HALAMAN

Saturday, March 18, 2017

“Dejavu” Kotak-Kotak, Apakah Pertanda Kekalahan Anies-Sandi?



DUNIA HAWA - Dulu, saat Pilkada 2012, tepat pada putaran kedua, relawan Fauzi Bowo pernah membuat sebuah “slogan” dalam spanduk-spanduk mereka yang bertuliskan “Warga Jakarta Jangan Terkotak-kotak”. Slogan ini tentunya menyindir pasangan Jokowi-Ahok yang berseragamkan kemeja kotak-kotak. Selain menyindir, semangat slogan ini tertuju pada upaya penyatuan seluruh elemen masyarakat di DKI Jakarta.

Sayangnya, Fauzi Bowo harus mengakui keunggulan Jokowi-Ahok. Petahana akhirnya tumbang, digantikan pemain baru yang ternyata jauh lebih tangguh dan populer dibanding Petahana yang sudah malang melintang di Jakarta. Sebagai orang Betawi asli, kekalahan ini sungguh menyesakkan bagi Fauzi Bowo.

Lima tahun setelah kejadian tersebut. Tepat pada putaran kedua. Ada seorang calon gubernur yang mempunyai upaya serupa dengan apa yang telah Fauzi Bowo tempuh dulu. Ia adalah Anies Baswedan. Ia pernah mengatakan, “Gubernur DKI harusnya bisa mempersatukan. Tidak boleh malah mengotak-ngotakkan, tidak boleh malah memancing perpecahan.”

Spirit yang dihembuskan Fauzi Bowo dulu sama persis dengan yang Anies Baswedan hembuskan kini. Mengatasnamakan “persatuan” dengan menghajar upaya “mengotak-ngotakkan” masyarakat di Jakarta.

Adanya kata-kata “mengotak-ngotakan” itu artinya lawan politik mereka secara tidak langsung telah dituduh mengotak-ngotakkan warga Jakarta. Dulu Jokowi-Ahok yang seakan-akan dituduh “kotak-kotak”, kini Ahok-Djarot sebagai tertuduhnya.

Saya merasa ini seperti “dejavu” politik. Apakah kekalahan Fauzi Bowo akan terulang kembali melalui perantaraan Anies Baswedan?

Memang terasa magis. Saya pun mencoba menghindarkan diri dari konsep-konsep mistis dalam politik. Sebab, faktor penentu kemenangan seorang calon gubernur dan wakil gubernur tidak bisa ditentukan dengan tanda-tanda yang rentan dinilai “cocokologi” tersebut.

Tapi, menarik untuk ditelusuri tagline yang digunakan Fauzi Bowo untuk menghajar Jokowi-Ahok berupa “kotak-kotak”. Apa benar Fauzi Bowo hendak menyatukan warga Jakarta? Dan apa benar Jokowi-Ahok mengotak-ngotakkan warga Jakarta?

Kita ketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan Fauzi Bowo (Foke) dalam putaran kedua Pilkada DKI 2012 silam adalah masifnya isu SARA untuk menyerang Ahok yang non-muslim dan China. Sementara Jokowi adalah Jawa. Meski Foke-Nara tidak menghembuskan kata-kata yang berbau SARA, tapi pendukung-pendukungnya yang ramai-ramai mengeroyok Ahok dengan isu SARA.

Publik akan berasumsi bahwa pasti kubu Foke-Nara yang melancarkan kampanye hitam berbau SARA dalam putaran kedua waktu itu. Sebab, cuma tersisa dua kontestan. Dan kontestan yang diserang sudah pasti Jokowi-Ahok. Dan pihak yang mau tidak mau dituduh bertanggung jawab adalah Foke-Nara.

Ternyata, isu SARA justru malah menguntungkan kubu Jokowi-Ahok. Warga Jakarta muak dengan upaya “mengotak-ngotakan” yang dilakukan oleh kubu Foke-Nara. Warga Jakarta yang dapat dibilang heterogen, tapi dalam pesta demokrasi di Ibukota ini digunakan isu ras dan agama untuk menjegal lawan politiknya, pada akhirnya hal ini menjadi bumerang bagi kubu Foke-Nara.

Jokowi-Ahok mendapat simpati yang luar biasa dari para pendukungnya. Meski partai-partai lari ke Foke-Nara, tetap saja tidak dapat membendung suara Jokowi-Ahok yang melesat tanpa hambatan, walaupun dihajar kiri dan kanan.

Jelas bukan, pihak mana yang sebenarnya mengotak-ngotakkan warga Jakarta? Mengapa harus menghembuskan isu SARA? Mengapa harus menghembuskan sentimen Betawi-non Betawi? Atau muslim-non muslim? Bukankah ini upaya mengotak-ngotakkan warga Jakarta?

Lalu kita lihat sekarang. Kubu mana yang terlihat bermain isu SARA? Tentu para pendukungnya Anies-Sandi. Mulai dari politisasi Al-Maidah 51 untuk menjegal Ahok sebagai pemimpin. Lalu politisasi At-Taubah 84 untuk menakut-nakuti para pendukung Ahok dengan ancaman mayatnya tidak akan dishalatkan kalau meninggal.

Belum lagi khutbah tiap hari Jumat yang itu-itu saja pembahasannya. Haram memilih orang kafir sebagai pemimpin. Mayatnya tidak akan dishalatkan. Berputar disitu terus. Dan akan berhenti jika Pilkada telah selesai.

Apalagi kita melihat tidak tegasnya Anies melihat isu “penolakan mayat para pendukung Ahok” yang secara hukum telah melanggar aturan Pilkada. Anies justru malah mengomporinya dengan kata-kata, itu adalah respon balik warga karena adanya ancaman tentang pencabutan KJP.

Belum lagi kedekatan Anies-Sandi dengan ormas-ormas radikal dimana pendirinya menjadi tersangka kasus penghinaan Pancasila, kita sudah tahu bakal seperti apa kota Jakarta nantinya. Belum lagi munculnya tagline “Jakarta Bersyari’ah” yang sesama pendukung Anies-Sandi bertengkar tentangnya.

Jadi sebenarnya, siapakah yang mengotak-ngotakkan warga Jakarta? Kalau para pendukungnya Anies-Sandi cuma mampu memainkan isu SARA, apa yang akan dibangun nantinya untuk Ibukota?

Apakah benar ini semua ini merupakan “dejavu” Pilkada DKI, yang artinya Anies-Sandi yang akan kalah? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

@muhammad nurdin


No comments:

Post a Comment