DUNIA HAWA - Akhir-akhir ini nama Allan Nairn mencuat tinggi di media, terutama di sosmed yang hampir selalu tidak membutuhkan mekanisme “check and recheck” Itulah sebabnya sosmed lebih disukai karena lebih seksi dan genit daripada media cetak yang sudah memasuki masa “menoupause” tersebut. Gampang ditebak, judul tulisan ini juga, lebih bergaya sosmed daripada bergaya flamboyan ala media cetak tersohor ibu kota. Tetapi bukan isapan jempol, ada persamaan kehadiran kedua tokoh ini, yang sepertinya membuat merah telinga beberapa pihak yang “disemprot” oleh mereka ini.
Persamaan itulah yang akan kita bahas dalam episode tulisan ini.
Seperti kita ketahui, Allan Nairn adalah seorang jurnalis tersohor dari Amerika Serikat. Allan Nairn mempunyai reputasi internasional dan sangat berpengalaman meliput wilayah konflik di beberapa negara termasuk juga di Indonesia. Dalam liputannya sebagai wartawan asing pada peristiwa Santa Cruz di Dili, Timor Timur ketika itu, Allan mendapat perlakuan kasar. Allan mengalami luka retak di kepala akibat dihantam popor senapan M16 tentara Indonesia. Perlakuan buruk tersebut tentu saja akan menimbulkan luka yang dalam bagi Allan ketika berhadapan dengan TNI.
Liputan Allan Nairn dalam peristiwa Santa Cruzpada 12 Nopember 1991 tersebut, akhirnya mampu membuat parlemen AS (Amerika Serikat) menghentikan bantuan kerja sama militer dari AS kepada Indonesia. Liputan berjudul, “Massacre : The Story of East Timor” yang dipublikasikan pada 1992 itu menceritakan pembantaian yang dilakukan militer terhadap sekitar 271 warga sipil Dili. Ditengah minimnya informasi yang bisa didapat dalam peristiwa tersebut, dari sisi jurnalistik, liputan Allan Nairn tersebut sungguh sangat istimewa. Sejak itu, permusuhan diantara petinggi Indonesia dengan Allan Nairn “resmi dibuka!”
***
Walaupun dicekal dan bermusuhan dengan pemerintah, Allan Nairn beberapa kali terlihat berada di wilayah hukum Indonesia secara ilegal. Setelah sukses pada edisi jilid I di East Timor, Allan mencoba peruntungan ke wilayah ujung barat Indonesia, yaitu Aceh. Jika pada edisi I kehadiran Allan sebagai seorang jurnalis mendapat pujian, maka pada edisi II ini sedikit meragukan, karena membawa kepentingan politik terselubung.
Kali ini liputannya terkesan “masuk angin” karena ada kemungkinan ketidak akuratan dalam tulisan tersebut. Hasil dari wawancara yang dilakukan Allan tersebut, tidak sepenuhnya dengan orang yang tepat yang bisa merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Aceh bukanlah Timor Leste. Konflik di Aceh bukan hanya melibatkan pemerintah pusat dan GAM saja. Banyak kepentingan yang bermain disini, mulai dari TNI, Polri, Ilegal logging, bisnis terselubung, hingga kepentingan pribadi diantara sesama GAM.
Setelah bencana gempa dan Tsunami pada Desember 2004, dan kemudian berahirnya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi di Nanggroe Aceh Darussalam, praktis liputan mengenai Aceh tidak begitu mendapat perhatian internasional lagi. Liputan Allan Nairn mengenai Aceh kemudian berlalu begitu saja.
***
Setelah edisi II berlalu dengan menjemukan, kini Allan Nairn hadir kembali pada edisi jilid III. “Jakarta sedang seru-serunya!” ada Ahok sipenista agama dan ulama. Ada Aksi bela Islam jilid I, II, III dan IV. Ada Pilkada DKI. Ada isu makar. Kalau dulu ada lagu, “Antara Anyer dan Jakarta,” kini orang menyanyikan lagu, “Dari Balai Kota menuju Istana Negara.” Pokoknya Jakarta lagi crowded dan seru. Lalu Allan Nairn hadir kembali untuk mengingatkan warga Jakarta akan kehadirannya yang paham betul tentang “seluk beluk Jakarta”
Ketika berada di Dili sebagai seorang jurnalis pada 1991 lalu, Allan Nairn tahu bahwa koran Sinar Harapan di breidel Soeharto pada tahun 1986. Koran itu kemudian bernafas lagi pada tahun 2001 setelah Soeharto lengser. Romantisme pembreidelan itu kemudian menaikkan tiras Sinar Harapan dengan cepat. Namun pada ahir 2015 kemarin, koran tersebut tutup untuk selamanya, bukan oleh Soeharto, melainkan karena tidak mampu lagi bersaing dengan media cetak lain yang semakin terhimpit oleh jepitan media elektronik dan medsos…
Kini kisah “romantisme Sinar Harapan” itu pulalah yang hendak diusung oleh Allan Nairn. Dunia memang telah berubah sangat cepat. Ketika yang “ori” (original) hendak di launching, yang “KW” sudah beredar di mal-mal. Sementara produk “KW2” tiruan dari “KW” itu, telah diobral pula di lapak-lapak PKL (Pedagang Kaki Lima) padahal yang ori belum masuk ke Indonesia!!!
