HALAMAN

Monday, January 9, 2017

Teori Perubahan (Kemauan) Wanita


DUNIA HAWA - Di dalam buku, film, cerita pendek, novel, puisi, dan beberapa kisah-kisah yang beredar di masyarakat, stereotype dari seorang pria adalah mereka yang memiliki sifat superior ketimbang wanita (di mana wanita tentu saja sebagai pihak inferior). Pria juga digambarkan sebagai pihak yang selalu dominan dalam segala hal, mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan (tentu saja) politik--apalagi kekuasaan. Namun, apakah di dalam kehidupan sehari-hari juga demikian?


Mari kita lihat bagaimana stereotype ini berkembang di kehidupan sehari-hari. Hasilnya pun "Ya", Pria memang memiliki stereotype sebagai pihak yang lebih kuat, lebih perkasa, memiliki kuasa akan segala pilihan, dan tentu saja soal politik yang berujung pada "hanya pria yang berhak menjadi seorang pemimpin".

Wanita tetap berada pada posisi inferior pada stereotype-nya di kehidupan sehari-hari. lagi-lagi saya akan menutup paragraf ini sama seperti paragraf pertama dengan sebuah pertanyaan yang sesegera mungkin harus kita jawab bersama. Apakah faktanya demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui (dan juga tidak lupa) tentang sebuah peristiwa yang mengindikasikan bahwa wanita sebenarnya tidak se-inferior itu. Wanita, pada tahun 1960-an pernah membentuk dan berkumpul di dalam tiga (iya, tiga. bukan hanya satu) organisasi yang benar-benar bergerak dalam memperjuangkan hak seorang wanita.

Oh, iya, perlu diingat bahwa jaman dahulu posisi wanita, selain sebagai seorang inferior, mereka juga tidak memiliki hak-hak seperti sekarang ini seperti hak untuk bekerja, hak untuk berkarya, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut adalah NOW (National Organization for Women), NWPC (the National Women's Political Caucus), dan WEAL (the Women's Equity Action League).

Satu orang yang pada saat itu memberikan efek luar biasa pada gerakan para wanita pada saat itu (yang akhirnya disebut gerakan feminist) adalah Betty Friedan, seorang wanita yang turut membentuk organisasi NOW dan juga pimpinan pertama organisasi tersebut.

Mbak Betty ini selanjutnya yang dengan lantang menyebutkan bahwa mereka--para feminist--akan sekuat tenaga berjuang demi hilangnya diskriminiasi gender di segala lini kehidupan (sosial, politik, ekonomi, ataupun personal). lalu, apakah gerakan ini membuahkan hasil? ya, sangat amat membuahkan hasil.

Bertahun-tahun setelah proses perjuangan tersebut, wanita kini lebih di hargai. Wanita kini memiliki kesamaan hak dan tidak didiskriminasi. Bahkan di banyak negara di dunia ini memberikan jatah kursi "wakil rakyat" untuk para wanita, ada persentasenya, dan beberapa juga pernah dipimpin oleh presiden wanita. Mbak Betty dan Kartini, engkau pasti bangga melihat wanita saat ini.

Tapi, jika diperhatikan, semakin ke sini praktik menghilangkan tindak diskriminasi gender dan pemerataan hak terhadap pria dan wanita mengalami penyimpangan. Tidak usah jauh-jauh, kita bisa mengambil contoh dari negara dengan tingkat pluralisme begitu tinggi di berbagai lini kehidupan, iya, betul, Indonesia. Di Indonesia, kita bisa melihat bahwa praktik gerakan feminist (penghilangan diskriminasi dan penyetaraan hak gender) sudah tidak pada tujuan awal mereka lagi.

Di Indonesia, wanita memiliki hak lebih ketimbang pria. Dalam hal transportasi misalnya, kereta api menyediakan gerbong khusus wanita yang (tentu saja) hanya diperuntukkan untuk wanita. Coba saja anda-anda yang pria masuk ke sana, berapa pasang mata yang dengan cepat memandang sinis anda.

Jangankan di gerbong khusus wanita, di gerbong umum saja andai pria mendapatkan tempat duduk dan diam saja ketika wanita harus berdiri akan mendapatkan pandangan sinis dari seisi gerbong--terutama penumpang wanita.

Lalu, yang paling fenomenal adalah KDRT atau KDLG (Kekerasan Lintas Gender). Ketika posisinya seorang pria menyakiti wanita secara fisik, dan wanita bercerita kepada temannya, sahabatnya, atau orang-orang di lingkungannya (atas kejadian kekerasan fisik itu), wanita itu akan cepat mendapatkan simpati yang luar biasa.

Tapi, bayangkan jika kedudukan tersebut dibalik, pria yang disakiti oleh wanita secara fisik (ditampar, dipukul, dan lain sebagainya), lalu di pria itu bercerita ke temannya. apa yang terjadi? kemungkinan pria itu akan mendapatkan ucapan-ucapan sekitar: "yah, lu digituin sama cewek aja masa cengeng, sih?".

Satu lagi, dalam beberapa kesempatan untuk mendapatkan sesuatu, pasti akan berlaku istilah: "Ladies first, dong!".

Sebenarnya, jika memang menuntut kesetaraan gender dan tidak ingin ada diskriminasi, praktik di lapangan tidak boleh sampai sebegitu hebat. Jika pada akhirnya pria yang harus selalu mengalah di tempat umum kepada wanita, pria yang harus diam ketika disakiti wanita, atau bahkan pria yang (seolah) tidak bisa bertindak banyak atas tindakan-tindakan-tindakan wanita yang merugikan pria, kita bisa bertanya pada diri sendiri: "sebenarnya yang mengalami diskriminasi gender saat ini siapa?"

Bisa saja hal ini merupakan efek dari sebuah konflik antara sang penguasa (superior) dan kelompok tertindas (inferior). Dalam salah satu teori perubahan, ini masuk dalam teori konflik yang memiliki hubungan erat dengan teori Karl Marx tentang strata kelas.

Kita bisa saja dan sah-sah saja menempatkan pria (yang dahulu) sebagai sosok yang berkuasa (superior), sedangkan wanita (tentu, wanita yang dahulu juga) sebagai kelompok tertindas. Gerakan feminist terhadap tertindasnya kaum wanita ini yang menjadi moment "menentang"-nya kaum inferior kepada superior. Sehingga terjadi perubahan pada sistem sosial yang (mungkin) kita rasasakan pada saat ini.

Jadi, yaaa... salah pria juga sih pada saat itu. sesuai jargon jaman sekarang yang kekinian:

"pria memang selalu salah di mata wanita"

Tapi, sebagai manusia yang baik hatinya, kita tidak perlu mempermasalahkan hal ini. Toh di dalam ajaran agama, kita diperintahkan untuk memuliakan wanita, terutama ibu kita. Jangan lupa, di dalam surat Al-Qur'an, surat An Nisa ayat ke 19 di mana Allah menjadikan kepada seorang perempuan banyak kebaikan.


@deny gunawan susandi


No comments:

Post a Comment