HALAMAN

Tuesday, March 28, 2017

Ahok Membangun Masjid, Anies Mempolitisasi Masjid



DUNIA HAWA - Ahok telah menorehkan sejarah emas bagi umat Islam dengan membangun puluhan masjid, baik saat menjadi Bupati Belitung Timur maupun ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Perbuatan amal baik itu ia lakukan semata-mata ingin menunaikan amanah orang tua dan orang tua angkatnya untuk memakmurkan umat Islam. Menurut Ahok, membangun masjid adalah bagian dari membangun jati diri umat.

Hal ini berbanding terbalik dengan Anies Baswedan. Ia justru menjadikan masjid sebagai tempat politik untuk mencapai kekuasaannya. Anies menjadikan masjid sebagai rapat pemenangan dengan memperalat agama untuk kepentingan jangka pendek. Ia menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye politik praktis.

Membangun Masjid


Selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok telah membangun beberapa masjid besar dan megah. Padahal, sebelumnya Pemprov DKI tidak memiliki satu pun masjid raya, karena Masjid Istiqlal, Masjid At-Tin dan Masjid Sunda Kelapa bukan milik Pemprov DKI Jakarta. Di antara masjid yang dibangun Ahok adalah Masjid Fatahillah di Balai Kota, Jakarta Pusat, Masjid Agung di Daan Mogot, Jakarta Barat, Masjid al-Hijrah di Rusun Marunda, Jakarta Utara, dan Masjid al-Muhajirin di Rusun Pesakih, Jakarta Barat.

Ahok juga membangun puluhan masjid di setiap rusun-rusun yang dibangun Pemprov. Ia juga membangun puluhan musholla untuk setiap Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). Ahok juga memberi bantuan ke masjid-masjid, musholla dan majelis taklim. Ahok bertekad akan terus membangun dan memperluas masjid di Jakarta dengan cara membeli lahan yang ada di sekitar masjid.

Pada 2015, berdasarkan SK Gubernur Nomor 2589 Tahun 2015, Ahok memberi bantuan pada 118 musholla, masjid dan majelis taklim dengan kisaran bantuan sebesar Rp. 15 juta s/d 75 juta. Pada 2016, berdasarkan SK Gubernur Nomor 308 Tahun 2016, Ahok juga memberi bantuan ke 125 musholla, masjid dan majelis taklim dengan kisaran bantuan sebesar 15 juta s/d 100 juta rupiah.

Saat pertama kali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok ingin sekali melihat Balai Kota mempunyai masjid yang megah untuk digunakan sebagai tempat ibadah PNS yang muslim. Ahok ingin para PNS bisa nyaman melaksanakan ibadahnya saat bekerja. Keinginan itu ia wujudkan dengan membangun masjid Fatahillah di Balai Kota.

Ide pembangunan masjid di Balai Kota bermula ketika Ahok melakukan Safari Ramadhan ke kantor Wali Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Menurut Ahok, dua kantor pemerintahan tersebut memiliki masjid yang besar dan megah, sementara di Balai Kota yang merupakan kantor Gubernur serta kantor beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI tidak memiliki masjid. Selama ini PNS di lingkungan Balai Kota hanya shalat di Musholla Fatahillah. Oleh karena itu, menurut Ahok, pembangunan masjid adalah kebijakan yang harus segera direalisasikan.

Ahok juga telah membangun puluhan masjid dan musholla di setiap rumah susun (rusun) yang dibangun Pemprov. Bahkan, di Daan Mogot –salah satu rusun terbesar- Ahok telah membangun masjid besar dan megah yang diberi nama masjid KH. Hasyim Asy’ari. Masjid ini dibangun dengan luas 20.000 m2 agar mampu menampung seluruh umat muslim yang tinggal di rumah susun. Ahok menjadikan masjid ini sebagai salah satu Masjid Raya di Jakarta.

Ahok bertekad akan terus berusaha memakmurkan umat Islam. Ia memajukan Masjid Jakarta Islamic Center (JIC) Jakarta Utara, sebagai Etalase Keilmuan Keislaman dan Wisata Religi, dengan harapan banyak orang nanti bisa belajar Islam di JIC. Ahok juga bertekad akan membangun masjid di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur dengan nama Masjid KH. Ahmad Dahlan dan Masjid Cokroaminoto. Semua kebijakan ini merupakan kepedulian Ahok terhadap umat Islam karena menyejahterakan umat Islam, berarti menyejahterakan masyarakat yang dipimpinnya.

