipun bukti-bukti persidangan mengatakan sebaliknya.
Kasus Ahok dan Yusman Roy
Salah satu orang yang didakwa dengan pasal penodaan agama, 156a adalah Yusman Roy pada tahun 2005, karena mengajarkan shalat dengan dua bahasa, Arab dan Indonesia.
Setelah melalui proses persidangan, Yusman Roy tidak terbukti menodai agama seperti yang didakwakan, namun dia tetap divonis 2 tahun penjara dengan dakwaan subsider Pasal 157. Pasalnya, Yusman Roy merespon pihak-pihak yang tidak setuju dengan tindakannya yang shalat dengan dua bahasa dengan mengirimkan selebaran dan CD ancaman.
Ahli-ahli yang dihadirkan di Persidangan khususnya dari ahli agama bisa memberikan bukti bahwa tindakan Yusman Roy yang shalat dan mengajarkan shalat dengan dua bahasa tidak menodai agama, dengan dikuatkan pendapat dari ahli fiqih, Imam Hanafi yang memperbolehkan shalat dengan bahasa Persia.
Intinya, Yusman Roy adalah korban kriminalisasi dengan pasal penodaan agama, ia merespon dengan keras pihak-pihak yang mengecamnya dengan menodai agama namun dia malah kena jerat Pasal 157 sehingga ia divonis 2 tahun penjara.
Bunyi Pasal 157:
Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Sekali lagi, Yusman dihukum penjara bukan karena pelaksanaan shalat dua bahasa yang dituduh sebelumnya sebagai penodaan agama, tapi karena pamflet dan CD yang dia sebarkan sangat provokatif dan mengancam dan mereka yang tidak setuju dengan shalat dengan dua bahasa. Maka, tindakan ancaman dan permusuhan yang dilakukan Yusman Roy itu memenuhi unsur Pasal 157. Meskipun sebenarnya tindakan Yusman Roy itu merupakan reaksi terhadap tuduhan dan stigma sebagai penista agama yang dilayangkan padanya.
Lantas bagaimana dengan kasus Ahok? Mirip seperti kasus Yusman Roy, bagi Jaksa, Ahok tidak terbukti menodai agama. Semua saksi fakta yang netral, yang hadir dalam Pidato Ahok 27 September 2016 di Kepulauan Seribu, saksi-saksi yang didatangkan oleh Jaksa sendiri, tidak ada yang menyebut kalau Ahok menodai agama dan bersaksi pula dari yang hadir tidak ada yang merasa Ahok menodai agama.
Yang memberatkan Ahok hanyalah para saksi pelapor yang mereka memang sudah memiliki kebencian terhadap Ahok baik dari FPI seperti Novel Bamukmin, Muhsin Alatas, Muhammad Asroi dari Padangsidompuan atau mereka yang sudah terlibat dalam kelompok-kelompok intoleran.
Sikap dan Pandangan Keagamaan MUI terhadap Ahok pun tidak bisa dijadikan bukti di pengadilan, karena dalam kasus Yusman Roy tahun 2005, Kiai Ma'ruf Amin yang waktu itu Komisi Fatwa MUI juga mengharamkan dan menyesatkan shalat dua bahasa, pendapat beliau juga tidak dipakai oleh Majelis Hakim saat itu, karena ahli-ahli yang dihadirkan untuk meringankan Yusman Roy berhasil membuka wawasan dan meyakinkan Majelis Hakim bahwa tradisi shalat dengan non bahasa Arab juga dikenal dalam tradisi Islam.
Artinya, meskipun ada fatwa MUI, tidak otomatis akan dipakai di Pengadilan, karena fatwa MUI bukanlah keputusan positif yang mengikat dan harus dipatuhi, apalagi oleh lembaga Yudikatif.
Ahli-ahli agama yang dihadirkan oleh pihak Penasehat Hukum Ahok, meskipun datang sebagai pribadi bukan lembaga, tapi mereka bisa menunjukkan bahwa lembaga dan ormas Islam tidak satu suara untuk kasus Ahok.
Kiai Ahmad Ishomudin, selain Dosen Fakultas Syariah di IAIN Raden Intan Lampung, juga Rois Syuriah di PBNU dan Wakil Ketua Komisi Fatwa di MUI Pusat. Kiai Masdar Farid, selain Rois Syuriah di PBNU juga Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Anggota Pertimbangan MUI Pusat.
Prof Hamka Haq adalah Wakil Ketua Mustasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah--Perti dan Anggota Pertimbangan MUI Pusat. Dr. Sahiron, selain Dosen Tafsir di UIN Sunan Kalijaga juga Wakil Rais Syuriah PWNU Yogyakarta.
Ahli-ahli agama yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum Ahok sepakat bahwa ucapan Ahok tidak menodai agama.
Maka, bagi yang berakal sehat dan yang benar-benar mencermati fakta-fakta persidangan kasus penodaan agama yang didakwakan ke Ahok, pasti akan dengan mudah menyimpulkan bahwa Ahok memang tidak menodai agama.
Malah, menurut saya, Jaksa harusnya menuntut bebas Ahok, karena seperti yang diutarakan Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) sendiri, Ali Mukartono yang menjelaskan, alasan jaksa mengenakan Pasal 156 bukan Pasal 156a KUHP karena Ahok pernah mengeluarkan buku dengan judul "Merubah Indonesia”.
Di dalam buku tersebut, yang dimaksud Ahok membohongi pakai Al Maidah ayat 51 itu adalah para oknum elit politik. Atas dasar itu, jaksa menilai pasal 156 lebih tepat digunakan pada Ahok.
"Nah di buku itu dijelaskan kalau yang dimaksud adalah si pengguna Al Maidah. Elit politik istilah beliau, bukan Al Maidah. Kalau demikian maksud beliau maka ini masuk kategori umat Islam. Pengguna Al Maidah tu siapa? Golongan umat Islam. Maka tuntutan jaksa memberikan di alternatif kedua," jelas Ali seperti yang dikutip kompas.com(20/04/2017).
Di sini lah letak Jaksa yang masih gagal paham tingkat lanjutan, setelah sebelumnya memahami bahwa Ahok tidak menodai agama dan "orang" yang dimaksud oleh Ahok adalah oknum elit politik, bagaimana Jaksa masih membawa ucapan Ahok di Kepulauan Seribu pada golongan Umat Islam?
Harusnya Jaksa tidak lagi menuntut Ahok baik dengan Pasal 156a atau pun Pasal 156, karena maksud dari ucapan Ahok, ia mengkritik oknum-oknum elit politik yang memakai Al-Ma’idah 51 sebagai alat membohongi.
Maka, bagi saya, memang aneh Jaksa masih menuntut ringan Ahok, harusnya Jaksa menuntut bebas Ahok dalam perkara penodaan agama ini.
Semoga Majelis Hakim yang mulia diberi keyakinan bahwa Ahok tidak menodai agama Islam atau menghina suatu golongan, karena yang dimaksud oleh Ahok adalah oknum elit politisi yang memakai Al-Ma'idah 51 sebagai alat untuk kebohongan
@muhammad Guntur Romli
SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA
No comments:
Post a Comment