HALAMAN

Wednesday, March 29, 2017

Seandainya Pabrik Semen Rembang dan Petani Rangkulan



DUNIA HAWA - Permasalahan semen Rembang itu kata kuncinya hanyalah bergandeng tangan. Seperti Alfamart dan Indomaret, seharusnya ada titik temu antara PT Semen Indonesia dan petani Kendeng. Saya minta maaf, karena disini saya agak menyinggung jomblo yang haus gandengan.

Pada waktu pemerintah masuk di 2014, mereka sebenarnya hanya ketiban "awu anget" karena pembangunan pabrik Semen sudah dimulai sejak 2012 dengan nilai investasi waktu itu 3,5 triliun rupiah.

Tidak mungkin pemerintah baru yang masuk di 2014 membatalkan pabrik Semen yang sudah dibangun itu.

Kenapa? Ya, bisa-bisa jadi candi Hambalang baru. Mangkrak dengan nilai investasi besar. Dan dampak ke depannya akan sangat buruk terhadap investasi besar di Indonesia, karena investor jadi tidak ada jaminan keamanan ketika situasi politik berganti wajah.

Inilah kenapa Jokowi tetap menemui para petani Kendeng, tapi menyerahkan keputusan untuk diselesaikan oleh kedua belah pihak yang pro dan kontra dengan elegan. Jokowi melindungi kepentingan yang lebih besar yaitu investasi-investasi di Indonesia, bukan hanya di Rembang.

Tapi yang terjadi Jokowi dijadikan sasaran tembak bahwa ia pro korporasi, pro asing dan aseng karena melindungi pabrik Semen. Kita hapal lah gaya-gaya begono.
Memang sekarang sedang dibangun konsep PRO & KONTRA, dengan meniadakan konsep penengah. Jadi siapapun yang berbicara tidak sesuai petani, langsung dituding kontra.

Padahal kalau akal sehat dipake, seandainya Jokowi kontra petani, sudah sejak awal aparat turun dan membubarkan paksa demo yang sudah gak masuk akal pake cor-cor kaki itu. Saya jelas tidak perlu ingatkan keganasan Soeharto kalo masalah bubar membubarkan demo. Masih "Piye enak zamanku toh?".

Jokowi mengedepankan konsep dialog antara PT Semen Indonesia dengan petani tanpa harus merugikan kedua belah pihak. Dan seharusnya dialog ini tidak melibatkan dia, kan sudah otonomi daerah. Masak apa-apa harus Presiden yang turun? Itu Presiden apa Hakim garis?

Sebenarnya solusinya mudah.
Tinggal ada kesepakatan bersama antar PT SI dan petani bahwa nanti pabrik semen akan memakai sistem Clean Industry atau industri bersih, dimana pabrik semen memakai teknologi terbaru yang tidak menjadikan udara sekitar berdebu dan polusi.

Dan teknologi itu sudah ada, di Tuban juga sudah memakai teknologi itu. Ini zaman teknologi, mbok.. bukan tahun 1960-an yang pabrik semen masih keluar asap-asap tebal dan warga batuk-batuk tercemar.

Kedua, ada kesepakatan community development. Dimana keberadaan pabrik Semen bukan menjadi ancaman tapi membantu mengembangkan pertanian dan pengairan sehingga hasil yang didapat petani bukannya menurun malah meningkatkan kesejahteraan.

Alat-alat pertanian di modernisasi kaya di negara maju dan semua ditanggung PT SI sebagai bagian kesepakatan. Ini sesuai dengan UUD 45 pasal 33.

Dan semua tertuang di Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Tarungnya disini, siapa dapat apa dan bagaimana pengelolaannya. Bukan malah tarung pro dan kontra, atau harus ada yang tutup dan ada yang menderita, atau juga harus ada yang kalah dan ada yang menang.

Tarung pun harus pintar, pake otak bukan otot doang yang dibesarkan..

Nah, ketika ada kesepakatan yang saling menguntungkan tidak ada yang "kalah jadi abu menang jadi arang". Dua pihak senang dan Rembang pun aman.

Tinggal provokator di belakang layar yang harus ngunyah celana dalam karena uang makan mereka hilang.

Beda sekali pemerintahan kali ini dengan yang sebelum2nya. Sekarang "Ayo duduk sama-sama dan cari solusinya di antara kalian sendiri. Biar pada dewasa, masak dikit-dikit laporan ke bapak". Kalau dulu mah, "Wani piroooo??".

Mudah kan? Semudah minum kopi sasetan. Tinggal sobek, kasih air panas, aduk trus seruputtttt.... selesai.

Jangan kayak jomblo. Cari partner aja bingung berabad-abad lamanya.

Syiah dan wahabi di Jakarta aja udah gandengan, nanti kalau pabrik Semen ma petani Kendeng rangkulan, para jomblo bisa-bisa gulingan di tengah jalan tol yang ramai. "Tabrak aku, kakaaaa.. Tabrak akuuu".

@denny siregar



No comments:

Post a Comment