Mempolitisasi Masjid


Ironisnya, saat Ahok membangun banyak masjid, justru Anies Baswedan menggunakan masjid sebagai tempat politik. Ia menggunakan masjid sebagai tempat rapat dan strategi pemenanganya. Padahal, tidak ada Undang-undang/peraturan KPU yang membolehkan masjid sebagai tempat kampanye. Namun, bagi Anies, segala cara adalah halal demi memenangkan kontestasi Pilkada DKI, termasuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye.

Beberapa masjid kerap digunakan Anies sebagai tempat kampanye. Misalnya ia berkampanye di Masjid Agung Al-Furqon, Kompleks Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Anies bahkan menggunakan momentum Maulid Nabi untuk berkampanye di sebuah Masjid Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Menjelang Aksi Bela Islam, Anies juga berkampanye di Masjid Al-Azhar, di acara shubuhan pada (15/1/2017).

Seharusnya, kalau memang tidak ada biaya untuk rapat di gedung pertemuan atau hotel, tim Anies bisa menggunakan rumah sebagai rapat. Karena menjadikan masjid sebagai tempat kampanye sama halnya mengotori tempat ibadah yang suci ini. Akhirnya, tempat ibadah tidak lagi menjadi sakral karena politik tidak bisa dicampuradukkan dengan agama.

Dalam sejarah Islam, politisasi masjid semacam ini pernah terjadi pada saat kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah menjadikan masjid sebagai tempat politis, ia memerintahkan pemuka agama di seluruh masjid untuk melaknat Ali bin Abi Thalib di setiap khotbah Jumat. Demi mempertahankan kekuasaan, Muawiyah rela mempolitisasi masjid untuk memperoleh legitimasi umat.

Keadaan seperti itu mirip dengan apa yang terjadi di berbagai masjid di Ibu Kota mutakhir ini, yang mana pada saat sholat jumat, Masjid dijadikan tempat pembunuhan karakter oleh khotib Jumat terhadap salah satu paslon dengan caci maki dan pelaknatan. Bahkan banyak masjid yang melarang mensholatkan pendukung pemimpin non-Muslim. Masjid dipolitisasi untuk kepentingan calon tertentu atas nama agama.

Di Timur Tengah, yang atmosfer politiknya cukup panas, oknum-oknum politisi juga kerap mempolitisasi masjid. Tempat-tempat ibadah tak luput dari upaya politisasi. Masjid menjadi magnet dengan berbagai manuver politik praktis di atas mimbar-mimbar masjid. Mulai dari pembunuhan karakter lawan politik dengan taktik (vonis kafir) sampai propaganda kekerasan yang memecah belah dan meluluhlantahkan keutuhan negara.

Politisasi masjid ini membuat negara-negara di Timur Tengah porak-poranda karena khatib dan penceramah memiliki kebebasan melakukan hujatan melalui mimbar masjid hingga mengaburkan agama yang sakral dan profan. Bahkan penggerakan masa kerap dilakukan di hari Jumat seusai shalat Jumat. Mirip sekali dengan apa yang terjadi di Ibu Kota.

Tentu saja kita tidak ingin negeri yang damai ini terbakar api perpecahan karena perilaku oknum politisi yang menggunakan agama sebagai alat politik. Pengalaman Politik di Timur Tengah semestinya memotivasi bangsi ini untuk semakin waspada, karena fenomena alih fungsi masjid menjadi komoditas atau alat politik praktis sudah lama terjadi di negeri ini, apalagi dalam momentum Pilkada DKI.

Banyak khotib yang meminta umat Islam untuk tidak memilih calon pemimpin non-muslim dalam Pilkada DKI. Seruan ini jelas merupakan politik praktis, bukan politik keumatan. Umat Islam mempunyai tanggungjawab moral menjawab tantangan ini. Rasul bahkan pernah memerintahkan, dalam rangka menjaga “kesucian” masjid, dilarang melakukan perniagaan di masjid, begitu pula mengumumkan barang yang hilang di dalamnya.

Sudah sepatutnya umat Islam lebih cerdas menggunakan rumah Allah sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, bukan kampanye yang bisa memecah belah. Sikap Anies yang telah menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye politik praktis adalah sikap menodai kesucian agama. Ia telah mengotori kesucian agama hanya demi kepentingan politik semata.

@ ibnu said


No comments:

Post a Comment