DUNIA HAWA - Pembacaan pleidoi atau nota pembelaan yang dilakukan oleh Pak Basuki Tjahaja Purnama (BTP) pada hari ini menjadi klimaks pembelaan yang dilakukan. Pembacaan nota pembelaan ini dianggap sebagai pidato yang sangat singkat, karena hanya terdiri dari lima lembar. Bagaimana hanya melalui lima lembar, BTP dapat menghancurkan isu yang beredar dan membela diri dari fitnah yang dilancarkan terhadap dirinya selama berbulan-bulan (kurang lebih 5 bulan)?
“Hal ini sesuai dengan fakta bahwa saat di Kepulauan Seribu, banyak media massa yang melihat kunjungan saya, bahkan disiarkan langsung yang menjadi materi pembicaraan. Tidak ada satu pun yang mempersoalkan keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut,” – Basuki Tjahaja Purnama.
Basuki Tjahaja Purnama dalam tuntutan jaksa dikenai Pasal 156 KUHP mengenai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Pada akhirnya para pengacara buka suara mengenai apa yang terjadi pada perkataan di dalam melepaskannya di dalam jeratan yang dituntut oleh JPU. Di dalam perkataan yang diucapkan oleh BTP di Kepulauan Seribu, tidak ada sedikitpun indikasi sifat melawan hukum. Ini menjadi pembelaan yang dijelaskan dan dikatakan oleh pengacara BTP.
“Selama mengikuti persidangan, memperhatikan realitas yang terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta serta mendengar dan membaca tuntutan penuntut umum yang ternyata mengakui dan membenarkan saya tidak melakukan penistaan agama. Saya bukan penista atau penoda agama, saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun,” – Basuki Tjahaja Purnama.
Sebetulnya jika kita ingin bernalar, kemungkinan sangat besar untuk para hakim membebaskan BTP, mengapa? Karena memang betul-betul tidak ada niat untuk menista agama. Beberapa hal yang dibukakan adalah bagaimana JPU tidak jelas dan dianggap berimajinasi di dalam menentukan korban yang disebabkan oleh perkataan BTP di Kepulauan Seribu. Ulama dan umat Islam mana yang dinista seperti yang disebutkan?
Permohonan para pengacara cukup jelas, yakni mereka melakukan permohonan kepada majelis hakim dapat dengan arif dan penuh keberanian untuk membebaskan BTP. Juga dikarenakan Bhinneka Tunggal Ika tengah dipertaruhkan oleh proses pengadilan ini.
Sikap hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga disebut oleh para pengacara. BTP merupakan korban dari penggunaan pasal anti demokrasi. Hal ini merupakan ironi namun nyata. Karena pemerintah RI masih belum taat pada rekomendasi putusan MK dalam judicial review mengenai pencegahan penyalahgunaan penodaan agama. Majelis MK menyetujui bahwa ada permasalahan mengenai undang-undang penodaan agama, karena adanya permasalahan hal tersebut.
Lantas dari sikap hukum LBH, tentu bertujuan untuk meringankan tuntutan JPU kepada BTP. BTP yang sudah menjadi korban dari penyalahgunaan pasal “penistaan agama” tentu mendulang simpati dari orang-orang yang mengenal dan mengetauhi hukum.
Pernyataan Ahok di kepulauan seribu dianggap sebagai sebuah hal yang tidak memenuhi evil mind (itikad buruk) yang harus dibuktikan. Lantas, tidak ada pembuktian sama sekali. Bahkan seharusnya pernyataan BTP dilindungi oleh kebebasan berpendapat. Penyebarluasan tafsir negatif atas pernyataan BTP yang sesungguhnya merupakan penistaan agama. Ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok tanpa menyaksikan, mendengar, mengetahui, dan tidak mengalami langsung perkataan Ahok ini.
Bahkan melalui pelaporan kepada Ahok oleh para pelapor-pelapor yang tidak menghadiri lokasi kejadian langsung, membuat LBH harus menyatakan sikap. LBH menganggap perilaku dari para penuntut justru meruntuhkan tatanan penegakan hukum demokrasi dan kebinekaan Indonesia. Hal ini merupakan wujud nyata dari proses pengadilan dan peradilan rakyat bumi datar yang sesat.
Pembacaan sikap LBH oleh tim kuasa hukum BTP
LBH meminta majelis hakim menjunjung tinggi penegakkan hukum dan HAM dalam memutus perkara Ahok, khususnya di dalam hak kebebasan berekspresi dan beragama yang sudah dijamin di dalam konstitusi. LBH meminta agar majelis hakim menerapkan hukum yang kontekstual yang sejalan dengan produk peradilan, yang mengacu kepada utusan MK. Majelis hakim juga diminta untuk menerapkan asas legalitas sehingga penggunaan pasal penistaan agama, menjadi jelas.
Pada akhirnya Jaksa Penuntut Umum pun tidak berkata banyak mengenai apa yang sudah dikatakan dan menjadi pembelaan dari tim kuasa hukum/ pengacara BTP.
Sidang selanjutnya akan dilakukan pada hari Selasa, tanggal 9 Mei mendatang, dengan agenda pembacaan putusan hakim mengenai kasus ini. Jadi sembari menunggu hasil putusan hakim, kita terus dukung pemerintahan Indonesia, khususnya di dalam menambal keretakkan bangsa di dalam berdemokrasi.
Betul kan yang saya katakan?
@hysebastian
SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA
No comments:
Post a Comment