DUNIA HAWA - Pertama, kata ‘muslim’ dan kata yang serumpun dalam tulisan ini, tentu saja dimaksudkan dengan makna sinekdoke totem pro parte: menyebutkan keseluruhan untuk maksud hanya sebagian kecil saja. Ini penting untuk diklarifikasi di awal.
Geliat perpolitikan umat islam mengalami signifikansi secara kuantitas pasca runtuhnya orde baru. Dimana sebelumnya gerak perpolitikannya dikebiri dengan hanya memiliki satu wadah saja, yakni PPP. Meskipun sebelumnya memang umat islam terpolarisasi dalam berbagai partai. Euforia ini nampaknya menjadi momentum yang cukup memberikan catatan akan adanya kesadaran umat islam bahwa dalam sebuah wadah negara, gerakan politik praktis menjadi keniscayaan agar umat islam ikut serta menentukan kebijakan-kebijakan politik yang memberikan warna keislamannya sendiri.
Pasca 1998, kebebasan dalam berdemokrasi menjadi kunci gerbang berdirinya partai-partai Islam. Partai-partai ini mampu meraih suara yang signifikan. Namun pertanyaannya kemana arah gerakan politik islam di Indonesia? Nampaknya inilah yang gagal dijawab oleh para politikus muslim tersebut. Sehingga alih-alih menjadi subjek penentu, umat islam hanya menjadi objek: lumbung suara yang selalu diobok-obok baik oleh politikus nasionalis maupun oleh politikus muslim sendiri. Tidak adanya arah navigasi itulah yang akhirnya menjadikan kefrustasian politik muslim.
Ketiadaannya visi dan kefrustasian yang pada akhirnya mengarahkan gerak politik yang islam selalu menabrak politik sebagai gerakan menuju common good. Hilangnya nilai-nilai etis dalam gerakan politik muslim yang seharusnya bertumpu pada mashalihul ammah.
Pemilu 2014 serta pilkada-pilkada selanjutnya semakin menguatkan citra tersebut. Gerakan politik baik yang dilakukan oleh elite partai-partai islam maupun oleh akar rumput hanya diwarnai oleh benturan-benturan sektarian menandakan kemandegan dari umat islam serta elite-elitenya untuk memformulasikan bentuk pertarungan yang beradab di alam demokratis. Gerakan politik islam hanya berbasis pada pengerahan masa, isu-isu SARA serta propaganda-propaganda naif lainnya.
Isu yang selalu berputar pada isu komunisme, syiah, liberal serta stereotype yang sengaja dibuat untruk mendiskreditkan lawan politik. Alih-alih menawarkan terobosan untuk membangun masyarakat muslim yang civilized.
Tentu saja, teknik lama yang menjijikan ini, selain hanya akan memperburuk citra islam, juga akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap kompabilitas islam dalam membangun civil society. Semakin keras gaung isu-isu tersebut dimainkan semakin anjlok kepercayaan yang diperoleh.
Pemilu DKI Jakarta 2017 menjadi contoh gambaran nyata saat ini, gerakan masa yang nyata politis, terbungkus dengan dalih-dalih agama menandakan kefrustasian umat islam dalam memenangkan pertarungan politik. Selain itu, juga menggambarkan betapa para elite politik muslim memanfaatkannya untuk meraih kekuasaan. Dalam kasus ini, gerakan politik islam justru menjadi kental dengan gerakan politik Machiavellian.
Menjadikan islam sebagai imagined identity untuk menghimpun gerakan politik islam dalam pertarungan politik DKI nampaknya memang berhasil. Namun menyeret islam dalam pertarungan politik praktis, dengan menihilkan nilai-nilai etis islam sendiri adalah kekeliruan besar. Dan sangat disayangkan jika itu dilakukan oleh tokoh yang pernah memimpin sebuah Universitas yang menjunjung nilai-nilai etis islam.
Nampaknya, tidak ada yang bisa diharapkan dari gerakan politik islam pada pemilu maupun pilkada-pilkada yang akan datang. Strategi pertarungan masih akan menggunakan keluguan umat untuk kemudian diarahkan bertarung dengan senjata yang sama. Jika ini yang terjadi, gerak politik islam hanya akan menjerumuskan keluguan umat ke jurang peradaban yang suram dan tidak memberikan maslahat sedikitpun.
Elite politik yang selalu mendaku memperjuangkan kepentingan umat, harus mulai malu dan menyadari kekhilafannya, lalu kemudian menata kembali strategi gerakan politik untuk kemaslahatan umat.
No comments:
Post a Comment