DUNIA HAWA - Pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin abu thalib, beliau diserang. Yang menyerang pemerintahan Imam Ali bukan yahudi dan nasrani, tetapi kawan-kawan seperjuangan beliau ketika masih bersama Rasulullah Saw. Perang ini terkenal dengan nama perang Jamal atau perang unta.
Perang saudara ini membingungkan banyak orang, "saya harus berpihak kemana?". Isu-isu bertebaran semakin tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.
Akhirnya salah seorang sahabat tidak tahan dan bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Imam.. manakah yang benar?
Disana ada Aisyah (istri Nabi) juga para sahabat Nabi yang dulu berperang denganmu. Sedangkan disini ada engkau dan para sahabatmu yang juga berperang bersama mereka dulu. Lalu, manakah yang benar?"
Imam Ali dengan bijak menjawab, "Engkau salah, wahai sahabat. Engkau mengukur individu-individu dulu baru mencoba menetapkan siapa yang benar.
Kenalilah kebenaran itu dulu, baru lihatlah siapa individu yang berada di belakangnya.."
Dari peristiwa perang Jamal ini, Imam Ali mengajarkan para sahabatnya untuk berlaku obyektif, melihat lebih jelas permasalahan baru menentukan sikap. Bukan malah condong kepada sosok atau subyek tertentu dalam menentukan sikap.
Melihat "apa" dan bukan "siapa".
Sejarah yang terjadi ribuan tahun lalu adalah sebuah pembelajaran bagaimana menentukan sebuah sikap ketika terjadi perbedaan pendapat. Menentukan sebuah sikap adalah hal yang wajib, karena ketika kita mengenal mana yang benar dan mana yang salah, netral adalah kebodohan yang mendasar.
Begitulah ketika saya mengenali situasi Suriah awalnya. Saya membaca dulu banyak pandangan berbeda, mengasah akal dalam melihat peristiwa, baru menentukan sikap. Saya tidak ingin terjebak dalam gelombang fitnah kepada orang yang tidak bersalah..
Dan begitu jugalah ketika saya melihat pilgub DKI. Ini bukan masalah Ahok-Jarot atau Anies-Sandi. Ini masalah apa yang pernah mereka lakukan dan siapa orang-orang di belakang mereka...
Dan percayalah, kewarasan pasti berlawanan dengan kegilaan. Dan saya berpihak pada akal waras, karena saya menolak gila apalagi jika itu mengatas-namakan agama..
Seperti secangkir kopi. Ia harusnya diseruput dalam kondisi tenang dan menikmati..
Bukan malah dikunyah tatakannya..
No comments:
Post a Comment