Arus informasi juga mengalir sangat cepat. Berita pagi hari menjadi basi pada sore hari. Persis seperti ketan yang ditabur serutan kelapa yang dibeli pagi hari, dan tak mungkin dimakan lagi sore harinya. Dokumen yang dulu bersifat rahasia, kini bahkan sudah sering ditemukan pada pembungkus tempe. Dulu pernah ada yang mengaku menemukan foto-copy “Supersemar” (entah asli atau bohongan) pada pembungkus tempe yang dibelinya di pasar….
Demikian juga pada apa yang dikatakan oleh Allan Nairn akhir-akhir ini. Semuanya juga sudah tahu. Tidak ada yang baru sama sekali di dunia ini. Kini adalah era “Bukti!” Fakta dan Fiksi hanya dipisahkan oleh “sehelai benang tipis” yang bisa dengan cepat berpindah posisi tergantung kepada akurat tidaknya bukti-bukti yang mendukungnya. Kalau ada buktinya, kabar hoax seketika menjadi fakta. Fakta tanpa bukti adalah hoax…
Memang sangat susah untuk mengulang lagi romantisme “Santa Cruz” yang dulu. Bahkan bila saja ada orang menemukan bukti baru lagi, bisa saja Allan Nairn harus menulis ulang lagi liputannya dulu itu agar sesuai dengan bukti baru tersebut. Jadi kini semuanya terpulang kepada Allan Nairn. Kalau dia bisa memberikan bukti-bukti yang valid, maka namanya akan melambung lagi seperti pada era “Santa Cruz.” Kalau tidak ada bukti, maka Allan Nairn sama saja dengan penulis, dan penulis-penulis oportunis lainnya yang selalu “mencari perhatian” pada setiap momen yang terjadi….
***
Lalu apa hubungan Allan Nairn dengan bos manajemen Qolbu yang juga Dai kondang bernama lengkap Abdullah Gymnastiar ini? Ini memang bukan menyangkut akidah atau jurnalisme, tetapi menyangkut manajemen timingstrategi pemunculan diri pada saat yang tepat! Sama halnya dengan Allan Nairn, dulu Aa Gym ini sangat popluer nama dan jaringan bisnisnya. Selain dihormati sebagai dai, beliau juga kaya raya, dan digandrungi ibu-ibu…
Tetapi semua ada masanya. Setelah tersandung kasus poligami, nama Aa kemudian redup dan menghilang dari peredaran. Bisnisnya juga menjadi mati suri. Seperti juga Allan Nairn yang mendapati momentum “Jakarta bergolak,” Aa kemudian memanfaatkan momen ini untuk eksistensi dirinya, dan berhasil!
Kalau dalam Aksi bela Islam jilid II lalu, menurut pengakuannya pada acara ILC TVOne, Aa bersama 1.500 orang santrinya bertugas membawa pengki dan sapu untuk bersih-bersih. Namun pada pada Aksi bela Islam jilid IV yang berlangsung di pulau Pramuka pada 9/01/2017 lalu, Aa Gym menjadi boss menggantikan Rizieq yang tersandung kasus kak Emma…
Kini Aa Gym seakan-akan mendapat panggung lagi dalam edisi si penista agama ini. Kini “bahunya bisa tegak lagi” dengan cuitan-cuitan serunya di twitter. Apa pun itu, Indonesia adalah negara demokrasi dimana rasa suka atau tidak suka kepada seseorang adalah hal yang lumrah dan biasa saja, dan juga tidak melanggar hukum. Aa sudah mendapatkan apa yang pernah terhilang darinya. Akankah Allan Nairn mendapatkan kembali reputasinya yang dulu? Who knows….
Salam hangat
No comments:
Post a Comment