HALAMAN

Thursday, March 16, 2017

Jangan Pernah Lelah Memainkan SARA



DUNIA HAWA - Sejak saya menyadari keberadaan saya di dunia saya, saya diberitahu oleh orang-orang yang lebih dulu lahir sebelum saya, bahwa saya berbeda. Suku saya bukan suku asli Indonesia dan saya selamanya tidak akan bisa menyebut diri saya sebagai asli Indonesia. Bukan hal yang aneh kalau kawan-kawan main saya akan berteriak: “China, China, makan babi!” atau “China haram!”. Saat itu dan sampai sekarang saya yakin, kawan-kawan main saya itu tidak menyadari maksud sebenarnya dari teriak-teriak China-China tersebut. Saya Indonesia. Tapi yang ‘asli Indonesia’ tidak mengakui saya.

Nomor KTP saya berbeda ujungnya dengan kawan-kawan pribumi asli. Dulu, saya malah harus membawa-bawa surat K1 sebagai bukti saya keturunan WNI. Karena saya belum buat surat K1, saya membawa fotokopi surat K1 milik nenek saya.

Jelas saya tidak pernah meminta dilahirkan sebagai suku yang dicubit sana sini. Beda dengan suku Arab yang memiliki tempat terhormat di kampung kami. Atau suku India yang terkenal dengan kepelitannya, tapi tidak pernah diteriaki, “India, India, makan sayuran!”. Atau juga anak-anak Indo yang menempati kasta paling terhormat di kampung kami.

Namun satu hal yang saya sangat ingat, tidak pernah sekali pun kawan-kawan kecil saya itu berteriak, “China kafir”. Kata kafir tersebut tidak muncul di benak saya sampai saat ini, saat Pilkada DKI dengan Ahok sebagai calon Gubernurnya. Kafir ternyata identik dengan haram.

Kalau melihat saksi fakta di persidangan mengenai bagaimana Ahok telah membangun pesantren dan masjid-masjid di mana Ahok mengabdi, jelas ‘keasengan’ Ahok mengalahkan pengabdiannya. Ibarat air dan minyak. Kelihatannya saja sama-sama benda cair, tapi tidak akan pernah bisa menyatu. Saat diaduk, akan bercampur sesaat, tapi begitu didiamkan sejenak, kembali terpisah. Ibarat setitik nila, rusak susu sepanci-pancinya. Begitulah juga yang saya rasakan.

Puluhan tahun hidup di lingkungan penduduk asli Indonesia, menikah dengan orang asli Indonesia, tidak menjadikan saya asli Indonesia. Saya tetap orang aseng. Dan di Pilkada DKI kali ini, keasengan itu sangat kuat terasa.

Baru sekali ini saya melihat bagaimana keasengan seorang China menjadi batu hambatan untuk mengabdi. Dalil-dalil agama dijadikan layar pemisah. Bendera-bendera kebhinekaan malah dikibarkan tinggi untuk menjadi pembatas. Ucapan-ucapan kasar diteriakan seperti ajian mematikan.

Apa salahnya menjadi China di negeri ini? Mengapa hal yang sama tidak berlaku bagi keturunan Arab, India, atau bule? Apakah Jong China tidak ikut berjuang menjadikan negeri ini: Indonesia? Mengapa dirasa tidak pantas keturunan China menjadi pelayan rakyat Indonesia?

Tiuplah terus badai SARA itu saat Pilkada. Pecah-belahlah rakyat ini dengan racun perbedaan keturunan. Jangan pernah lelah memainkan isu SARA. Suatu hari nanti, pasti berhasil. Niscaya, kita akan melihat ujung dari Sumpah Pemuda.

@liza lie


No comments:

Post a Comment