HALAMAN

Wednesday, April 26, 2017

1200 Karangan Bunga Untuk Ahok-Djarot, Bukan Tipu-Tipu Apalagi Pencitraan



DUNIA HAWA - Fenomena Ahok seakan tak ada habisnya. Ia adalah sosok yang dicintai dan dibenci di saat yang sama. Ia juga sosok yang dipuja sekaligus dihujat di saat yang sama. Kehadirannya menjadikan kontestasi politik di DKI Jakarta lebih meriah dari yang sebelum-sebelumnya. Tak ayal, partisipasi pemilih di DKI pun mencapai 78%, tertinggi di Indonesia.

Fenomena Ahok membuat banyak orang yang awalnya alergi terhadap politik, menjadi fasih bicara politik. banyak orang mulai membicarakan politik. Mulai dari warung kopi, warung Indomie (Warmindo), restoran, taman-taman bermain, tempat nongkrong anak muda, hingga tempat nongkrong mewah sekalipun dilanda demam Pilkada DKI. Ini fenomena yang menarik dalam perkembangan demokrasi.

Catatan sejarah membuktikan bahwa demokrasi berkembang lewat diskursus-diskursus yang terjadi di warung-warung kopi dan ruang-ruang publik. Diskursus yang merupakan bagian dari aktivisme politik membuat masyarakat menjadi melek politik. Dengan demikian, partisipasi publik akan semakin tinggi. Publik yang melek politik akan berpartisipasi tidak hanya pada memenangkan pasangan calon, tetapi juga mengkawal pemerintahan terpilih.

Meskipun demikian, satu hal yang disesalkan adalah wacana primordial yang kerap digunakan dan dikampanyekan secara masif. Kampanye model ini hanya akan sifatnya destruktif dalam diskursus tentang demokrasi. Walau berbuah kemenangan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, hal ini adalah upaya kontraproduktif. Tidak heran bila reformasi yang sudah berjalan lebih dari 17 tahun ini belum juga berbuah kesejahteraan rakyat. Demokrasi di era reformasi hanya dibajak elite partai yang memanfaatkan kepolosan dan kebodohan rakyat.

Penggunaan isu primordial sebagai komoditi politik dalam jangka panjang adalah kontraproduktif. Kontraproduktif dalam kaitan dengan demokrasi dan NKRI sebagai negara yang Bhineka. Pun peningkatan partisipasi pemilih seyogyanya berdiri di atas rasionalitas. Dengan begitu, proses demokrasi benar-benar akan menghasilkan pejabat yang benar-benar punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni. Demokrasi yang berkualitas mengesampingkan entitas Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan.

Fenomena Ahok, Sosok yang Dicintai dan Dibenci


Pilkada DKI memang menguras emosi, pikiran, tenaga, bahkan uang. Bayangkan saja, banyak orang yang menangis ketika jagoannya difitnah. Banyak pula yang bahkan berani mati demi membela ulama. Ada yang rela menghabiskan uang ratusan miliar hanya untuk mendapat posisi DKI 2. Banyak pula yang bergerak di belakang layar dan baru ketahuan belangnya saat akhir Pilkada. Singkatnya banyak orang yang menjadi aneh saat Pilkada DKI Jakarta. Semua ini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk mewujudkan misi ‘Asal Bukan Ahok’.

‘Asal Bukan Ahok’ menjadi misi bersama para barisan sakit hati, barisan penghuni bumi datar, mereka yang tersingkir oleh karena birokrasi yang bersih dan professional. Musuh yang bernama Ahok itu harus disingkirkan. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dilabeli pula dengan predikat ‘Penista Agama’.

Kampanye dengan menunggangi isu SARA ini menjadikan Ahok, seorang double minority (Kristen dan Tionghoa), menjadi bulan-bulanan. Fitnah soal penistaan agama disampaikan secara masif. Provokasi ini dilakukan lewat tempat-tempat ibadah, di lingkungan sekitar, hingga setiap tempat ramai, lantas menjadi seperti sebuah kebenaran umum. Hasil akhirnya bisa ditebak. Pemerintah dan penegak hukum tunduk pada massa, penghakiman pun dimulai.

Ahok yang babak belur dihajar sebelum, menjelang, dan saat Pilkada, kini mulai terbebas darinya. Kebohongan-kebohongan yang dipaksakan menjadi kebenaran umum mulai terkuak satu per satu. Mulai dari isu agama yang ternyata bergeser ke politik, saksi-saksi persidangan yang super lucu, hingga pengkultusan Imam Besar Umat Muslim Indonesia, yang akhirnya ketahuan doyan bermain pisang dengan titik-titik.

Catatan Penutup


Pada akhirnya, penulis sepakat dengan pernyataan Ahok jauh-jauh hari, bahwa ‘tidak ada kegelapan yang bisa menutupi cahaya fajar’. Pelan-pelan semua kebohongan mulai terkuak. Kebenaran mulai terungkap. Mereka yang menari di atas isu Agama, kini mulai merasa malu. Para pemenang mulai kesalahan memalukan ini. Memanfaatkan agama, kemiskinan dan kebodohan pemilih untuk mendulang suara. Jika berkesempatan bertemu Pak Anies, penulis ingin menyampaikan; “Stop tipu-tipu. Hentikan eksploitasi orang miskin untuk kepentingan politikmu”.

Cahaya Ahok mulai bersinar kembali. Setelah habis-habisan difintah. Ia kini diangkat kembali. Ia pernah ada pada posisi paling nadir, dan sekarang kembali ditinggikan. Fenomena kiriman bunga ke Balai Kota adalah tanda paling nyata pengakuan warga atas prestasi dan kinerjanya. Bahkan tidak tanggung-tanggung, jumlah karangan bunga yang dikirim lebih dari mencapai 1200. Selengkapnyadisini. Fenomena yang sontak saja menggegerkan seantero Indonesia. Bukti kecintaan warga ini jelas menegaskan kapasitas dan keberpihakan seorang Ahok.

Terakhir, penulis menganggap bahwa kekalahan Ahok dalam kontestasi Pilkada kemarin ibarat katapel. Mundur beberapa langkah untuk meloncat lebih jauh. Untuk orang dengan kapasitas super lengkap seperti seorang Ahok, tak perlu risau soal hari esok. “Mutiara selamanya tetaplah mutiara walau dibuang dalam kubangan lumpur”. Setelah melihat kemampuan dan sepak terjang Ahok di DKI, maka tidak aneh bila belakangan merebak isu soal nama Ahok yang masuk bursa Menteri ke dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Di balik fenomena ini, ada seorang Anies yang (barangkali) menyesali kemenangannya yang pragmatis. Itu pun kalau Dia (Anies) masih punya nurani sebagai insan intelektual.

@ray koen


SHARE ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA

No comments:

Post a Comment