DUNIA HAWA - Kalau ada rekor Guiniess Book of Records tentang Pilkada paling norak sepanjang massa, mungkin Pilkada DKI 2017 ini masuk hitungan. Baru kali ini dalam sejarah ada pilkada dimana sejumlah 800 ribu umat Islam garis keras di berbagai daerah yang telah mendaftarkan diri ingin ke Jakarta untuk jaga TPS-TPS.
Padahal ini pemilihan kepala daerah, bukan pemilihan kepala agama, namun yang konyolnya kok bisa ada orang dari luar daerah yang bukan warga DKI Jakarta dan tidak ada hubungannya dengan pilkada daerah mereka yang ingin datang ke Jakarta untuk jaga seluruh TPS di seantero Jakarta.
Menurut sang penggagas aksi tersebut yang juga merupakan Pengacara Gerakan Pengawal Fatwa MUI sekaligus Ketua Gerakan Kemenangan Jakarta, Kapitra Ampera, semenjak pendaftaran untuk mengikuti Program Tamasya Al Maidah yang dibuka pada hari Rabu tanggal 15 Maret 2017, sudah terdaftar 800 ribu umat Islam dari berbagai daerah yang mendaftar lewat aplikasi online.
Program yang dinamakan tamasya Al Maidah itu mengajak umat Islam dari daerah-daerah lain untuk datang ke Jakarta mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk mengawasi proses pilkada Jakarta putaran kedua yang akan diselenggarakan pada tanggal 19 April 2017 mendatang.
Menurut Kapitra, ini soal Islam, agar adil. Menurut Kapitra yang paranoid ini, aksi tamasya Al Maidah pada tanggal 19 April 2017 agar pelaksanaan pilkada di Jakarta dapat berlangsung aman dan adil dimana umat Islam yang akan mengawasi semua TPS di Jakarta, berperan sebagai wasit.
Kapitra bilang bahwa yang protes dan tidak setuju dengan aksi Tamasya Al Maidah berarti tidak suka Jakarta aman dan damai dalam momen pilkada yang akan datang.
“Kalau ada yang menolak, ini berarti orang tidak cinta damai. Tidak cinta pilkada berkualtias, yaitu yang fair, yang jujur adil dan transparan,” ujar Kapitra dengan sok yakin.
Yang jelas tindakan Kapitra ini sudah masuk dalam kategori inkonstitusional karena melebihi wewenang negara dalam urusan Pilkada. Selain itu dengan adanya pengerahan massa besar-besaran dari luar daerah ke Jakarta pada hari H pilkada DKI 2017 nanti tanggal 19 April 2019 hanya akan berpotensi intimidasi kepada warga yang mengikuti pilkada DKI agar warga Jakarta takut pilih no 2, khususnya saudara-saudari kita dari ras tionghoa.
Padahal sesuai aturan, hari H Pilkada adalah hari yang steril dari berbagai kepentingan. Tidak boleh ada penggalangan massa dari luar Jakarta karena selain akan mengganggu ketertiban dan kenyamanan warga Jakarta yang melaksanakan hak pilihnya, juga dapat menimbulkan gesekan.
Penegerahan massa dari luar Jakarta pada hari H 19 April 2017 nanti akan berpotensi terjadinya kekacauan dan bentrok fisik antara warga Jakarta dan para pendatang dari luar Jakarta. Intimidasi dengan memobilisasi dan mengarahkan massa jelas-jelas hanya akan mengganggu proses pilkada yang jurdil, bebas, dan rahasia.
Politik dan agama adalah dua hal yang berbeda, seperti air dan minyak. Jadi tidak bisa disatukan. Jika pengerahan massa dari luar Jakarta pada hari H pilkada DKI dibiarkan terjadi atas nama agama, maka ini hanya akan menjadi preseden buruk dimasa yang akan datang.
Jalan pintas yang mereka tempuh untuk menghabisi Ahok adalah melalui isu agama. Tamasya Al Maidah ini adalah bentuk frustrasi paslon penantang Ahok-Djarot karena adanya kekhawatiran dan ketakutan yang teramat sangat dimana mereka sudah memprediksi bahwa Ahok dan Djarot akan memang dalam putaran kedua nanti.
Mengerahkan massa dari luar daerah ke Jakarta untuk ikut campur urusan pilkada DKI dengan dalih agama adalah bentuk kehabisan akal yang berujung pada keputusasaan.
Pertanyaan yang paling mendasar dari aksi tamasya Al Maidah ini, siapakah aktor intelektual dibalik layar sebagai penyandang dananya? Tentunya kita semua sudah bisa memprediksi, suapa orangnya.
Kura-kura begitu.
No comments:
Post a Comment